Saturday 4 February 2017

Sore Ini dan Bla Bla Bla vol. 3

Dunia Skenario Kampus






Saturday 21 January 2017

Neorealisme Yang Menjangkit Di Kampusku


Penulis : Arief Budiman


Ada satu hal yang menarik jika menilik Tugas Akhir karya penciptaan mahasiswa Jurusan Televisi dan Film tahun ini. Beberapa mahasiswa, memutuskan untuk menerapkan teori film neorealis—entah secara sengaja atau tidak—dalam film yang dibuat. Mengingat adanya kabar miring tentang larangan pembuatan film realis, mungkin—dalam hal ini—teori film neorealis merupakan pilihan lain untuk tetap memantapkan gagasan yang mereka punya. Melihat deretan judul penciptaan karya di rak perpustakaan, sepertinya tahun ini menjadi sebuah fenomena baru dalam pembuataan karya Tugas Akhir, karena beberapa mahasiswa menerapkan teori film yang sama secara bersamaan. Hal ini menjadi menarik, terlebih gagasan tentang film neorealis tengah menjadi buah bibir karena beberapa pembuat film yang go international dan mencanangkan diri sebagai pembuat film yang berasaskan neorealis.
Adalah Ghalif, Reza dan Eka atau yang akrab dipanggil Kecap, tiga mahasiswa yang menerapkan gaya neorealis dalam karya Tugas Akhir mereka. Jika melihat kembali film-film yang sebelumnya mereka buat—bentuk dan jenis film—tidak semua dari mereka memiliki kedekatan dengan film neorealis.
Mengulas sedikit tentang neorealisme, gerakan sinema di Italia ini merupakan gerakan yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial, ekonomi, dan politik pasca Perang Dunia ke-2. Pada saat rezim Mussolini, sinema Italia adalah fotokopi dari film-film Hollywood. Penonton seperti disuguhi “utopia” dalam film agar dapat melupakan kenyataan pahit yang sebenarnya terjadi. Orang-orang Italia menyebut jenis film tersebut dengan telefoni bianchi alias “Telepon Putih”. Pasalnya, dalam film-film tersebut selalu ada wujud telepon putih, sebuah barang yang pada jaman itu hanya dimiliki orang kaya. Menurut Mussolini, sebagai medium hiburan, film harus mengacu pada modus produksi Hollywood yang dari dulu sampai dengan sekarang menjadi industri hiburan nomor satu di dunia. Ia juga tetap menerapkan sensor yang ketat atas film-film komersil agar kontennya secara politis tidak berlawanan dengan kepentingan rezim.
Setelah berakhirnya perang dan jatuhnya Mussolini, gerakan neorealisme Italia semakin berkembang. Beberapa sutradara yang berpengaruh besar terhadap gerakan tersebut adalah Vittorio de Sica, Luchino Visconti, dan Roberto Rosselini. Film-film neorealis memiliki ciri khusus yaitu penceritaan dengan latar kenyataan sesungguhnya dengan latar suasana keseharian di lapangan tempat berlangsungnya pengambilan gambar, serta memanfaatkan para pemain non-profesional yang—sedikit maupun banyak—diambil dari situasi tempat berlangsungnya kisah. Cesare Zavattini, seorang pemikir dalam gerakan Neorealisme Italia menyatakan bahwa: “Apa yang benar-benar diusahakan bukanlah menciptakan sebuah kisah yang terlihat seperti peristiwa, namun menyajikan realitas yang seolah-olah adalah kisah”. Selain itu, Andre Bazin, seorang kritikus film asal Perancis juga mengatakan bahwa neorealisme Italia berangkat dari posisi ontologi (realitas) sebelum posisi estetis.
Sedikit penjabaran neorealisme di atas kurang lebih cukup menjadi sebuah gambaran awal bagaimana neorealisme dalam film. Kembali pada pembuat film yang menerapkan neorealisme dalam karya Tugas Akhir mereka, bagi saya, salah satu faktor utama mengapa mereka memilih untuk menggunakan dan menerapkan neorealisme dalam film adalah keinginan untuk menyampaikan realitas yang sebenarnya. Akan tetapi, itu hanyalah asumsi. Demi mendapatkan jawaban yang sebenarnya dari pembuat film yang menerapkan neorealis, saya akhirnya memutuskan untuk melakukan proses wawancara dengan Ghalif dan Reza. Seperti apa mereka mengemas film Tugas Akhir dengan menerapkan neorealisme? Masih relevankah teori-teori yang sudah mapan itu untuk diaplikasikan di jaman sekarang? Berikut adalah sedikit perbincangan saya bersama mereka:

