Saturday, 21 January 2017

Neorealisme Yang Menjangkit Di Kampusku


Penulis : Arief Budiman


Ada satu hal yang menarik jika menilik Tugas Akhir karya penciptaan mahasiswa Jurusan Televisi dan Film tahun ini. Beberapa mahasiswa, memutuskan untuk menerapkan teori film neorealis—entah secara sengaja atau tidak—dalam film yang dibuat. Mengingat adanya kabar miring tentang larangan pembuatan film realis, mungkin—dalam hal ini—teori film neorealis merupakan pilihan lain untuk tetap memantapkan gagasan yang mereka punya. Melihat deretan judul penciptaan karya di rak perpustakaan, sepertinya tahun ini menjadi sebuah fenomena baru dalam pembuataan karya Tugas Akhir, karena beberapa mahasiswa menerapkan teori film yang sama secara bersamaan. Hal ini menjadi menarik, terlebih gagasan tentang film neorealis tengah menjadi buah bibir karena beberapa pembuat film yang go international dan mencanangkan diri sebagai pembuat film yang berasaskan neorealis.
Adalah Ghalif, Reza dan Eka atau yang akrab dipanggil Kecap, tiga mahasiswa yang menerapkan gaya neorealis dalam karya Tugas Akhir mereka. Jika melihat kembali film-film yang sebelumnya mereka buat—bentuk dan jenis film—tidak semua dari mereka memiliki kedekatan dengan film neorealis.
Mengulas sedikit tentang neorealisme, gerakan sinema di Italia ini merupakan gerakan yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial, ekonomi, dan politik pasca Perang Dunia ke-2. Pada saat rezim Mussolini, sinema Italia adalah fotokopi dari film-film Hollywood. Penonton seperti disuguhi “utopia” dalam film agar dapat melupakan kenyataan pahit yang sebenarnya terjadi. Orang-orang Italia menyebut jenis film tersebut dengan telefoni bianchi alias “Telepon Putih”. Pasalnya, dalam film-film tersebut selalu ada wujud telepon putih, sebuah barang yang pada jaman itu hanya dimiliki orang kaya. Menurut Mussolini, sebagai medium hiburan, film harus mengacu pada modus produksi Hollywood yang dari dulu sampai dengan sekarang menjadi industri hiburan nomor satu di dunia. Ia juga tetap menerapkan sensor yang ketat atas film-film komersil agar kontennya secara politis tidak berlawanan dengan kepentingan rezim.
Setelah berakhirnya perang dan jatuhnya Mussolini, gerakan neorealisme Italia semakin berkembang. Beberapa sutradara yang berpengaruh besar terhadap gerakan tersebut adalah Vittorio de Sica, Luchino Visconti, dan Roberto Rosselini. Film-film neorealis memiliki ciri khusus yaitu penceritaan dengan latar kenyataan sesungguhnya dengan latar suasana keseharian di lapangan tempat berlangsungnya pengambilan gambar, serta memanfaatkan para pemain non-profesional yang—sedikit maupun banyak—diambil dari situasi tempat berlangsungnya kisah. Cesare Zavattini, seorang pemikir dalam gerakan Neorealisme Italia menyatakan bahwa: “Apa yang benar-benar diusahakan bukanlah menciptakan sebuah kisah yang terlihat seperti peristiwa, namun menyajikan realitas yang seolah-olah adalah kisah”. Selain itu, Andre Bazin, seorang kritikus film asal Perancis juga mengatakan bahwa neorealisme Italia berangkat dari posisi ontologi (realitas) sebelum posisi estetis.
Sedikit penjabaran neorealisme di atas kurang lebih cukup menjadi sebuah gambaran awal bagaimana neorealisme dalam film. Kembali pada pembuat film yang menerapkan neorealisme dalam karya Tugas Akhir mereka, bagi saya, salah satu faktor utama mengapa mereka memilih untuk menggunakan dan menerapkan neorealisme dalam film adalah keinginan untuk menyampaikan realitas yang sebenarnya. Akan tetapi, itu hanyalah asumsi. Demi mendapatkan jawaban yang sebenarnya dari pembuat film yang menerapkan neorealis, saya akhirnya memutuskan untuk melakukan proses wawancara dengan Ghalif dan Reza. Seperti apa mereka mengemas film Tugas Akhir dengan menerapkan neorealisme? Masih relevankah teori-teori yang sudah mapan itu untuk diaplikasikan di jaman sekarang? Berikut adalah sedikit perbincangan saya bersama mereka:

