Rabu sore tanggal 17 di bulan Desember 2014,
kampus ISI Yogyakarta Fakultas Seni Media Rekam, atas kerjasama Kamisinema dan
Berkacakata, berkesempatan untuk menayangkan dan mendiskusikan film besutan
sutradara asal Amerika Serikat yaitu Joshua Oppenheimer berjudul Senyap (The
Look of Silence) di ruang Audio Visual lantai 3 gedung Dekanat FSMR. Film yang
bertema sentral pembantaian massal tahun 1965 ini pun seakan mengoyak kembali
kejadian suram di tahun itu. Namun yang menarik dalam film kedua karya Joshua
ini adalah film ini bercerita dari sudut pandang korban pembantaian.
Adi Rukun, tukang kacamata keliling itu adalah
adik Ramli, salah satu korban pembantaian 1965-1966 di salah satu desa
perkebunan terpencil di Sumatera Utara. Adi tumbuh dalam keluarga yang secara
resmi dinyatakan “tidak bersih” karena kakaknya Ramli dianggap simpatisan PKI.
Walaupun subjek dalam film tidak mengalami peristiwa secara langsung, Adi Rukun
harus menyanding takdir sebagai adik dari pria yang dibunuh di tahun-tahun
peralihan orde lama ke orde baru tersebut. Dalam film dokumenter berdurasi
sekitar 98 menit ini, Adi Rukun mencari dan menghampiri para jagal kakaknya di
tahun 1965 dulu untuk mengetahui alasan-alasan mengapa mereka membunuh kakaknya
dan hanya sedikit jagal yang melontarkan sebuah kata yang Adi harap meluncur
dari mulut para jagal yaitu “maaf”.
---
Waktu menunjukkan pukul 15.30 WIB. Parkiran motor
kampus sudah ramai. Ruangan AUVI penuh sesak kawan-kawan yang penasaran
terhadap film tersebut. Tercatat 100-an orang lebih memenuhi ruangan. Karena
keterbatasan tempat, panitia terpaksa menutup pintu. Rasa kekecewaan muncul
dari banyak kawan yang tidak bisa masuk. Untuk mengakomodasi keinginan
kawan-kawan, panitia pun menjanjikan akan ada penayangan sesi kedua.
Pukul 15.45 WIB, Senyap mulai diputar.
Masih di dalam lingkungan FSMR, di tempat berbeda
sebelum acara pemutaran dimulai, berdatangan pula polisi seragam bebas, entah
apa namanya, indomie telur mungkin? Jumlah mereka kurang lebih 15-an orang.
Mereka tampak sigap dan mulai bergerak kesana kemari mencari informasi. Selidik
punya selidik, mereka memang diturunkan untuk cek dan ricek di lapangan. Tetapi
bukan ditugaskan untuk mengamankan acara ini. Bahkan pernyataan salah seorang
diantara mereka cukup mengagetkan panitia, dia bilang, ”Kami mendapat laporan
bahwa akan diputar film yang cukup sensitif dan kemungkinan akan ada
pihak-pihak yang tidak senang dengan acara ini. Maka dari itu kami kesini, jika
pihak-pihak itu memang benar datang kemari dan agar tidak terjadi insiden
apa-apa, lebih baik pemutaran film ini segera dihentikan”.
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan dengan
jelas pesan apa yang ingin disampaikan para polisi tak berseragam. Mereka sama
sekali tidak ada niat untuk mengamankan, bahkan menganjurkan kepada panitia
untuk tidak melanjutkan acara pemutaran. Disini, terlihat jelas kalau polisi
(sengaja?) tidak mempunyai kuasa atas ancaman-ancaman yang bakal
terjadi.
Di ruang tayang, suasana menjadi hening. Semua
orang melihat dengan seksama sekaligus miris. Berbagai rupa ekspresi
ditunjukkan. Kesedihan, kekecewaan dan pastinya rasa marah. Berbeda dari dalam
ruang tayang, di luar ruangan, tepatnya di lantai bawah depan dekanat, situasi
mendadak mencekam. Ada sedikit rasa was-was. Seketika perasaan itu muncul
ketika polisi preman itu mulai bertindak aneh mondar-mandir dengan telpon
genggam di kupingnya.
