Tuesday 23 December 2014

KETAKUTAN KARENA KETIDAKTAHUAN


Rabu sore tanggal 17 di bulan Desember 2014, kampus ISI Yogyakarta Fakultas Seni Media Rekam, atas kerjasama Kamisinema dan Berkacakata, berkesempatan untuk menayangkan dan mendiskusikan film besutan sutradara asal Amerika Serikat yaitu Joshua Oppenheimer berjudul Senyap (The Look of Silence) di ruang Audio Visual lantai 3 gedung Dekanat FSMR. Film yang bertema sentral pembantaian massal tahun 1965 ini pun seakan mengoyak kembali kejadian suram di tahun itu. Namun yang menarik dalam film kedua karya Joshua ini adalah film ini bercerita dari sudut pandang korban pembantaian.

Adi Rukun, tukang kacamata keliling itu adalah adik Ramli, salah satu korban pembantaian 1965-1966 di salah satu desa perkebunan terpencil di Sumatera Utara. Adi tumbuh dalam keluarga yang secara resmi dinyatakan “tidak bersih” karena kakaknya Ramli dianggap simpatisan PKI. Walaupun subjek dalam film tidak mengalami peristiwa secara langsung, Adi Rukun harus menyanding takdir sebagai adik dari pria yang dibunuh di tahun-tahun peralihan orde lama ke orde baru tersebut. Dalam film dokumenter berdurasi sekitar 98 menit ini, Adi Rukun mencari dan menghampiri para jagal kakaknya di tahun 1965 dulu untuk mengetahui alasan-alasan mengapa mereka membunuh kakaknya dan hanya sedikit jagal yang melontarkan sebuah kata yang Adi harap meluncur dari mulut para jagal yaitu “maaf”.
---
Waktu menunjukkan pukul 15.30 WIB. Parkiran motor kampus sudah ramai. Ruangan AUVI penuh sesak kawan-kawan yang penasaran terhadap film tersebut. Tercatat 100-an orang lebih memenuhi ruangan. Karena keterbatasan tempat, panitia terpaksa menutup pintu. Rasa kekecewaan muncul dari banyak kawan yang tidak bisa masuk. Untuk mengakomodasi keinginan kawan-kawan, panitia pun menjanjikan akan ada penayangan sesi kedua. 

Pukul 15.45 WIB, Senyap mulai diputar. 

Masih di dalam lingkungan FSMR, di tempat berbeda sebelum acara pemutaran dimulai, berdatangan pula polisi seragam bebas, entah apa namanya, indomie telur mungkin? Jumlah mereka kurang lebih 15-an orang. Mereka tampak sigap dan mulai bergerak kesana kemari mencari informasi. Selidik punya selidik, mereka memang diturunkan untuk cek dan ricek di lapangan. Tetapi bukan ditugaskan untuk mengamankan acara ini. Bahkan pernyataan salah seorang diantara mereka cukup mengagetkan panitia, dia bilang, ”Kami mendapat laporan bahwa akan diputar film yang cukup sensitif dan kemungkinan akan ada pihak-pihak yang tidak senang dengan acara ini. Maka dari itu kami kesini, jika pihak-pihak itu memang benar datang kemari dan agar tidak terjadi insiden apa-apa, lebih baik pemutaran film ini segera dihentikan”. 

Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan dengan jelas pesan apa yang ingin disampaikan para polisi tak berseragam. Mereka sama sekali tidak ada niat untuk mengamankan, bahkan menganjurkan kepada panitia untuk tidak melanjutkan acara pemutaran. Disini, terlihat jelas kalau polisi (sengaja?) tidak mempunyai kuasa atas ancaman-ancaman yang bakal terjadi.  

Di ruang tayang, suasana menjadi hening. Semua orang melihat dengan seksama sekaligus miris. Berbagai rupa ekspresi ditunjukkan. Kesedihan, kekecewaan dan pastinya rasa marah. Berbeda dari dalam ruang tayang, di luar ruangan, tepatnya di lantai bawah depan dekanat, situasi mendadak mencekam. Ada sedikit rasa was-was. Seketika perasaan itu muncul ketika polisi preman itu mulai bertindak aneh mondar-mandir dengan telpon genggam di kupingnya.

Kurang lebih pukul lima sore, akhirnya apa yang dikhawatirkan itu muncul. Dari arah timur gerbang utama, massa mendatangi kampus FSMR dan memaksa masuk. Polisi tidak dapat mencegah. Entah kenapa saat kejadian berlangsung, polisi tidak berani menghalau massa. Atau adakah upaya “setting” disitu? Wallahualam. 