¨                  Mengapa memilih neorealis sebagai acuan utama?
Ghalif : Pertama karena cerita yang aku angkat kali ini adalah kisah nyata, dan yang kedua adalah ketika aku ingin menghadirkan karakter realis dari seorang waria aku bisa memasukkan orang yang sesungguhnya bukan aktor. Nah kalo di realis orang lain atau pemain teater bisa jadi waria, tetapi apakah dia bisa menunjukkan identitasnya sebagai waria, belum tentu. Tapi kalo waria dia bisa membentuk dirinya sendiri dan itu hanya mungkin dicapai melalui neorealis, ya memang itu kelebihannya neorealis seperti cerita, karakter, dan lokasi. Misalnya aku menghadirkan tukang copet asli dan dilakukan di perempatan yang sama, maka emosinya akan sama, tetapi jika aku memindahkan lokasi ke perempatan yang lain karena alasan teknis bisa ngga? Ya bisa tetapi emosinya belum tentu sama, seperti itu.
Reza : Aku ngga terlalu mentingin itu sih ini film realis, neorealis atau yang lainnya, ini cuma kebutuhan kampus aja sih sebenernya. Dari naskah juga ngga kepikiran neorealis, cuma waktu aku ngajuin ke kampus dan butuh judul, mereka nyaranin ini neorealis aja nih, nah dari situ aku nyesuain naskahku. Terus aku nyari neorealis itu kayak gimana sih, apa sih patokan-patokannya, dan ternyata oh bisa nih dimasukkin ke naskahku, yauda akhirnya aku nyesuain. Sebenernya aku sih ngga terlalu ngurusin biar aja nanti yang nonton menilai, karena saampai saat ini aku juga ga pernah bikin film mentingin ini gaya apa, ini gaya apa. Karena ini kebutuhan kampus yauda aku bikin gaya neorealis. Aku lebih menitikberatkan ke teknis sih, udah lumayan banyak film yang nerapin itu, kayak long-take artistiknya apa adanya dan pas banget budget-ku gamau banyak-banyak dan itu sesuai. Tetapi kalo soal pemain aku ga terlalu milih mau professional atau engga, karena toh ga semua film neorealis menggunakan pemain asli. Itu ga menjadi fokusku, aku lebih mentikberatkan ke teknisnya aja. Aku lebih ngambil ke esensi neorealis itu sendiri sih. Berawal dari Italia dan itu merupakan pemberontakan, menunjukkan sisi lain dari ke-glamor-an negaranya dan aku juga ingin memperlihatkan itu, sisi lain yang ngga terlihat oleh media sekarang ini.
Kecap : Kalo aku nyesuain kebutuhan naskah sih, karena naskahku sendiri kan mengangkat tentang kru bus yang mengalami masalah dalam pencarian nafkah. Kemudian ditambah lagi dengan adanya cinta segitiga di situ, nah karena subjeknya dari kalangan menengah ke bawah maka aku pake neorealis. Kalo ditulisan sih aku ga ngomong kalo ini kisah nyata karena akhirnya banyak tak sadur ceritanya. Aku pernah denger omongan di warung tentang supir yang kebetulan bawa istrinya terus selingkuhannya naik, sampe mati kutu supirnya, nah dari cerita itu  tak ubah jadi skenario sama vre. Waktu aku riset ternyata supir yang busnya tak pake syuting juga pernah mengalami hal yang serupa, tapi mungkin beda versi, tapi mungkin menurutku hal seperti itu jadi wajar. Dulu sempet bingung mau digarap kaya apa naskah AKDP –judul film dia- ini, nah sempet dulu pengen nyoba ekspresionis wah gak mungkin aku terlalu dangkal untuk mencapai itu. Kalo realis ya ga sesuai dengan konten bus dan terminal itu kalo menurutku, kalo mau surealis wah ini kenyataan jadi ga bisa seperti alam mimpi akhirnya aku pilihlah neorealisme.