¨                  Mengapa memilih neorealis sebagai acuan utama?
Ghalif : Pertama karena cerita yang aku angkat kali ini adalah kisah nyata, dan yang kedua adalah ketika aku ingin menghadirkan karakter realis dari seorang waria aku bisa memasukkan orang yang sesungguhnya bukan aktor. Nah kalo di realis orang lain atau pemain teater bisa jadi waria, tetapi apakah dia bisa menunjukkan identitasnya sebagai waria, belum tentu. Tapi kalo waria dia bisa membentuk dirinya sendiri dan itu hanya mungkin dicapai melalui neorealis, ya memang itu kelebihannya neorealis seperti cerita, karakter, dan lokasi. Misalnya aku menghadirkan tukang copet asli dan dilakukan di perempatan yang sama, maka emosinya akan sama, tetapi jika aku memindahkan lokasi ke perempatan yang lain karena alasan teknis bisa ngga? Ya bisa tetapi emosinya belum tentu sama, seperti itu.
Reza : Aku ngga terlalu mentingin itu sih ini film realis, neorealis atau yang lainnya, ini cuma kebutuhan kampus aja sih sebenernya. Dari naskah juga ngga kepikiran neorealis, cuma waktu aku ngajuin ke kampus dan butuh judul, mereka nyaranin ini neorealis aja nih, nah dari situ aku nyesuain naskahku. Terus aku nyari neorealis itu kayak gimana sih, apa sih patokan-patokannya, dan ternyata oh bisa nih dimasukkin ke naskahku, yauda akhirnya aku nyesuain. Sebenernya aku sih ngga terlalu ngurusin biar aja nanti yang nonton menilai, karena saampai saat ini aku juga ga pernah bikin film mentingin ini gaya apa, ini gaya apa. Karena ini kebutuhan kampus yauda aku bikin gaya neorealis. Aku lebih menitikberatkan ke teknis sih, udah lumayan banyak film yang nerapin itu, kayak long-take artistiknya apa adanya dan pas banget budget-ku gamau banyak-banyak dan itu sesuai. Tetapi kalo soal pemain aku ga terlalu milih mau professional atau engga, karena toh ga semua film neorealis menggunakan pemain asli. Itu ga menjadi fokusku, aku lebih mentikberatkan ke teknisnya aja. Aku lebih ngambil ke esensi neorealis itu sendiri sih. Berawal dari Italia dan itu merupakan pemberontakan, menunjukkan sisi lain dari ke-glamor-an negaranya dan aku juga ingin memperlihatkan itu, sisi lain yang ngga terlihat oleh media sekarang ini.
Kecap : Kalo aku nyesuain kebutuhan naskah sih, karena naskahku sendiri kan mengangkat tentang kru bus yang mengalami masalah dalam pencarian nafkah. Kemudian ditambah lagi dengan adanya cinta segitiga di situ, nah karena subjeknya dari kalangan menengah ke bawah maka aku pake neorealis. Kalo ditulisan sih aku ga ngomong kalo ini kisah nyata karena akhirnya banyak tak sadur ceritanya. Aku pernah denger omongan di warung tentang supir yang kebetulan bawa istrinya terus selingkuhannya naik, sampe mati kutu supirnya, nah dari cerita itu  tak ubah jadi skenario sama vre. Waktu aku riset ternyata supir yang busnya tak pake syuting juga pernah mengalami hal yang serupa, tapi mungkin beda versi, tapi mungkin menurutku hal seperti itu jadi wajar. Dulu sempet bingung mau digarap kaya apa naskah AKDP –judul film dia- ini, nah sempet dulu pengen nyoba ekspresionis wah gak mungkin aku terlalu dangkal untuk mencapai itu. Kalo realis ya ga sesuai dengan konten bus dan terminal itu kalo menurutku, kalo mau surealis wah ini kenyataan jadi ga bisa seperti alam mimpi akhirnya aku pilihlah neorealisme.

