Sunday 30 November 2014

Babad Alas: Bina Rerasan Musyik Kita!




--- terspesial untuk Ridho Afwan Rahman

Awal Mula
Jika berbicara mengenai Babad Alas (Band-band-an lan rasan-rasan) berarti wajib membicarakan latar belakang pembentukannya. Kisah yang melingkarinya dan alasan-alasan kenapa Babad Alas dilahirkan. Singkat kisah, pada waktu itu, BEM masa ketua Fajar Riyanto menangkap dan merasa khawatir terhadap atmosfer kampus yang dingin dan datar. Kampus yang kering bak kemarau tak berkesudahan. Pasang surut kegiatan dan keramaian. Apalagi ketika itu tidak ada ruang yang dapat merangkul musisi-musisi otodidak media rekam. Atas dasar itulah Babad Alas diciptakan.

Di sisi lain, Babad Alas lahir menanggap respon anak-anak media rekam yang menyukai rasan-rasan. Daripada rasan-rasan hanya dinikmati oleh segelintir kaum kantin, oleh anak-anak penggagas, konsep rasan-rasan dihadirkan diatas stage bersama suguhan musik. Hal ini dilakukan agar terjadi persebaran gosip ataupun kabar samar kepada khalayak ramai. Toh, kita sama-sama tahu, gosip-menggosip selalu mampu menciptakan daya lecut ‘tuk menggairahkan aktivitas kampus.

Dalam kegiatan bermusik, Babad Alas mempunyai cita-cita untuk mengelola anak-anak yang mempunyai kesamaan hobi, yaitu band-band-an. Selama ini adat bersenang-senang khususnya di bidang musik hampir tidak terjadi lagi. Intensitasnya menurun drastis bila dibandingkan dengan masa terdahulu. Padahal, musik salah satu obat mujarab mengobati kesuntukan. Dengan diadakannya Babad Alas, semoga saja tradisi bermusik media rekam dapat semarak kembali. Semoga saja anak-anak tidak lupa berpesta ria.


Ujian dan Perkembangannya Hingga Hari Ini
Rencana-rencana yang telah disusun ditambah sedikit awang-awang ternyata banyak menemu kendala. Seperti siapa yang harus melaksanakan acara itu dan konsep utama Babad Alas yang sering kali luput di setiap penyelenggaraan. Semuanya masih berjalan secara serampangan dan membabi buta asal ada. Hanya pada Babad Alas edisi pertama sajalah yang mendekati konsep awal seperti yang telah diungkapkan diatas. 
Memasuki perhelatan kedua, ketiga dan keempat arah filosofis Babad Alas mulai bergeser. Yang tadinya sebagai mimbar ngrasani akhirnya tidak berjalan maksimal. Rencana untuk mengajak anak-anak media rekam lainnya untuk unjuk gigi diatas panggung juga tidak berjalan lancar. Malahan yang tidak terduga sekarang ini bahwa Babad Alas dibaca sebagai tempat syukurannya anak-anak wisuda.

Kita tidak bisa menolak takdir ini. Takdir bahwa anak-anak kampus tidak pandai mengorganisir sesuatu. Itulah kenapa pada saat itu, masanya Fajar Riyanto, penanggung jawab Babad Alas selalu diberikan kepada kolektif satu angkatan. Dengan maksud apabila dipegang satu angkatan secara bersama, Babad Alas dapat terselenggara dengan baik.
Namun, tidak semulus dalam bayangan, ternyata cara itu tidak membuahkan hasil. Metode itu membuat Babad Alas berubah arah tujuan. Karena kenyataannya, semakin banyak kepala alias pikiran-pikiran, telah menggeser ideologi Babad Alas.


Babad Alas Terkini
Memasuki perhelatannya yang kelima, Babad Alas kembali diuji. Apakah masih mempunyai daya pesona untuk menarik anak-anak media rekam untuk beraktivitas di dalamnya ataukah Babad Alas memang ditakdirkan berumur pendek? Jika memang Babad Alas masih dianggap penting, berarti harus ada orang-orang yang sudi selo untuk mengurusi segala tetek bengek keperluan. 
Idealnya, Babad Alas –yang masuk dalam program BEM, harus dilaksanakan oleh divisi yang membawahinya (dan anggota-anggota divisi itu) atau rancang metode lain yang lebih efisien dan tepat guna. Pabila ingin terus eksis maka perlu dilakukan penjagaan ideologi yang baik dan anak-anak yang mampu memberikan perhatian lebih kepadanya.

Fokus utama yang harus segera dilakukan yaitu mengembalikan Babad Alas ke jalurnya. Ke ruhnya seperti awal kelahiran. Sebagai tempat melepas penat dengan bermus(r)ik dan nggosip asyik! 

November 2014
(muhamadef)



Saturday 29 November 2014

LAGI?!




            Pameran perdana FSMR angkatan 2014 kemarin baru aja dimulai. Dengan diawali hal-hal yang “anget” sebelum acara itu dilaksanain, contohnya kayak aku denger biaya yang mereka keluarin untuk nge-buat pameran perdana ini gak sedikit, ya kalo di total sih cukup lah buat beli 50.000 buah gorengan di kantin FSMR hehehe. Dengan asupan dana yang besar, seharusnya mereka bisa bebas berkreativitas dengan luas untuk mendekorasi pelataran di sisi selatan gedung dekanat itu, tapi nyatanya........... yaaaaaahhhhhhhhhhh *hela nafas panjang*.

            Sebenernya, pas pembukaan pameran kemarin aku dateng dengan penasaran sejadi-jadinya, “gimana nih ya dekorasinya? Pasti “wah” banget nih dengan dana segitu (jadi gak sabar deh). Aku dateng dengan semangat yang gak bisa dilawan, masuk ke pelataran parkir tuh udah buru-buru aja bawaannya supaya gak ketinggalan acara yang kayaknya-bakal-keren-nih-dekorasinya, masuk tuh sampe lupa isi buku tamu, semangat banget kan?