¨                  Sejauh mana neorealis akan diaplikasikan ke dalam film?
Ghalif : Kalo aku ikut acuan yang awal, pake talent aslinya kaya gitu. Bahkan kalo ngomongin nanti di teknis aku ga bakal pake lampu, dalam arti misalkan di situ ada lampu apa terus warnanya daylight apa tungsten paling nanti diganti pake softone kaya gitu. Terus penggunaan kamera bahkan lensa pun aku cuma pake satu, satu focal length 24mm doang. Karena aku ingin memproyeksikan ketika penonton liat itu deket ya ikut deket ketika jauh ya ikut jauh. Ada yang bilang itu mirip gaya dokumenter, yang ga ribet kaya gitu. Yang aku ingin kasih liat sih identitasnya, waria tuh kaya gini loh ga semuanya negatif. Ketika aku pake teknis kaya gitu bisa mewakilin mereka baik secara simbolis atau lainnya. Acuannya apa aja, ya dari yang ada aku terapin dari lokasi, setting, talent. Ketika aku riset aku ngomong bahwa aku buat ini bukan mendukung tapi aku ingin menunjukkan bahwa itu penting, kaya waria juga butuh BPJS, waria butuh hak suara, bahkan terakhir di Badran waria meninggal ga ada yang mandiin ga ada yang nganterin ke kuburan. Yang meranin nanti ya ga mungkin yang uda meninggal tapi ya temannya, yang punya kedekatan dengan dia, punya kedekatan emosional.
Reza Aku kan nyesuain naskah ke teorinya, aku nyari celahnya aja. Misalkan dari cerita, aku nemu kalo Bazin bilang kalo neo bisanya ceritanya gantung wah pas banget nih. Terus ceritanya tentang kelas bawah yang ceritanya jarang diliat sama orang. Kalo talent aku ga menitikberatkan disitu, aku lebih fleksibel di pemain. Yang penting intinya kaya di teori, kalo pemain itu ga peranin sama pemain profesional, nih pemain professional di Indonesia kan beda nih. Jadi yang pasti aku pake pemain yang ga pernah muncul di layar kaca dan film. Dan pada dasarnya kalo di Jakarta mereka menjadi perannya masing-masing dan mereka jadi dirinya masing-masing, cuma kita akan bikin adegannya. Kalo soal teknis wah cocok, karena aku gamau ribet kan yauda pas banget nih lampunya dikit, gambarnya jauh. Karena Bazin juga bilang kaya gitu, kalo film neo tuh jarang akan close up, berjarak karena kita sebagai observer.
Kecap : Pertama jelas mengarah pada subjeknya ya, masyarakat kaum menengah ke bawah yaitu subjeknya kru bus dengan latar belakang terminal atau jalanan. Kedua aku menerapkannya dalam adegan, adegan itu hampir semuanya dibuat secara long-take dengan casting perpaduan antara aktor amatir dengan yang aktor sudah cukup mengenal dunia akting biasa bermain film. Perpaduan tersebut cukup membantu dalam sisi adegan, dimana aku butuh takaran-takaran emosi yang bisa saling tinggi terus kapan harus rendah jadi aku bener-bener mainin adegan. Setelah adegan itu selesai maka yang aku butuhkan adalah gambar, pendekatan gambar di sini aku banyak menggunakan long-take tadi ya beberapa yang menggunakan karakteristik neorealis lah. Misal long-take, deep focus, tracking, panning, dan pergerakan-pergerakan seperti itu. Untuk pencahayaan aku pake available light, cuma untuk di dalam bus berdasarkan saran dari temen-temen kru itu pake tambahan lighting, karena gak mungkin lah aku nyajiin gambar yang terlalu kontras. Kalo untuk lokasi aku ngegunain lokasi aslinya, soalnya kalo aku kasih treatment ke art director seperti ini sih, aku butuh bener-bener set yang ada di dalam naskah aku gamau chitting kecuali benar-benar dibutuhkan untuk penyesuaian jadawal. Setting aku menyesuaikan dengan karakteristik neorealis shot on location itu, jadi aku gada yang di dalam studio atau pake green screen jadi aku bener-bener real syuting di lokasi dengan extras-extras yang mungkin tanpa sengaja ada di frame yang memang ada di situ.

