Penulis : Arief Budiman
Ada satu hal yang menarik
jika menilik Tugas Akhir karya penciptaan mahasiswa Jurusan Televisi dan Film tahun
ini. Beberapa mahasiswa, memutuskan untuk menerapkan teori film neorealis—entah
secara sengaja atau tidak—dalam film yang dibuat. Mengingat adanya kabar miring
tentang larangan pembuatan film realis, mungkin—dalam hal ini—teori film
neorealis merupakan pilihan lain untuk tetap memantapkan gagasan yang mereka
punya. Melihat deretan judul penciptaan karya di rak perpustakaan, sepertinya
tahun ini menjadi sebuah fenomena baru dalam pembuataan karya Tugas Akhir, karena
beberapa mahasiswa menerapkan teori film yang sama secara bersamaan. Hal ini
menjadi menarik, terlebih gagasan tentang film neorealis tengah menjadi buah
bibir karena beberapa pembuat film yang go
international dan mencanangkan diri sebagai pembuat film yang berasaskan
neorealis.
Adalah Ghalif,
Reza dan Eka atau yang akrab dipanggil Kecap, tiga mahasiswa yang menerapkan gaya neorealis dalam karya Tugas Akhir mereka. Jika
melihat kembali film-film yang sebelumnya mereka buat—bentuk dan jenis
film—tidak semua dari mereka memiliki kedekatan dengan film neorealis.
Mengulas sedikit tentang neorealisme, gerakan sinema
di Italia ini merupakan gerakan yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi
sosial, ekonomi, dan politik pasca Perang Dunia ke-2. Pada saat rezim
Mussolini, sinema Italia adalah fotokopi dari film-film Hollywood. Penonton
seperti disuguhi “utopia” dalam film agar dapat melupakan kenyataan pahit yang
sebenarnya terjadi. Orang-orang Italia menyebut jenis film tersebut dengan telefoni bianchi alias “Telepon Putih”.
Pasalnya, dalam film-film tersebut selalu ada wujud telepon putih, sebuah
barang yang pada jaman itu hanya dimiliki orang kaya. Menurut Mussolini,
sebagai medium hiburan, film harus mengacu pada modus produksi Hollywood yang
dari dulu sampai dengan sekarang menjadi industri hiburan nomor satu di dunia.
Ia juga tetap menerapkan sensor yang ketat atas film-film komersil agar
kontennya secara politis tidak berlawanan dengan kepentingan rezim.
Setelah berakhirnya perang
dan jatuhnya Mussolini, gerakan neorealisme Italia semakin berkembang. Beberapa
sutradara yang berpengaruh besar terhadap gerakan tersebut adalah Vittorio de
Sica, Luchino Visconti, dan Roberto Rosselini. Film-film neorealis memiliki
ciri khusus yaitu penceritaan dengan latar kenyataan sesungguhnya dengan latar
suasana keseharian di lapangan tempat berlangsungnya pengambilan gambar, serta
memanfaatkan para pemain non-profesional yang—sedikit maupun banyak—diambil
dari situasi tempat berlangsungnya kisah. Cesare Zavattini, seorang pemikir
dalam gerakan Neorealisme Italia menyatakan bahwa: “Apa yang benar-benar
diusahakan bukanlah menciptakan sebuah kisah yang terlihat seperti peristiwa,
namun menyajikan realitas yang seolah-olah adalah kisah”. Selain itu, Andre
Bazin, seorang kritikus film asal Perancis juga mengatakan bahwa neorealisme
Italia berangkat dari posisi ontologi (realitas) sebelum posisi estetis.
Sedikit penjabaran
neorealisme di atas kurang lebih cukup menjadi sebuah gambaran awal bagaimana
neorealisme dalam film. Kembali pada pembuat film yang menerapkan neorealisme
dalam karya Tugas Akhir mereka, bagi saya, salah satu faktor utama mengapa
mereka memilih untuk menggunakan dan menerapkan neorealisme dalam film adalah
keinginan untuk menyampaikan realitas yang sebenarnya. Akan tetapi, itu
hanyalah asumsi. Demi mendapatkan jawaban yang sebenarnya dari pembuat film
yang menerapkan neorealis, saya akhirnya memutuskan untuk melakukan proses
wawancara dengan Ghalif dan Reza. Seperti apa mereka mengemas film Tugas Akhir
dengan menerapkan neorealisme? Masih relevankah teori-teori yang sudah mapan
itu untuk diaplikasikan di jaman sekarang? Berikut adalah sedikit perbincangan
saya bersama mereka:
¨
Mengapa memilih neorealis sebagai acuan utama?