            Pas aku udah masuk kedalem pelataran acaranya, kamu tau gak apa yang aku fikirin setelah ngeliat dekorasinya yang udah aku bayangin bakal wah banget? Ternyata ekspektasiku diuji... Lagi... Lagi... Lagi... ini acara pameran perdana atau AFTA#2? Hehehe. Ternyata dekorasi yang mereka suguhkan adalah bentuk serapan dari acara AFTA#2, tinggal tambah bendera carnival aja tuh jadi lagi AFTA#2 hahahaha...

            Aku heran banget, ini masalah dana apa ya dekorasinya? Perasaan gak kurang deh kalo diinget total dana mereka sampe tumpe-tumpeeeeee kayak julia perezzz. Kurang kreativitas? Kalo diliat sih tema yang mereka usung tuh “Start to the future” kan? Bukan “Start to remake the atmosphere” kan?, apa ini yang bisa dibilang masa depan? Meniru tanpa mengolah? Plissssss.... kita semua udah penat dengan keadaan yang gitu-gitu aja.

            Secara, dekorasi tuh punya bagian yang cukup fital buat nunjukin konsep acara, seharusnya bisa kasih yang lebih “something new” dari yang sebelum-sebelumnya. Dan satu lagi yang ngeganjel dan udah jadi bagian kritikan yang cukup masuk ke hati untuk dekorasi AFTA #2, pemilihan bangku putih yang terlalu formil, mataku terus tertuju kesitu! Kesan bangku putih kaku itu tuh bener-bener ngebuat fikiranku kemana-mana, apa iya sih di “future” tuh semua-muanya jadi kaku? Kaku? Kaku? Aaaaaaaahhhhhhhh aku gak mau masa depan yang kaku, aaaaaahhhhhhhhhhhhhh...

            Ya mungkin tulisan ini bisa jadi renungan untuk dekorasi-dekorasi selanjutnya, pliiiiiisssssss... toloooooooooooong... kita butuh suasana baru! *hela nafas panjang*


Salam hangat,
bagasOA

Friday 28 November 2014

KU TAK SANGGUP RELA ENGKAU MATI



Ada  rasa kekecewaan yang amat sangat ketika Sewon Terbuka gagal dilaksanakan. Pameran yang sudah berjalan sekitar 7 tahun ini –yang ditunggu-tunggu oleh banyak mahasiswa media rekam, membuat para mahasiswa geram karena ditinggalkan begitu saja oleh pengurusnya.

Dari tahun ke tahun Sewon Terbuka memang mempunyai kendala yang khas di setiap pelaksanaannya. Mulai dari dana, ide, serta yang mendarah daging yaitu keseriusan para mahasiswa untuk mengadakan. Dilihat dari kultur mahasiswa media rekam yang terlanjur sangat apatis, tahun demi tahun, generasi demi generasi, acara-acara yang selalu diwacanakan selalu menjadi wacana. Maka, terimalah dengan lapang dada kisah tragis Sewon Terbuka.

Dilihat dari sejarah, acara ini memiliki posisi penting dalam kehidupan kampus kita. Khususnya sebagai alat untuk menyuarakan dan mengekspresikan berbagai keluhan terhadap birokrat kampus dan dosen yang pemalas. 

Sewon Terbuka memiliki andil yang luas dan penting. Di ruang ini, semua warga kampus terlibat. Dosen mengkritik dosen yang jarang berkarya, mahasiswa mengkritik dosen yang blahbloh, hingga mengkritik para petinggi kampus. Kita tengok tahun lalu sebagai contoh, masih ingatkah karya Vektor dan Pras yang menggemparkan Dekan? Vektor bersama karyanya yang berjudul “Isih Penak Jamanku Tho?” dengan visual tampak seperti Risman Marah –yang notabene mantan dekan, membuat panas Alex. Dia merasa dilecehkan dan dibuat rendah posisinya. Eyel-eyelan pun tidak terelakkan. Konon, sampai detik ini Vektor dan Alex masih sering bersitegang. 

Pras pun demikian. Mahasiswa nyentrik nan unik ini menggambar karyanya di tangga serambi gedung fotografi dan dengan teks yang cukup provokatif pula: Not Art Space. Atas nama etika dan estetika, Pras terpaksa harus cemberut. Dia dipaksa untuk menghapus dan membersihkan karyanya. Lagi-lagi Dekan, dia menghakimi Pras salah tempat karena ‘mencorat-coret’ infrastruktur kampus.

Diatas adalah secuil kisah kejadian di dalam Sewon Terbuka. Mungkin tahun ini kita tak dapat menikmati keseruan-keseruan seperti masa yang lalu. Mungkin kita harus menambah kesabaran lagi untuk hal ini. Atau, masihkah ada upaya untuk membangun bersama Sewon Terbuka kita? Masihkah ada satu tujuan satu sifat kekeluargaan untuk ini? Semoga!

Tahun ini Sewon Terbuka terpaksa ditunda. Ia menunggu untuk dibangunkan kembali. Ia juga menunggu para mahasiswa untuk bangun dari sifat malasnya.


“Menyisakan pahit.

Menyisakan pahit.

Menyisakan pahit, Ku ditinggal Ketuaku”

November 2014
(Muhamadef)

Friday 14 November 2014

(32) Gelap-

'Lihat itu'
'Apa?'
'Lihat dibawah itu?!'
'Bagaimana aku bisa melihat! Kau diatas sana, sedangkan aku berada dibawah tanah mengeruk kuburan ku sendiri!'

gelap gulita-