¨                  Bagaimana sisi ideologismu di dalam film yang menggunakan aliran neorealis, yang notabene sudah mapan sebelumnya?
Ghalif : Kalo masalah harus persis menurutku ngga deh. Karena kalo misal harus full film neorealis, pasti ada beberapa hal yang berbeda kalo kita tarik ke belakang waktu dulu di Italia itu. Aku ga bisa bilang ini neorealis full, tapi aku berusaha memaksimalkan yang aku tahu di film ini. Terus kalo ditanya neorealisnya di mana, ya di semua film, di setiap elemen yang ada di film. Tapi itu bukan jadi hal yang ‘saklek iki kudu kaya gini lho’, karena ada perbedaan. Malasah nanti oh ini neorealis tapi ada kurangnya di sini, ga masalah kalo aku. Aku ga terlalu mengupas teknisnya tapi di neorealis aku ingin menyampaikan suatu hal identitas yang penting bagiku dan itu sesuai di neorealis. Dia dekat dengan kita dia dekat dengan lingkungan, ketika itu diangkat menjadi neorealis itu lebih mengena. Salah satu bagian di ceritaku nanti juga sebenarnya kejadiannya di Malang bukan di Jogja, tapi semuanya aku buat di Jogja. Karena ada lokasi yang hampir sama, kaya kejadian di pemakaman semua pemakaman di mana-mana sama kok. Yang satu lagi kejadian di toilet mol, kan sama-sama toilet ga masalah mau itu toilet mol, rumah makan, hotel. Tetapi masalahnya di mana, masalahnya ya pas dia mau kencing.
Reza Secara bayanganku sih emang filmku bakal long-take dan segala macemlah, dan ternyata itu di neo juga gitu jadi itu ga sengaja aja sebenernya. Ya secara kebetulan naskah itu sesuai sama neo gitu. Kalo syuting ya emang uda bayanganku, gamau ribet kaya gitu. Kalo pun ini nanti ditolak di kampus nanti kan yang tinggal direvisi tulisannya, kaya gitu gua uda bayangin ke situ soalnya. Uda yang penting gua bikin aja dengan seenaknya gua mau buat kaya gimana sampe nanti akhirnya dosen liat.
Kecap : Kalo aku sih ga pengen ada benturan-benturan antara idealisku sama pakem neorealis ya, jadi banyak penyesuaian di dalam produksi film ini. Gak harus ada yang menang dan gak ada yang harus dikalahkan, kalo bisa ya seimbanglah mana yang jadi kebutuhanku dan mana yang jadi pakem atau karakteristik dari neorealis itu sendiri. Ada sih beberapa shot yang aku chitting di situ, harusnya shot itu berlangsung di daerah Probolinggo ke Lumajang tapi aku ambilnya di jalan tol, nah yang menyesuaikan departemen kamera. Karena ya ga mungkinlah aku syuting cuma empat hari tapi harus nurutin asli wah kasian dong yang bantuin untuk kru dan pemain. Ya aku juga harus bisa membagi takaran neorealis dalam setiap scene-lah. Kalo untuk masalah suara dulu kan film neorealis banyak yang dubbing, karena sekarang uda bisa sekali rekam dengan kualitas yang baik ya kenapa harus dubbing. Aku juga masukin lagu dangdut untuk ilustrasi musik di situ.

¨                  Apakah ada sesuatu yang kalian dobrak atau berusaha keluar dari sesuatu melalui penggunaan neorealis ini?
Ghalif Yang jelas aku ingin menyampaikan ke masyarakat bahwa ada hal-hal yang itu sangat dibutuhkan oleh waria, itu sih yang pengen tak dobrak di situ. Karena kalo ngomongin hak-hak yang kaya gimana toh, bukannya semua orang secara undang-undang mendapatkan hak yang sama, tetapi mengapa mereka tidak. Katakanlah ada sepuluh orang waria tapi satu orang jadi PSK, tapi akhirnya semuanya di cap jadi PSK toh, nah hal-hal seperti itu yang pengen aku sampaikan. Ya akhirnya ketika orang nonton ada sedikit empati, oh iya ya ternyata  ada hal-hal yang ‘mesakke’ bagi waria. Tidak hanya melulu bicara tentang sex, orang-orang kan berpikirnya waria mesti hubungannya dengan sex karena dia kan orang yang kekurangan. Dan ada satu hal yang perlu penonton dan temen-temen tau bahwa hidup menjadi waria itu ga ada, yang ada itu hidup sebagai waria. Kalo menjadi itu kan berubah tapi kalo sebagai, ya karena aku uda nyaman, gen-ku nyaman. Waria juga kalo misalkan mereka ditanya bahkan mereka ngomong sendiri, kalo misalkan aku disuruh milih dan bisa hidup lagi aku gamau jadi waria. Karena selalu dicap yang jelek-jelek dan jadi waria itu ga mudah ga segampang yang kita lihat. Supaya orang tau lah, perspektifnya mau tak belokin dulu.
Reza Kalo di tahun 98 mungkin iya, kita melawan pemerintahan gitu. Tapi kalo sekarang ini kayaknya kalo misalkan disangkutpautin kaya gitu ya pengen nunjukin sisi lain aja sih sebenernya. Ketika sekarang film-film Indonesia apalagi mainstream-nya ya yang masuk bioskop kaya gitu. Dan juga bukan dobrakan juga sih sebenernya, uda banyak bikin yang film kaya gitu film-film alternatif, bahkan film panjang juga ada yang kaya gitu. Lebih pengen ngutarain kegelisahan aja sih sebenernya, dobrakannya ya buat diri sendiri. Karena gua gelisah akan cerita ini dikehidupan nyata sampe akhirnya yauda buat aja, gada sangkut pautnya ke dobrakan-dobrakan yang lebih luas gitu sih. Kalo secara niat dan tujuan ga ada yang pengen dobrak-dobrak kaya gitu.
Kecap : Aku gada cita-cita mendobrak sesuatu sih, cuma memang aku lagi pengen buat bikin film tentang bus, dengan konflik logika dan semuanya berhubungan dengan bus. Karena ini juga tugas akhir mungkin ya, jadi pengen ga sekedar lulus tapi juga punya karya yang paling ngga bisa jadi tawaran lain buat kampus terus penonton, tentang kisah percintaan di bus. Sama satu lagi, aku pengen bikin neorealisme tuh yang mengalir, dalam arti penonton bisa menikmati ga terlalu dibuat bosan kayak kalo kita nonton film-film neorealis yang lain. Tapi itu terlalu jauh latar belakangnya sih kalo keinginan seperti itu, soalnya sempet ngerasa lama juga waktu nonton film neorealis.