Ghalif : Pertama karena cerita yang aku angkat kali ini adalah kisah
nyata, dan yang kedua adalah ketika aku ingin menghadirkan karakter realis dari
seorang waria aku bisa memasukkan orang yang sesungguhnya bukan aktor. Nah kalo
di realis orang lain atau pemain teater bisa jadi waria, tetapi apakah dia bisa
menunjukkan identitasnya sebagai waria, belum tentu. Tapi kalo waria dia bisa
membentuk dirinya sendiri dan itu hanya mungkin dicapai melalui neorealis, ya
memang itu kelebihannya neorealis seperti cerita, karakter, dan lokasi.
Misalnya aku menghadirkan tukang copet asli dan dilakukan di perempatan yang
sama, maka emosinya akan sama, tetapi jika aku memindahkan lokasi ke perempatan
yang lain karena alasan teknis bisa ngga? Ya bisa tetapi emosinya belum tentu
sama, seperti itu.
Reza : Aku ngga terlalu mentingin itu sih ini film realis, neorealis
atau yang lainnya, ini cuma kebutuhan kampus aja sih sebenernya. Dari naskah
juga ngga kepikiran neorealis, cuma waktu aku ngajuin ke kampus dan butuh
judul, mereka nyaranin ini neorealis aja nih, nah dari situ aku nyesuain
naskahku. Terus aku nyari neorealis itu kayak gimana sih, apa sih
patokan-patokannya, dan ternyata oh bisa nih dimasukkin ke naskahku, yauda
akhirnya aku nyesuain. Sebenernya aku sih ngga terlalu ngurusin biar aja nanti
yang nonton menilai, karena saampai saat ini aku juga ga pernah bikin film
mentingin ini gaya apa, ini gaya apa. Karena ini kebutuhan kampus yauda aku
bikin gaya neorealis. Aku lebih menitikberatkan ke teknis sih, udah lumayan
banyak film yang nerapin itu, kayak long-take
artistiknya apa adanya dan pas banget budget-ku
gamau banyak-banyak dan itu sesuai. Tetapi kalo soal pemain aku ga terlalu
milih mau professional atau engga,
karena toh ga semua film neorealis menggunakan pemain asli. Itu ga menjadi
fokusku, aku lebih mentikberatkan ke teknisnya aja. Aku lebih ngambil ke esensi
neorealis itu sendiri sih. Berawal
dari Italia dan itu merupakan pemberontakan, menunjukkan sisi lain dari ke-glamor-an negaranya dan aku juga ingin
memperlihatkan itu, sisi lain yang ngga terlihat oleh media sekarang ini.
Kecap : Kalo aku nyesuain kebutuhan naskah sih, karena naskahku
sendiri kan mengangkat tentang kru bus yang mengalami masalah dalam pencarian
nafkah. Kemudian ditambah lagi dengan adanya cinta segitiga di situ, nah karena
subjeknya dari kalangan menengah ke bawah maka aku pake neorealis. Kalo
ditulisan sih aku ga ngomong kalo ini kisah nyata karena akhirnya banyak tak
sadur ceritanya. Aku pernah denger omongan di warung tentang supir yang
kebetulan bawa istrinya terus selingkuhannya naik, sampe mati kutu supirnya,
nah dari cerita itu tak ubah jadi
skenario sama vre. Waktu aku riset ternyata supir yang busnya tak pake syuting
juga pernah mengalami hal yang serupa, tapi mungkin beda versi, tapi mungkin
menurutku hal seperti itu jadi wajar. Dulu sempet bingung mau digarap kaya apa
naskah AKDP –judul film dia- ini, nah sempet dulu pengen nyoba ekspresionis wah
gak mungkin aku terlalu dangkal untuk mencapai itu. Kalo realis ya ga sesuai
dengan konten bus dan terminal itu kalo menurutku, kalo mau surealis wah ini
kenyataan jadi ga bisa seperti alam mimpi akhirnya aku pilihlah neorealisme.