¨                  Sejauh mana neorealis akan diaplikasikan ke dalam film?
Ghalif : Kalo aku ikut acuan yang awal, pake talent aslinya kaya gitu. Bahkan kalo ngomongin nanti di teknis aku ga bakal pake lampu, dalam arti misalkan di situ ada lampu apa terus warnanya daylight apa tungsten paling nanti diganti pake softone kaya gitu. Terus penggunaan kamera bahkan lensa pun aku cuma pake satu, satu focal length 24mm doang. Karena aku ingin memproyeksikan ketika penonton liat itu deket ya ikut deket ketika jauh ya ikut jauh. Ada yang bilang itu mirip gaya dokumenter, yang ga ribet kaya gitu. Yang aku ingin kasih liat sih identitasnya, waria tuh kaya gini loh ga semuanya negatif. Ketika aku pake teknis kaya gitu bisa mewakilin mereka baik secara simbolis atau lainnya. Acuannya apa aja, ya dari yang ada aku terapin dari lokasi, setting, talent. Ketika aku riset aku ngomong bahwa aku buat ini bukan mendukung tapi aku ingin menunjukkan bahwa itu penting, kaya waria juga butuh BPJS, waria butuh hak suara, bahkan terakhir di Badran waria meninggal ga ada yang mandiin ga ada yang nganterin ke kuburan. Yang meranin nanti ya ga mungkin yang uda meninggal tapi ya temannya, yang punya kedekatan dengan dia, punya kedekatan emosional.
Reza Aku kan nyesuain naskah ke teorinya, aku nyari celahnya aja. Misalkan dari cerita, aku nemu kalo Bazin bilang kalo neo bisanya ceritanya gantung wah pas banget nih. Terus ceritanya tentang kelas bawah yang ceritanya jarang diliat sama orang. Kalo talent aku ga menitikberatkan disitu, aku lebih fleksibel di pemain. Yang penting intinya kaya di teori, kalo pemain itu ga peranin sama pemain profesional, nih pemain professional di Indonesia kan beda nih. Jadi yang pasti aku pake pemain yang ga pernah muncul di layar kaca dan film. Dan pada dasarnya kalo di Jakarta mereka menjadi perannya masing-masing dan mereka jadi dirinya masing-masing, cuma kita akan bikin adegannya. Kalo soal teknis wah cocok, karena aku gamau ribet kan yauda pas banget nih lampunya dikit, gambarnya jauh. Karena Bazin juga bilang kaya gitu, kalo film neo tuh jarang akan close up, berjarak karena kita sebagai observer.
Kecap : Pertama jelas mengarah pada subjeknya ya, masyarakat kaum menengah ke bawah yaitu subjeknya kru bus dengan latar belakang terminal atau jalanan. Kedua aku menerapkannya dalam adegan, adegan itu hampir semuanya dibuat secara long-take dengan casting perpaduan antara aktor amatir dengan yang aktor sudah cukup mengenal dunia akting biasa bermain film. Perpaduan tersebut cukup membantu dalam sisi adegan, dimana aku butuh takaran-takaran emosi yang bisa saling tinggi terus kapan harus rendah jadi aku bener-bener mainin adegan. Setelah adegan itu selesai maka yang aku butuhkan adalah gambar, pendekatan gambar di sini aku banyak menggunakan long-take tadi ya beberapa yang menggunakan karakteristik neorealis lah. Misal long-take, deep focus, tracking, panning, dan pergerakan-pergerakan seperti itu. Untuk pencahayaan aku pake available light, cuma untuk di dalam bus berdasarkan saran dari temen-temen kru itu pake tambahan lighting, karena gak mungkin lah aku nyajiin gambar yang terlalu kontras. Kalo untuk lokasi aku ngegunain lokasi aslinya, soalnya kalo aku kasih treatment ke art director seperti ini sih, aku butuh bener-bener set yang ada di dalam naskah aku gamau chitting kecuali benar-benar dibutuhkan untuk penyesuaian jadawal. Setting aku menyesuaikan dengan karakteristik neorealis shot on location itu, jadi aku gada yang di dalam studio atau pake green screen jadi aku bener-bener real syuting di lokasi dengan extras-extras yang mungkin tanpa sengaja ada di frame yang memang ada di situ.