¨                  Menurut kalian masih relevankah aliran yang sudah mapan, seperti neorealis untuk diaplikasikan di jaman sekarang?
Ghalif Kalo menurutku ga pernah mati, ga pernah basi untuk digunakan. Karena secara tidak langsung kita menggunakan itu dalam apapun itu tugas misalnya, kalo misalkan kita ngomongin relevan atau tidaknya ya. Misalkan kita tiba-tiba syuting di jalan terus misalkan kita pake available light itu kan sebenernya ciri-ciri mereka, kalo ngomongin relevan atau tidaknya sebenernya lebih kepada isu yang mau diangkat. Kayak tadi Reza ngomong masalah pembelaan masyarakat kelas bawah, relevan atau tidaknya ya tetap menarik, tapi dengan bingkai baru dengan cara baru tanpa merubah esensi dari neorealis itu sendiri. Maksudnya esensinya tetap tuh, bukan masalah teknis dan blabalabla tapi dia menyuarakan apa yang benar-benar terjadi, kan memang di situ kan dia kelebihannya. Ditinjau ulang diberi bingkai baru tanpa merubah itu tadi esensinya. 
Reza Relevan dalam arti pergerakan kayaknya ngga, itu kan kaya yang menjadikan dulu itu nama sebuah teori karena pergerakan kan, kaya misalkan dogma 95 terus new wave. Lebih nyari ke sebutan sih sebenernya, karena film ini terus ngembang kan karena sampe genre pun kita gatau gitu saking berkembangnya. Ketika film arthouse, itu apa sih itu bukan genre kan, tapi disebutnya arthouse, nah ini jadi krisis sebenernya krisis identitas film itu sendiri. Sebenernya ya ga salah juga ketika itu ditarik ke belakang dan juga ga salah juga ketika seorang filmmaker bikin film dia gatau ini film genre-nya apa atau sebutannya apa. Terus kalo secara esensinya sih ada beberapa yang masuk tapi ya disesuaikan juga dengan kondisi yang di sini. Karena di sana melawan yang ke pemerintah ya mungkin kalo dulu di tahun 98 di sini sesuai. Tapi kalo sekarang ini lebih kaya gimana kalo kita liat industrti memproduksi film-film yang kaya begitu, dan kita memproduksi film-film yang beda. Ya perbedaannya itu sih jadi turun level kalo di Indonesia, lawannya ya industrinya.
Kecap : Sangat relevan terutama untuk film-film yang memang ditujukkan untuk alternatif, seperti Siti atau Ziarah yang uda pernah aku tonton, ya penonton juga butuh film yang tidak melulu menyuapi tapi penonton juga harus ikut mikir.