¨
Sejauh mana neorealis akan diaplikasikan ke dalam film?
Ghalif : Kalo aku ikut acuan yang awal, pake talent aslinya kaya gitu.
Bahkan kalo ngomongin nanti di teknis aku ga bakal pake lampu, dalam arti
misalkan di situ ada lampu apa terus warnanya daylight apa tungsten
paling nanti diganti pake softone
kaya gitu. Terus penggunaan kamera bahkan lensa pun aku cuma pake satu, satu focal length 24mm doang. Karena aku
ingin memproyeksikan ketika penonton liat itu deket ya ikut deket ketika jauh
ya ikut jauh. Ada yang bilang itu mirip gaya dokumenter, yang ga ribet kaya
gitu. Yang aku ingin kasih liat sih identitasnya, waria tuh kaya gini loh ga
semuanya negatif. Ketika aku pake teknis kaya gitu bisa mewakilin mereka baik
secara simbolis atau lainnya. Acuannya apa aja, ya dari yang ada aku terapin
dari lokasi, setting, talent. Ketika
aku riset aku ngomong bahwa aku buat ini bukan mendukung tapi aku ingin
menunjukkan bahwa itu penting, kaya waria juga butuh BPJS, waria butuh hak
suara, bahkan terakhir di Badran waria meninggal ga ada yang mandiin ga ada
yang nganterin ke kuburan. Yang meranin nanti ya ga mungkin yang uda meninggal
tapi ya temannya, yang punya kedekatan dengan dia, punya kedekatan emosional.
Reza : Aku kan nyesuain naskah ke teorinya, aku nyari celahnya aja.
Misalkan dari cerita, aku nemu kalo Bazin bilang kalo neo bisanya ceritanya
gantung wah pas banget nih. Terus ceritanya tentang kelas bawah yang ceritanya
jarang diliat sama orang. Kalo talent aku ga menitikberatkan disitu, aku lebih fleksibel di pemain. Yang penting
intinya kaya di teori, kalo pemain itu ga peranin sama pemain profesional, nih
pemain professional di Indonesia kan beda nih. Jadi yang pasti aku pake pemain
yang ga pernah muncul di layar kaca dan film. Dan pada dasarnya kalo di Jakarta
mereka menjadi perannya masing-masing dan mereka jadi dirinya masing-masing,
cuma kita akan bikin adegannya. Kalo soal teknis wah cocok, karena aku gamau
ribet kan yauda pas banget nih lampunya dikit, gambarnya jauh. Karena Bazin
juga bilang kaya gitu, kalo film neo tuh jarang akan close up, berjarak karena kita sebagai observer.
Kecap : Pertama jelas mengarah pada subjeknya ya, masyarakat kaum
menengah ke bawah yaitu subjeknya kru bus dengan latar belakang terminal atau
jalanan. Kedua aku menerapkannya dalam adegan, adegan itu hampir semuanya
dibuat secara long-take dengan casting perpaduan antara aktor amatir
dengan yang aktor sudah cukup mengenal dunia akting biasa bermain film.
Perpaduan tersebut cukup membantu dalam sisi adegan, dimana aku butuh
takaran-takaran emosi yang bisa saling tinggi terus kapan harus rendah jadi aku
bener-bener mainin adegan. Setelah adegan itu selesai maka yang aku butuhkan
adalah gambar, pendekatan gambar di sini aku banyak menggunakan long-take tadi ya beberapa yang
menggunakan karakteristik neorealis lah. Misal long-take, deep focus, tracking, panning, dan pergerakan-pergerakan
seperti itu. Untuk pencahayaan aku pake available
light, cuma untuk di dalam bus berdasarkan saran dari temen-temen kru itu
pake tambahan lighting, karena gak
mungkin lah aku nyajiin gambar yang terlalu kontras. Kalo untuk lokasi aku
ngegunain lokasi aslinya, soalnya kalo aku kasih treatment ke art director
seperti ini sih, aku butuh bener-bener set
yang ada di dalam naskah aku gamau chitting
kecuali benar-benar dibutuhkan untuk penyesuaian jadawal. Setting aku menyesuaikan dengan karakteristik neorealis shot on location itu, jadi aku gada yang
di dalam studio atau pake green screen
jadi aku bener-bener real syuting di
lokasi dengan extras-extras yang
mungkin tanpa sengaja ada di frame yang memang ada di situ.