¨                  Bagaimana sisi ideologismu di dalam film yang menggunakan aliran neorealis, yang notabene sudah mapan sebelumnya?
Ghalif : Kalo masalah harus persis menurutku ngga deh. Karena kalo misal harus full film neorealis, pasti ada beberapa hal yang berbeda kalo kita tarik ke belakang waktu dulu di Italia itu. Aku ga bisa bilang ini neorealis full, tapi aku berusaha memaksimalkan yang aku tahu di film ini. Terus kalo ditanya neorealisnya di mana, ya di semua film, di setiap elemen yang ada di film. Tapi itu bukan jadi hal yang ‘saklek iki kudu kaya gini lho’, karena ada perbedaan. Malasah nanti oh ini neorealis tapi ada kurangnya di sini, ga masalah kalo aku. Aku ga terlalu mengupas teknisnya tapi di neorealis aku ingin menyampaikan suatu hal identitas yang penting bagiku dan itu sesuai di neorealis. Dia dekat dengan kita dia dekat dengan lingkungan, ketika itu diangkat menjadi neorealis itu lebih mengena. Salah satu bagian di ceritaku nanti juga sebenarnya kejadiannya di Malang bukan di Jogja, tapi semuanya aku buat di Jogja. Karena ada lokasi yang hampir sama, kaya kejadian di pemakaman semua pemakaman di mana-mana sama kok. Yang satu lagi kejadian di toilet mol, kan sama-sama toilet ga masalah mau itu toilet mol, rumah makan, hotel. Tetapi masalahnya di mana, masalahnya ya pas dia mau kencing.
Reza Secara bayanganku sih emang filmku bakal long-take dan segala macemlah, dan ternyata itu di neo juga gitu jadi itu ga sengaja aja sebenernya. Ya secara kebetulan naskah itu sesuai sama neo gitu. Kalo syuting ya emang uda bayanganku, gamau ribet kaya gitu. Kalo pun ini nanti ditolak di kampus nanti kan yang tinggal direvisi tulisannya, kaya gitu gua uda bayangin ke situ soalnya. Uda yang penting gua bikin aja dengan seenaknya gua mau buat kaya gimana sampe nanti akhirnya dosen liat.
Kecap : Kalo aku sih ga pengen ada benturan-benturan antara idealisku sama pakem neorealis ya, jadi banyak penyesuaian di dalam produksi film ini. Gak harus ada yang menang dan gak ada yang harus dikalahkan, kalo bisa ya seimbanglah mana yang jadi kebutuhanku dan mana yang jadi pakem atau karakteristik dari neorealis itu sendiri. Ada sih beberapa shot yang aku chitting di situ, harusnya shot itu berlangsung di daerah Probolinggo ke Lumajang tapi aku ambilnya di jalan tol, nah yang menyesuaikan departemen kamera. Karena ya ga mungkinlah aku syuting cuma empat hari tapi harus nurutin asli wah kasian dong yang bantuin untuk kru dan pemain. Ya aku juga harus bisa membagi takaran neorealis dalam setiap scene-lah. Kalo untuk masalah suara dulu kan film neorealis banyak yang dubbing, karena sekarang uda bisa sekali rekam dengan kualitas yang baik ya kenapa harus dubbing. Aku juga masukin lagu dangdut untuk ilustrasi musik di situ.