Merespon dari apa yang telah disampaiakan diatas, menurut saya, sebenarnya tidak harus dengan menggunakan pakem-pakem neorealisme untuk menunjukkan realitas pada sebuah film karena untuk menunjukkan kondisi masyarakat serta geografisnya merupakan suatu kebutuhan. Akan tetapi saat ini, untuk membuat suatu film dengan isu kontemporer ataupun tentang kaum buruh, tak lantas membuat kita melakukan proses pengambilan gambar di tempat aslinya. Cukup dengan semangat membuat suatu film dengan realita cerita sebenarnya dan setting yang sesuai karena sejatinya film itu memiliki realitasnya sendiri.
Film adalah media yang mampu membuat orang masuk dan berada di dalam realitasnya, jadi tak harus kita mengambil gambar pada tempat asli untuk menyampaikan cerita tersebut, terakhir tinggal cerita seperti apa yang ingin disajikan. Jika dilihat dari kondisi politik Italia saat itu, Mussolini memberikan batas terhadap konten film yang beredar sehingga gerakan neorealisme saat itu bertujuan untuk mendobraknya. Lalu bagaimana di Indonesia?
Pada masa orde baru konten film dan media massa memang dibatasi, akan tetapi saat ini tidak. Pembuat film sudah bebas membuat film dengan konten kaum buruh atau keadaan masyarakat di Indonesia, terdapat sedikit perbedaan tujuan. Kita juga harus melihat permasalah penting apa sebenarnya yang memang menjadi masalah di Indonesia seperti halnya di Italia.
Singkat kata dengan atau tidaknya neorealisme dalam film, kita sudah seharusnya membuat suatu film tentang isu-isu yang terkini dan sebenarnya terjadi di masyarakat. Beberapa teori yang sudah mapan akan lebih baik jika dijadikan sebagai referensi dalam mengolah isu yang ada dan menyesuaikan dengan kondisi di masa sekarang. Bukan dengan menjadikannya acuan utama dan mengaplikasikan langsung ke dalam film yang akan dibuat. Sebagai contoh jump-cut milik Jean-Luc Godard. Teknik editing tersebut dibuat sebagai bentuk perlawanan dari teknik-teknik formal yang sudah mapan saat itu. Jika kita mengambil teori jump-cut Godard sebagai acuan utama—sedangkan saat ini jump-cut sudah banyak digunakan di dalam film—lantas perlawanan terhadap apa yang kita lakukan sekarang dengan jump-cut ala Godard tersebut? Itulah mengapa ada baiknya kita mengolah terlebih dahulu teori-teori yang sudah mapan dan menyesuaikan dengan kondisi serta isu yang ada saat ini.

Jumat, 6 Janurai 2017.
Telah disunting oleh Deasy Fatmasari.

Saturday, 19 November 2016

Sore Ini dan Bla Bla Bla vol. 2

Vol. 2: Oh Puisi Cumbulah Aku Sampai Kita Berdua Lemas



--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bacaan pendukung.


Intimasi Sampai Nanti

Edar pandang dan dengar di
“Sore ini dan Bla bla bla Vol.2”

Gerimis mengundang di penghujung senja bertepatan dengan acara baca puisi teman-teman BK. Kami biasa berkumpul di ruang taman FSMR, tak jarang pula di parkiran depan ruang BEM. Syukurlah hari itu hujan, jadi kita bisa migrasi ke tangga depan dekanat. Biasanya ruang itu riuh ramai oleh suar suara mahasiswa main monopoli, kini diramaikan oleh kopi, teh, gula, kursi plastik panjang, gitar, harmonika, serta beberapa buku dijajar rapih diatas tikar. Semua disiapken untuk menyambut gerimis dengan iringan merdu puisi. Acara yang rencana di mulai pukul tiga senja, sedikit molor karna hujan mungkin (?) Semoga semua terobati dengan hangatnya kopi, teh dan buku-buku. Ada sebagian wajah baru yang ikut duduk, semoga bukan cuma ikutan berteduh hehehe…

Acara dibuka dengan Mas Izul sebagai moderator dengan sebait duabait puisi, tak lupa diiringi gitar dari Mas Bagas. Duduk pada kursi plastik panjang di depan tangga menghadap gedung dekanat, “Semoga ini bukan orasi,” kata mas Fery Sate. Bebas, mau berdiri mau duduk. Pokoknya ya disitu. Pembaca puisi satu selesai, giliran dia menunjuk temannya untuk membacakan puisi lainnya. Sekitar 33 mahasiswa saling gilir menyimak dan membaca puisi. Lalu tiba saatnya mas Adit dengan iringan khas perkusi mas Rangga. Habis liat performance mas Rangga, jadi pengen ngiringi baca puisinya. Memang ga mahir-mahir amat main musiknya, justru itu jadi bahan motifasi kawan lainnya. Oh iya, asal mula “Oh Puisi Cumbulah Aku” ya dari inisiatif kawan BK untuk membikin kumpulan puisi. Lumayan banyak yang mengumpulkan, sekitar 37 penulis dengan 59 judul yang akhirnya terjilid.