¨
Bagaimana sisi ideologismu di dalam film yang menggunakan aliran
neorealis, yang notabene sudah mapan sebelumnya?
Ghalif : Kalo masalah harus persis menurutku ngga deh. Karena kalo
misal harus full film neorealis,
pasti ada beberapa hal yang berbeda kalo kita tarik ke belakang waktu dulu di
Italia itu. Aku ga bisa bilang ini neorealis full, tapi aku berusaha
memaksimalkan yang aku tahu di film ini. Terus kalo ditanya neorealisnya di
mana, ya di semua film, di setiap elemen yang ada di film. Tapi itu bukan jadi
hal yang ‘saklek iki kudu kaya gini lho’, karena ada perbedaan. Malasah nanti
oh ini neorealis tapi ada kurangnya di sini, ga masalah kalo aku. Aku ga
terlalu mengupas teknisnya tapi di neorealis aku ingin menyampaikan suatu hal
identitas yang penting bagiku dan itu sesuai di neorealis. Dia dekat dengan
kita dia dekat dengan lingkungan, ketika itu diangkat menjadi neorealis itu
lebih mengena. Salah satu bagian di ceritaku nanti juga sebenarnya kejadiannya
di Malang bukan di Jogja, tapi semuanya aku buat di Jogja. Karena ada lokasi
yang hampir sama, kaya kejadian di pemakaman semua pemakaman di mana-mana sama
kok. Yang satu lagi kejadian di toilet mol, kan sama-sama toilet ga masalah mau
itu toilet mol, rumah makan, hotel. Tetapi masalahnya di mana, masalahnya ya
pas dia mau kencing.
Reza : Secara bayanganku sih emang filmku bakal long-take dan segala macemlah, dan ternyata itu di neo juga gitu
jadi itu ga sengaja aja sebenernya. Ya secara kebetulan naskah itu sesuai sama
neo gitu. Kalo syuting ya emang uda bayanganku, gamau ribet kaya gitu. Kalo pun
ini nanti ditolak di kampus nanti kan yang tinggal direvisi tulisannya, kaya
gitu gua uda bayangin ke situ soalnya. Uda yang penting gua bikin aja dengan
seenaknya gua mau buat kaya gimana sampe nanti akhirnya dosen liat.
Kecap : Kalo aku sih ga pengen ada benturan-benturan antara idealisku
sama pakem neorealis ya, jadi banyak penyesuaian di dalam produksi film ini.
Gak harus ada yang menang dan gak ada yang harus dikalahkan, kalo bisa ya
seimbanglah mana yang jadi kebutuhanku dan mana yang jadi pakem atau
karakteristik dari neorealis itu sendiri. Ada sih beberapa shot yang aku
chitting di situ, harusnya shot itu berlangsung di daerah Probolinggo ke
Lumajang tapi aku ambilnya di jalan tol, nah yang menyesuaikan departemen
kamera. Karena ya ga mungkinlah aku syuting cuma empat hari tapi harus nurutin
asli wah kasian dong yang bantuin untuk kru dan pemain. Ya aku juga harus bisa
membagi takaran neorealis dalam setiap scene-lah.
Kalo untuk masalah suara dulu kan film neorealis banyak yang dubbing, karena sekarang uda bisa sekali
rekam dengan kualitas yang baik ya kenapa harus dubbing. Aku juga masukin lagu dangdut untuk ilustrasi musik di
situ.
¨
Apakah ada sesuatu yang kalian dobrak atau berusaha keluar dari
sesuatu melalui penggunaan neorealis ini?