¨                  Apakah ada sesuatu yang kalian dobrak atau berusaha keluar dari sesuatu melalui penggunaan neorealis ini?
Ghalif Yang jelas aku ingin menyampaikan ke masyarakat bahwa ada hal-hal yang itu sangat dibutuhkan oleh waria, itu sih yang pengen tak dobrak di situ. Karena kalo ngomongin hak-hak yang kaya gimana toh, bukannya semua orang secara undang-undang mendapatkan hak yang sama, tetapi mengapa mereka tidak. Katakanlah ada sepuluh orang waria tapi satu orang jadi PSK, tapi akhirnya semuanya di cap jadi PSK toh, nah hal-hal seperti itu yang pengen aku sampaikan. Ya akhirnya ketika orang nonton ada sedikit empati, oh iya ya ternyata  ada hal-hal yang ‘mesakke’ bagi waria. Tidak hanya melulu bicara tentang sex, orang-orang kan berpikirnya waria mesti hubungannya dengan sex karena dia kan orang yang kekurangan. Dan ada satu hal yang perlu penonton dan temen-temen tau bahwa hidup menjadi waria itu ga ada, yang ada itu hidup sebagai waria. Kalo menjadi itu kan berubah tapi kalo sebagai, ya karena aku uda nyaman, gen-ku nyaman. Waria juga kalo misalkan mereka ditanya bahkan mereka ngomong sendiri, kalo misalkan aku disuruh milih dan bisa hidup lagi aku gamau jadi waria. Karena selalu dicap yang jelek-jelek dan jadi waria itu ga mudah ga segampang yang kita lihat. Supaya orang tau lah, perspektifnya mau tak belokin dulu.
Reza Kalo di tahun 98 mungkin iya, kita melawan pemerintahan gitu. Tapi kalo sekarang ini kayaknya kalo misalkan disangkutpautin kaya gitu ya pengen nunjukin sisi lain aja sih sebenernya. Ketika sekarang film-film Indonesia apalagi mainstream-nya ya yang masuk bioskop kaya gitu. Dan juga bukan dobrakan juga sih sebenernya, uda banyak bikin yang film kaya gitu film-film alternatif, bahkan film panjang juga ada yang kaya gitu. Lebih pengen ngutarain kegelisahan aja sih sebenernya, dobrakannya ya buat diri sendiri. Karena gua gelisah akan cerita ini dikehidupan nyata sampe akhirnya yauda buat aja, gada sangkut pautnya ke dobrakan-dobrakan yang lebih luas gitu sih. Kalo secara niat dan tujuan ga ada yang pengen dobrak-dobrak kaya gitu.
Kecap : Aku gada cita-cita mendobrak sesuatu sih, cuma memang aku lagi pengen buat bikin film tentang bus, dengan konflik logika dan semuanya berhubungan dengan bus. Karena ini juga tugas akhir mungkin ya, jadi pengen ga sekedar lulus tapi juga punya karya yang paling ngga bisa jadi tawaran lain buat kampus terus penonton, tentang kisah percintaan di bus. Sama satu lagi, aku pengen bikin neorealisme tuh yang mengalir, dalam arti penonton bisa menikmati ga terlalu dibuat bosan kayak kalo kita nonton film-film neorealis yang lain. Tapi itu terlalu jauh latar belakangnya sih kalo keinginan seperti itu, soalnya sempet ngerasa lama juga waktu nonton film neorealis.