Tak hanya warga FSMR saja yang ikutan baca puisi, ada mbak Ayi sama mas Fahmi dari fakultas pertunjukan ikut meramaikan baca puisi, merinding. Begitu pula dari teman-teman Barasub, walau datengnya pas kita lagi reringkes, tapi perlu jadi perhatian kalau-kalau banyak peminat di luar mahasiswa FSMR. Ya, siapa tau proyek BK kedepan bikin “Musikalisasi Puisi Tingkat Institut” gitu :)

Semua berjalan beriringan, bergiliran. Begitu seterusnya dengan banyak bumbu-bumbu dari luar. Secara kita duduk di jalan, pasti banyak orang yang lalu-lalang. Ada staff kantor yang pada mau pulang diboncengin temennya, ada yang cuma mau presensi sidik jari, ada juga temen-temen habis kuliah numpang lewat sambil lalu, juga ada ibunda Haruka yang lagi ringkes-ringkes piring gelas kantin, tak lupa mampir berfoto kerna diteriakin suruh foto… Ndak cuma itu, letak kampus yang dekat dengan permukiman penduduk Sewon tak memungkinkan lingkungan kampus bersih dari aktifitas warga. Adek-adek kecil yang berseliweran di seberang FSMR, dengan montor KLX mininya jelas menggelitik telinga kami. Brem..brem…begitu bunyinya. Berhasil bikin kita nyengir, pun ada yang kelepas tertawa. Bahkan, yang biasanya hanya riuh mahasiswa terdengar, kini kami bisa merespon lingkungan sekitar. Jadi lebih peka sama sekitar, ada apa dikit diperhatiin, ada siapa lewat disuruh berhenti baca puisi (sayang gak berkenan). Intinya kita makin deket dengan medium baca puisi, walau memang distraksi eksternal kadang menang. Tapi bukannya itu ya yang jadi tujuan kita? Bersama melihat dan membicarakan sekitar kita dengan ringan saja? Mungkin aja intermezzo tadi jadi salah satu cara untuk mengakrabkan. Dengan gerakan-gerakan kecil namun rutin, niscaya akan menggugah rasa penasaran teman-teman lain. Ikut beredar dikampus, saling berbagi cara pandangan dan pemikiran. Yaa se-enggak-nya kampus kita ga kaya “kuburan” aja sih :))

Ditulis oleh Dinanda Nisita
10 Oktober 2016

07:12 AM

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Suasana Acara.













Wednesday, 5 October 2016

Sore Ini dan Bla Bla Bla vol. 1

Vol. 1: Halo, Bagaimana Kabarmu?



-------------------------------------------------------------------------------------------

Bacaan Pendukung.


Di sebuah sore sempurna yang sinar oranyenya menembus dari sela ranting pohon munggur, angin yang berhembus perlahan mendarat paripurna di permukaan kulit tubuh dan sementara suara langkah gontai mahasiswa terdengar lamat-lamat dari arah dekanat, kami dengan perasaan bersuka-gumbira mengunjungi seseorang yang sering dianggap penyelamat oleh para mahasiswa, wabilkhusus mahasiswa lapar namun tak berduit. Tampilan fisiknya yang baby face dan sifatnya yang lentur serta fleksibel membuatnya dekat dengan mahasiswa.
Ia tak hanya pintar meramu masakan yang dipesan spontan tapi juga pandai momong ketika ada mahasiswa yang sedang bermuram durja. Sosoknya yang keibuan sering membikin hati merindukan orang tua di sana. Ia adalah sosok penting, pegiat kuliner tingkat grass root.

Adalah Ibu Anton, istri dari Bapak Anton, telah dini mengajarkan kepada kita bahwa jika ingin mendaulat diri menjadi seorang aktivis haruslah dimulai dari masalah-masalah sepele. Satu misal iaitu masalah perut. Urusan perut merupakan urusan paling fundamental. Politik adalah lidah. Barang siapa menguasai pangan maka ia pasti mendapat kuasa. Ketiadaan perasaan kenyang akan membuat kendornya semangat pergerakan, dan kemerdekaan mustahil tercipta.