Massa dengan beringas berlari menuju gedung dekanat. Pekikan takbir dengan intonasi serta artikulasi kebencian membuat kaget orang-orang di dalam gedung. Massa menuju lantai tiga tempat ruang AUVI berada. Mereka memukul pintu ruangan dengan keras dan memaksa semua orang untuk keluar. Wajah mereka kesetanan. Bentakan-bentakan anti komunis muncul. Parahnya, massa menuduh dengan semena-mena bahwa acara ini adalah bagian dari kaderisasi partai komunis gaya baru. Astagfirullah! Terberkatilah orang-orang yang su’udzan!

Tidak hanya menyuruh semua orang untuk keluar saja, massa memaksa masuk ruang AUVI menggeledah dan mencari file Senyap. Tetapi akhirnya, file film tidak berhasil ditemukan karena ternyata banyak anggota massa itu gaptek. 

Belakangan tersiar kabar bahwa massa itu berasal dari perkumpulan pemuda yang berbasis di salah satu parpol Islam. Mereka tidak menyukai film tersebut karena diduga sebagai alat propaganda untuk menyebarkan dan menularkan paham komunis. Paham yang menurut mereka dapat melemahkan dan membahayakan kaum muslim. Mereka tampak ketakutan sekali terhadap film itu. Lucunya, massa itu ternyata belum menonton film tersebut. Lantas apa yang mereka takutkan? Preman edan!

Kelompok dengan mengedepankan kekerasan dan fitnah-fitnah wajib ditumpas. Takbir di tangan mereka membuat Islam semakin jauh dari kesan damai. Padahal, Islam sendiri melarang umatnya untuk berprasangka buruk. Islam juga mengajarkan untuk selalu belajar agar mengobati rasa ingin tahu. Bahkan, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk menimba ilmu sampai ke negri Tiongkok. Di tangan mereka, Islam menjadi sumber ketakutan dan kecemasan. 
---
Kejadian Rabu kemarin merupakan tindak kriminal yang harus diusut tuntas. Peristiwa tersebut telah mencederai kebebasan berpendapat dan ekspresi. Apalagi acara pemutaran itu dilaksanakan di lingkungan kampus. Kita semua tahu, kampus merupakan ruang terbuka untuk mengkaji dan mendiskusikan segala sesuatu. Oleh karena itu, kampus wajib aman dan nyaman dari sikap intoleran, sifat radikal dan tindakan kekerasan apapun. Jika kampus tidak bisa lagi menjadi tempat yang aman dan terbuka, lantas dimana lagi tempat wawasan dan ilmu pengetahuan dapat berkembang? 

Jangan-jangan sia-sia saja tulisan ini dibuat, Ormas ini ‘kan sakitnya sudah terlalu. Sudah gaptek, tak rajin baca pula. Atau mereka tidak bisa baca? Padahal diajarkan ‘lho di dalam Islam: IQRA’!

Baiklah, setidaknya peristiwa ini dapat memberikan pelajaran bagi kita –mahasiswa-mahasiswa Indonesia. Kita tak perlu cemas. Kita tak perlu khawatir. Kita tak perlu takut. Jika takut, obatilah dengan takbir! TAKBIR! TAKBIR! TAKBIR!

(Berkacakata)


Wednesday 3 December 2014

Ibu Kantin


Di kampus matahari terbenam berbeda   
Seorang mahasiswa menyaksikan   
Peristiwa yang sungguh aneh itu   
Matahari terbenam pas di lubang wc

Dia lari tak jadi kencing   
Hingga lupa celananya terbuka   
Bola kuning bersinar tenggelam   
Terhirup air masuk ke pembuangan

Sampailah dia di tangga dekanat   
Dan di depan sudah ramai   
Disambutlah orang itu   
Tepuk tangan cemooh bergemuruh

Kampus sinarnya hilang 
Si Mahasiswa takut mencoba   
Rasa ingin tahu lenyap   
Peristiwa kini dihinggapi ketidakpedean

Masa depan loyo   
Tiada semangat   
Sia-sia    
Sia-sia

Lalu, di belakang gelas es teh yang dipegang Dekan,   
Ibu Kantin menangis, melihat buku utangnya yang semakin hari   
semakin menebal.