¨                  Menurut kalian masih relevankah aliran yang sudah mapan, seperti neorealis untuk diaplikasikan di jaman sekarang?
Ghalif Kalo menurutku ga pernah mati, ga pernah basi untuk digunakan. Karena secara tidak langsung kita menggunakan itu dalam apapun itu tugas misalnya, kalo misalkan kita ngomongin relevan atau tidaknya ya. Misalkan kita tiba-tiba syuting di jalan terus misalkan kita pake available light itu kan sebenernya ciri-ciri mereka, kalo ngomongin relevan atau tidaknya sebenernya lebih kepada isu yang mau diangkat. Kayak tadi Reza ngomong masalah pembelaan masyarakat kelas bawah, relevan atau tidaknya ya tetap menarik, tapi dengan bingkai baru dengan cara baru tanpa merubah esensi dari neorealis itu sendiri. Maksudnya esensinya tetap tuh, bukan masalah teknis dan blabalabla tapi dia menyuarakan apa yang benar-benar terjadi, kan memang di situ kan dia kelebihannya. Ditinjau ulang diberi bingkai baru tanpa merubah itu tadi esensinya. 
Reza Relevan dalam arti pergerakan kayaknya ngga, itu kan kaya yang menjadikan dulu itu nama sebuah teori karena pergerakan kan, kaya misalkan dogma 95 terus new wave. Lebih nyari ke sebutan sih sebenernya, karena film ini terus ngembang kan karena sampe genre pun kita gatau gitu saking berkembangnya. Ketika film arthouse, itu apa sih itu bukan genre kan, tapi disebutnya arthouse, nah ini jadi krisis sebenernya krisis identitas film itu sendiri. Sebenernya ya ga salah juga ketika itu ditarik ke belakang dan juga ga salah juga ketika seorang filmmaker bikin film dia gatau ini film genre-nya apa atau sebutannya apa. Terus kalo secara esensinya sih ada beberapa yang masuk tapi ya disesuaikan juga dengan kondisi yang di sini. Karena di sana melawan yang ke pemerintah ya mungkin kalo dulu di tahun 98 di sini sesuai. Tapi kalo sekarang ini lebih kaya gimana kalo kita liat industrti memproduksi film-film yang kaya begitu, dan kita memproduksi film-film yang beda. Ya perbedaannya itu sih jadi turun level kalo di Indonesia, lawannya ya industrinya.
Kecap : Sangat relevan terutama untuk film-film yang memang ditujukkan untuk alternatif, seperti Siti atau Ziarah yang uda pernah aku tonton, ya penonton juga butuh film yang tidak melulu menyuapi tapi penonton juga harus ikut mikir.

Merespon dari apa yang telah disampaiakan diatas, menurut saya, sebenarnya tidak harus dengan menggunakan pakem-pakem neorealisme untuk menunjukkan realitas pada sebuah film karena untuk menunjukkan kondisi masyarakat serta geografisnya merupakan suatu kebutuhan. Akan tetapi saat ini, untuk membuat suatu film dengan isu kontemporer ataupun tentang kaum buruh, tak lantas membuat kita melakukan proses pengambilan gambar di tempat aslinya. Cukup dengan semangat membuat suatu film dengan realita cerita sebenarnya dan setting yang sesuai karena sejatinya film itu memiliki realitasnya sendiri.
Film adalah media yang mampu membuat orang masuk dan berada di dalam realitasnya, jadi tak harus kita mengambil gambar pada tempat asli untuk menyampaikan cerita tersebut, terakhir tinggal cerita seperti apa yang ingin disajikan. Jika dilihat dari kondisi politik Italia saat itu, Mussolini memberikan batas terhadap konten film yang beredar sehingga gerakan neorealisme saat itu bertujuan untuk mendobraknya. Lalu bagaimana di Indonesia?
Pada masa orde baru konten film dan media massa memang dibatasi, akan tetapi saat ini tidak. Pembuat film sudah bebas membuat film dengan konten kaum buruh atau keadaan masyarakat di Indonesia, terdapat sedikit perbedaan tujuan. Kita juga harus melihat permasalah penting apa sebenarnya yang memang menjadi masalah di Indonesia seperti halnya di Italia.
Singkat kata dengan atau tidaknya neorealisme dalam film, kita sudah seharusnya membuat suatu film tentang isu-isu yang terkini dan sebenarnya terjadi di masyarakat. Beberapa teori yang sudah mapan akan lebih baik jika dijadikan sebagai referensi dalam mengolah isu yang ada dan menyesuaikan dengan kondisi di masa sekarang. Bukan dengan menjadikannya acuan utama dan mengaplikasikan langsung ke dalam film yang akan dibuat. Sebagai contoh jump-cut milik Jean-Luc Godard. Teknik editing tersebut dibuat sebagai bentuk perlawanan dari teknik-teknik formal yang sudah mapan saat itu. Jika kita mengambil teori jump-cut Godard sebagai acuan utama—sedangkan saat ini jump-cut sudah banyak digunakan di dalam film—lantas perlawanan terhadap apa yang kita lakukan sekarang dengan jump-cut ala Godard tersebut? Itulah mengapa ada baiknya kita mengolah terlebih dahulu teori-teori yang sudah mapan dan menyesuaikan dengan kondisi serta isu yang ada saat ini.

Jumat, 6 Janurai 2017.
Telah disunting oleh Deasy Fatmasari.