Ghalif : Yang jelas aku ingin menyampaikan ke masyarakat bahwa ada
hal-hal yang itu sangat dibutuhkan oleh waria, itu sih yang pengen tak dobrak
di situ. Karena kalo ngomongin hak-hak yang kaya gimana toh, bukannya semua
orang secara undang-undang mendapatkan hak yang sama, tetapi mengapa mereka
tidak. Katakanlah ada sepuluh orang waria tapi satu orang jadi PSK, tapi
akhirnya semuanya di cap jadi PSK toh, nah hal-hal seperti itu yang pengen aku
sampaikan. Ya akhirnya ketika orang nonton ada sedikit empati, oh iya ya
ternyata ada hal-hal yang ‘mesakke’ bagi
waria. Tidak hanya melulu bicara tentang sex, orang-orang kan berpikirnya waria
mesti hubungannya dengan sex karena dia kan orang yang kekurangan. Dan ada satu
hal yang perlu penonton dan temen-temen tau bahwa hidup menjadi waria itu ga
ada, yang ada itu hidup sebagai waria. Kalo menjadi itu kan berubah tapi kalo
sebagai, ya karena aku uda nyaman, gen-ku
nyaman. Waria juga kalo misalkan mereka ditanya bahkan mereka ngomong sendiri,
kalo misalkan aku disuruh milih dan bisa hidup lagi aku gamau jadi waria.
Karena selalu dicap yang jelek-jelek dan jadi waria itu ga mudah ga segampang
yang kita lihat. Supaya orang tau lah, perspektifnya mau tak belokin dulu.
Reza : Kalo di tahun 98 mungkin iya, kita melawan pemerintahan gitu.
Tapi kalo sekarang ini kayaknya kalo misalkan disangkutpautin kaya gitu ya
pengen nunjukin sisi lain aja sih sebenernya. Ketika sekarang film-film
Indonesia apalagi mainstream-nya ya
yang masuk bioskop kaya gitu. Dan juga bukan dobrakan juga sih sebenernya, uda
banyak bikin yang film kaya gitu film-film alternatif, bahkan film panjang juga
ada yang kaya gitu. Lebih pengen ngutarain kegelisahan aja sih sebenernya,
dobrakannya ya buat diri sendiri. Karena gua gelisah akan cerita ini
dikehidupan nyata sampe akhirnya yauda buat aja, gada sangkut pautnya ke
dobrakan-dobrakan yang lebih luas gitu sih. Kalo secara niat dan tujuan ga ada
yang pengen dobrak-dobrak kaya gitu.
Kecap : Aku gada cita-cita mendobrak sesuatu sih, cuma memang aku lagi
pengen buat bikin film tentang bus, dengan konflik logika dan semuanya
berhubungan dengan bus. Karena ini juga tugas akhir mungkin ya, jadi pengen ga
sekedar lulus tapi juga punya karya yang paling ngga bisa jadi tawaran lain
buat kampus terus penonton, tentang kisah percintaan di bus. Sama satu lagi,
aku pengen bikin neorealisme tuh yang mengalir, dalam arti penonton bisa
menikmati ga terlalu dibuat bosan kayak kalo kita nonton film-film neorealis
yang lain. Tapi itu terlalu jauh latar belakangnya sih kalo keinginan seperti
itu, soalnya sempet ngerasa lama juga waktu nonton film neorealis.
¨
Menurut kalian masih relevankah aliran yang sudah mapan, seperti
neorealis untuk diaplikasikan di jaman sekarang?
Ghalif : Kalo menurutku ga pernah mati, ga pernah basi untuk digunakan.
Karena secara tidak langsung kita menggunakan itu dalam apapun itu tugas
misalnya, kalo misalkan kita ngomongin relevan atau tidaknya ya. Misalkan kita
tiba-tiba syuting di jalan terus misalkan kita pake available light itu kan
sebenernya ciri-ciri mereka, kalo ngomongin relevan atau tidaknya sebenernya
lebih kepada isu yang mau diangkat. Kayak tadi Reza ngomong masalah pembelaan
masyarakat kelas bawah, relevan atau tidaknya ya tetap menarik, tapi dengan
bingkai baru dengan cara baru tanpa merubah esensi dari neorealis itu sendiri.
Maksudnya esensinya tetap tuh, bukan masalah teknis dan blabalabla tapi dia
menyuarakan apa yang benar-benar terjadi, kan memang di situ kan dia
kelebihannya. Ditinjau ulang diberi bingkai baru tanpa merubah itu tadi
esensinya.