Kurang lebih pukul lima sore, akhirnya apa yang
dikhawatirkan itu muncul. Dari arah timur gerbang utama, massa mendatangi
kampus FSMR dan memaksa masuk. Polisi tidak dapat mencegah. Entah kenapa saat
kejadian berlangsung, polisi tidak berani menghalau massa. Atau adakah upaya “setting”
disitu? Wallahualam.
Massa dengan beringas berlari menuju gedung
dekanat. Pekikan takbir dengan intonasi serta artikulasi kebencian membuat
kaget orang-orang di dalam gedung. Massa menuju lantai tiga tempat ruang AUVI
berada. Mereka memukul pintu ruangan dengan keras dan memaksa semua orang untuk
keluar. Wajah mereka kesetanan. Bentakan-bentakan anti komunis muncul.
Parahnya, massa menuduh dengan semena-mena bahwa acara ini adalah bagian dari
kaderisasi partai komunis gaya baru. Astagfirullah! Terberkatilah orang-orang yang
su’udzan!
Tidak hanya menyuruh semua orang untuk keluar
saja, massa memaksa masuk ruang AUVI menggeledah dan mencari file Senyap.
Tetapi akhirnya, file film tidak berhasil ditemukan karena ternyata banyak
anggota massa itu gaptek.
Belakangan tersiar kabar bahwa massa itu berasal
dari perkumpulan pemuda yang berbasis di salah satu parpol Islam. Mereka tidak
menyukai film tersebut karena diduga sebagai alat propaganda untuk menyebarkan
dan menularkan paham komunis. Paham yang menurut mereka dapat melemahkan dan
membahayakan kaum muslim. Mereka tampak ketakutan sekali terhadap film itu.
Lucunya, massa itu ternyata belum menonton film tersebut. Lantas apa yang
mereka takutkan? Preman edan!
Kelompok dengan mengedepankan kekerasan dan
fitnah-fitnah wajib ditumpas. Takbir di tangan mereka membuat Islam semakin
jauh dari kesan damai. Padahal, Islam sendiri melarang umatnya untuk
berprasangka buruk. Islam juga mengajarkan untuk selalu belajar agar mengobati
rasa ingin tahu. Bahkan, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk menimba ilmu
sampai ke negri Tiongkok. Di tangan mereka, Islam menjadi sumber ketakutan dan
kecemasan.
---
Kejadian Rabu kemarin merupakan tindak kriminal
yang harus diusut tuntas. Peristiwa tersebut telah mencederai kebebasan
berpendapat dan ekspresi. Apalagi acara pemutaran itu dilaksanakan di
lingkungan kampus. Kita semua tahu, kampus merupakan ruang terbuka untuk
mengkaji dan mendiskusikan segala sesuatu. Oleh karena itu, kampus wajib aman
dan nyaman dari sikap intoleran, sifat radikal dan tindakan kekerasan apapun.
Jika kampus tidak bisa lagi menjadi tempat yang aman dan terbuka, lantas dimana
lagi tempat wawasan dan ilmu pengetahuan dapat berkembang?
Jangan-jangan sia-sia saja tulisan ini dibuat,
Ormas ini ‘kan sakitnya sudah terlalu. Sudah gaptek, tak rajin baca pula. Atau
mereka tidak bisa baca? Padahal diajarkan ‘lho di dalam Islam: IQRA’!
Baiklah, setidaknya peristiwa ini dapat
memberikan pelajaran bagi kita –mahasiswa-mahasiswa Indonesia. Kita tak perlu
cemas. Kita tak perlu khawatir. Kita tak perlu takut. Jika takut, obatilah
dengan takbir! TAKBIR! TAKBIR! TAKBIR!
(Berkacakata)
No comments:
Post a Comment