November 2014
(muhamadef)

Bulan Penghujan di Selatan


Tanah basah
Pohon munggur
Hujan lebat
Angin keras

Genangan air
Daun jatuh
Atap bocor
Sungai deras

Kopi panas
Tempe hangat
Celotehan kawan
Ejekan pemabuk

Kaca pecah
Mulut teriak
Adu tonjok
Sound pecah

Rasa suka
Rasa cinta
Rasa sayang
Rasa jatuh

Jilbab hitam
Kaca mata
Rambut panjang
Belah tengah

Kantin kampus
Kecemasan harapan
Masa lalu
Masa depan

Dua kata sebagai pemantik,
mengingat kembali,
memanggilnya kembali,
kenangan-kenangan penghangat suasana.

November 2014

(muhamadef)

TAROT ke - 10


Bulan terakhir mengarah sesuai ramalannya
Inilah tarot ke sepuluh
Arus balik perputaran
Tergerus kembali pada titik kosong
Kosong karna penuh
Penuh yang merajang kulit perlahan
Inilah waktu dimana panen kembali mengantongi sejenak bibit-bibitnya
Waktu dimana panglima perang ingin kembali pulang dan tertidur di pangkuan rakyatnya nan tak bersenjata
Waktu dimana semesta merasa ingin memutar tenang pusarannya yang sederhana seperti dulu lagi
Maka kulontarkanlah permintaan maafku atas nama kebebasan jiwa
Pada akhirnya semesta meraungkan amarahnya atas apa yang telah dijaga
Bebatuan dan dahan beserta Tuan tanahnya sedang tak merestui
Buat apa harus dipaksakan jika hanya untuk menuju ke dalam satu kotak
Peng-kotak-an
Saat rasa cintaku terhadap karya-Nya berbentur dengan kebebasanku untuk hidup sesuai halusinasi dan mimpi
Maka dengarkanlah terimakasih . . .
Setidaknya dari hamba . . .
Terimakasih untuk lingkaran ini
Terimakasih untuk senyuman mereka
Terimakasih untuk slalu sedia menjaga geraknya
Terimakasih untuk tidak mengangkatnya terlalu tinggi
Terimakasih untuk selalu menjaga mereka yang tak hentinya berdiskusi
Hamba senang melihat semua ini walau hamba tak berlari sekencang mereka
Namun, biarkanlah kaki ini tetap berlari tanpa harus mengejar
Tak ada yang harus selalu menjadi pembanding
Dan tak ada lagi kotak dalam otak
Jagalah semangat mereka
Aku akan kembali pada yang seharusnya, yang tidak harus untuk diharuskan
Esok biarkanlah menjadi tanda tanya
Semoga ada reinkarnasi
Karna esok mungkin saja kematian

Ridho Afwan Rahman
3 Desember 2014

SEMU(A)



Pada ruangan pasir kemarin
Kau manja telingaku dengan riuhnya
Kau ayunkan dengan tingginya
Selamatlah aku dan haluanku
Maaf jika hamba melupakannya Tuan
Karna hamba memang sudah pelupa
Helai demi helai sudah bertumbuh
Tapi untuk yang satu ini janganlah terlalu tinggi
“Karena ruang yang tak memiliki batas ruanglah yang mampu meruangkan semuanya”
“Karena semua hal yang tak berdefinisilah yang akan menjadi kekal berisi”
Kapankah ruang yang tak berdefinisi mampu menciptakan masa dimana semua hal tak lagi memiliki nama . . .
Aku mungkin memulai semuanya, namun semuanya memiliki ribuan awalan lainnya
Jagalah apa yang sedang semua lakukan
Sekedar tenang sekiranya tak seberapa sulit untuk Kau kabulkan
Di jurang kesadaran semua akan menyimpan hartanya
Maka tetap seimbang adalah jawabannya
Atau juga mati muda yang jadi kemungkinannya
“Semua di kala tidak lagi semua harus untuk dipertanyakan”
“Semua di kala tidak lagi semua harus untuk dimengerti”
Mungkin semua atau tidak lagi semua kelak menjadi suatu hal yang sudah pasti dapat dimengerti
tanpa harus terus dipertanyakan . . .
Sekalipun ini semua tidak dapat dimengerti
Itu pun tidak harus menjadi pertanyaan
Karna dari sesuatu yang tidak kita mengertilah kita akan terus menghasilkan semu(a)