Reza : Relevan dalam arti pergerakan kayaknya ngga, itu kan kaya yang
menjadikan dulu itu nama sebuah teori karena pergerakan kan, kaya misalkan dogma 95 terus new wave. Lebih nyari ke sebutan sih sebenernya, karena film ini
terus ngembang kan karena sampe genre pun kita gatau gitu saking berkembangnya.
Ketika film arthouse, itu apa sih itu bukan genre kan, tapi disebutnya
arthouse, nah ini jadi krisis sebenernya krisis identitas film itu sendiri.
Sebenernya ya ga salah juga ketika itu ditarik ke belakang dan juga ga salah
juga ketika seorang filmmaker bikin
film dia gatau ini film genre-nya apa
atau sebutannya apa. Terus kalo secara esensinya sih ada beberapa yang masuk tapi
ya disesuaikan juga dengan kondisi yang di sini. Karena di sana melawan yang ke
pemerintah ya mungkin kalo dulu di tahun 98 di sini sesuai. Tapi kalo sekarang
ini lebih kaya gimana kalo kita liat industrti memproduksi film-film yang kaya
begitu, dan kita memproduksi film-film yang beda. Ya perbedaannya itu sih jadi
turun level kalo di Indonesia, lawannya ya industrinya.
Kecap : Sangat relevan terutama untuk film-film yang memang ditujukkan
untuk alternatif, seperti Siti atau Ziarah yang uda pernah aku tonton, ya
penonton juga butuh film yang tidak melulu menyuapi tapi penonton juga harus
ikut mikir.
Merespon dari
apa yang telah disampaiakan diatas, menurut saya, sebenarnya tidak harus dengan
menggunakan pakem-pakem neorealisme untuk menunjukkan realitas pada sebuah film
karena untuk menunjukkan kondisi masyarakat serta geografisnya merupakan suatu
kebutuhan. Akan tetapi saat ini, untuk membuat suatu film dengan isu
kontemporer ataupun tentang kaum buruh, tak lantas membuat kita melakukan
proses pengambilan gambar di tempat aslinya. Cukup dengan semangat membuat
suatu film dengan realita cerita sebenarnya dan setting yang sesuai karena sejatinya film itu memiliki realitasnya
sendiri.
Film adalah
media yang mampu membuat orang masuk dan berada di dalam realitasnya, jadi tak
harus kita mengambil gambar pada tempat asli untuk menyampaikan cerita tersebut,
terakhir tinggal cerita seperti apa yang ingin disajikan. Jika dilihat dari
kondisi politik Italia saat itu, Mussolini memberikan batas terhadap konten
film yang beredar sehingga gerakan neorealisme saat itu bertujuan untuk
mendobraknya. Lalu bagaimana di Indonesia?
Pada masa
orde baru konten film dan media massa memang dibatasi, akan tetapi saat ini
tidak. Pembuat film sudah bebas membuat film dengan konten kaum buruh atau
keadaan masyarakat di Indonesia, terdapat sedikit perbedaan tujuan. Kita juga
harus melihat permasalah penting apa sebenarnya yang memang menjadi masalah di
Indonesia seperti halnya di Italia.
Singkat kata
dengan atau tidaknya neorealisme dalam film, kita sudah seharusnya membuat
suatu film tentang isu-isu yang terkini dan sebenarnya terjadi di masyarakat.
Beberapa teori yang sudah mapan akan lebih baik jika dijadikan sebagai
referensi dalam mengolah isu yang ada dan menyesuaikan dengan kondisi di masa
sekarang. Bukan dengan menjadikannya acuan utama dan mengaplikasikan langsung
ke dalam film yang akan dibuat. Sebagai contoh jump-cut milik Jean-Luc Godard. Teknik editing tersebut dibuat
sebagai bentuk perlawanan dari teknik-teknik formal yang sudah mapan saat itu.
Jika kita mengambil teori jump-cut Godard sebagai acuan utama—sedangkan saat
ini jump-cut sudah banyak digunakan di dalam film—lantas perlawanan terhadap
apa yang kita lakukan sekarang dengan jump-cut
ala Godard tersebut? Itulah mengapa ada baiknya kita mengolah terlebih dahulu
teori-teori yang sudah mapan dan menyesuaikan dengan kondisi serta isu yang ada
saat ini.
Jumat, 6 Janurai 2017.
Telah disunting oleh Deasy Fatmasari.
No comments:
Post a Comment