Ridho Afwan Rahman
12 November 2014

Ruang Renung



Aku sedang menyadari, tidak lama, baru saja seharian tadi
Aku terdiam atau memang didiamkan oleh semesta, pun aku tak tau
Aku semakin menyadari bahwa semua hasil akhir takdir ini tidak sesuai
Tidak sesuai karna aku bukanlah aku
Ternyata aku bukan seseorang yang dapat berputar dengan mata spiral layaknya hipnotis
Aku semakin menyadari bahwa semua ini meleset
Aku yang sebenarnya adalah aku yang bebas, tak pernah terdesak untuk dilahirkan
Kenapa sampai-sampai aku bisa berjalan lurus tanpa berkedip
Menuju sesuatu yang aku tau tak ku restui wujudnya
Apakah ini ruang bicara Tuhan agar aku tau arti seimbang
Atau ini benar-benar cara manusia memodernisasikan Tuhan itu sendiri
Aku lemas . . .
Aku lemas . . .
Aku tau mata ini sudah lemas
Aku tau langkah ini sudah tidak jelas
Aku tak tau bagaimana bisa aku selemas ini
Namun aku tak bisa memutar angin secepat itu
Aku merasa aku tak pernah seburuk ini
Tuhan tolong lindungilah aku dan orang-orang yang aku rangkul
Kaki ku sudah tampak terlalu basah
Apakah aku sakit jantung?

Ridho Afwan Rahman
2014

Tuesday 2 December 2014

PLASTIK



visual oleh Prasetya Yudha




Seragam
Namanya juga awalan, selalu kesulitan, jika sudah tak tahan, maka ambil gampang, seragamkan!


Begitulah kira-kira mengamati tahun demi tahun setiap pameran perdana, di tengah keluhan ini itu yang terdengar dari sepoy-sepoy sambil lalu angin sore. Sepertinya setiap generasi juga mengalami hal yang sama saat menjalani welcome party tersebut, meski tak dari semua segi. “Saat itu tak kepikiran sampai sana”, selalu alamiah menjadi jawaban. Di sini, peran generasi yang lebih duluan dipertanyakan. Jelas harus bertanya pada diri sendiri, “kenapa kita membiarkan itu terjadi?”,tapi saat ingin menjawab, lalu muncul pertanyaan lainnya, “apakah pantas? jangan-jangan sampai saat ini kita masih seragam?”, lalu pertanyaan pertama pun cuma jadi retorika belaka. Lalu terdengar celetukan, “tapi, setiap generasi yang sedang memulai memang maunya seperti itu, biarin aja mereka maunya apa, toh baru masih pameran perdana, toh pameran mereka sendiri juga”. 

“Yasudah, urus dirimu sendiri!!!”, teriak dalam hati seseorang di pojok kantin, entah buat siapa.

>< >< ><

Bisu
Seperti biasa di hari-hari yang biasa, sepoy-sepoy angin sore kala itu tak membawa kabar tentang pameran perdana saja, pergantian kepengurusan BEM dan HMJ di FSMR juga tak luput dari kasak kusuk, menjadi bagian angst teman-teman generasi yang lebih duluan. Ya, politik kampus memang menjadi bahasan menarik akhir-akhir ini, sampai merembet ke gender, sosial, budaya, bahkan ekonomi. Tak kalah dengan perpolitikan dalam negeri, bahkan lebih asik, apalagi sambil menyeruput kopi, menyulut rokok, dan melihat dedek-dedek (kecuali yang menunggu dedeknya yang tak akan kelihatan).


Apakah ada harapan? Pertanyaan itu muncul saat mengamati jangkauan kehadiran mereka di ruang-ruang alternatif. Tidak semua, tapi hampir seluruhnya. Apakah ada yang percaya selera mempengaruhi hasil kerja? Jika iya, yasudahlah, semoga inisiatif, sikap, dan kesadaran mereka akan ada. Bukannya pasrah merupakan bagian dari percaya? Lagian, jangkauan dan selera yang nyeleneh tanpa ada kemauan untuk laku berontak juga percuma, tetap saja berdiri di arus utama dan larut ke dalam waktu yang tak berasa.

Mereka tidak akan sendiri, mereka ada di sisi kami, kalau mereka mau, kami mau tau, tapi kami akan tetap bisu!

“………………..……kami???”

>< >< ><

Menjadi itu sulit, menjadi ini mudah, daripada tak menjadi apa-apa!


November 2014
(Prasetya Yudha)