Movement yang dilakukan Ibu Anton mungkin tidak akan tercatat oleh penulisan sejarah namun gerakannya penting untuk diingat. Ia telah mengajarkan konsep keihklasan kepada kita bahwa perjuangan harus dilandasi dangan hati tanpa ada hasrat mendapatkan imbalan. Hal itu tercermin nyata dari sikapnya yang tangguh nan teguh. Ia tak kapok-kapok membuka kantin meskipun buku utangnya kian menebal saban hari.

Inilah hasil obrolan santai dan singkat dengan beliau. Selamat menikmati.
(hasil obrolan tetap dipertahankan dan dituliskan sesuai bahasa ucapnya demi menjaga unsur keaslian karakter tokoh serta atmosfer-suasana)

K: Bu Anton ki seko tahun kapan tho bukak kantin iki?
BA: Seko tahun 2011 opo 2010 yo mbak? (bertanya pada Haruka, asisten Bu Anton, bukan nama sebenarnya hanya panggilan sayang dari rekan-rekan mahasiswa)
H: 2010. Akhir bulan kae, September 2010.

K: O berarti aku mlebu kae yo, eh tapi aku yo iseh ngonangi Mak Badar, nah bar kuwi Bu Anton mlebu.
BA: 2010 kuwi ketokke, Oktober opo September.

K: Seko biyen awal nganti saiki, luwih rame ndi buk?
(Bu Anton berhenti sejenak. Ia bergerak melayani seorang mahasiswa yang membeli rokok. Mahasiswa itu ternyata Fajar Riyanto, seorang mahasiwa veteran)

K. Aku ra sisan pakde? Hahaha.
FR: Ha monggo ben dicatet Bu Anton. Hahaha. Nek aku udah ndak punya tanggungan, udah tak bayar semua, soalnya yang mau lulus, semua diteror hahaha.
(Fajar Riyanto pamit pulang dan Ibu Anton melanjutkan obrolan)
BA: Paling laris ki tahun piro yo. Pokok e kuwi rameeee banget, pas ono proyek kae kan rame banget, pas jamane Tejo kae lho. Sakdurunge barang.

K: Berarti iso dititeni seko angkatane Tejo sih ono yo?
BA: 2012 po yo (sambil mengawang ke atas) Kuwi paling rame banget wi. Iyo 2012 akhir ke bawah ki rame banget. Ning akhir-akhir iki sepi wisan, 2016 iki. Nek 2015 iseh tetep rame. Mung awal semester iki keroso rodo sepi.

K: Ibu kan bendino neng kantin, trus bendinane yo ketemu cah-cah, mahasiswa, dosen-dosen, karyawan. Kantin kan dadi pusat persinggahan ngono kae, nek ono jeda kuliah rene, nek bali kuliah rene, nek lagi suntuk rene, dan paling ora kan bu anton ngerti nganu to buk, sing dirasakke mahasiswa ki kepie? Sing dirasakke dosen ki koyo pie? Gersulone, sambate koyo piye, kan mesti ngerti kabeh, bahkan Bu Anton yo sambat barang to. Nah opo sing dirasakke Bu Anton seko kui kabeh?
BA: Yo nek menurutku biasa-biasa we to nek hal-hal ngono kuwi. Biasane cah-cah ndene, nek ra ndedit muni, “Buk, aku randedit.”

K: Ngutang ngono kae yo buk?
BA: Haaaa. Ngono kuwi. Biasa tho kui.

K: Ngomongke bab utang buk, nganti saiki, utang paling uakeh sing tau dicatet Bu Anton ki piro?
(Haruka dari depan pintu tengah tiba-tiba menyahut)
H: Rongatus!
BA: Rongatus luwih.

K: Luwih piro kui buk?
BA: Yo rongatus seket ewuan lah nek ra salah.

K: Nek sing yang paling sithik? Hahaha.
BA: Yo nek sing paling sithik yo…. (sambil tertawa) Mangewu. (berhenti sejenak untuk berpikir) Sek tak anu kan ngene, bocah-bocah ki ngko do teko akeh tho. Teko madang, nah aku raiso nguaske siji-siji wonge kan, biasane ono bocah langsung do kabur ngono. Ora mbayar.

K: Bocahe lali ngono kae? Tur tetep mbalik tho buk dino sakwise? Ora mbok tegur buk?
(berhubung file suara terkena error, hasil jawaban dari pertanyaan di atas gagal ditranskrip. Mohon maaf)

K: Buku-buku utang sing wis kebak kuwi yo iseh disimpen buk?
BA: Wuuu.. wis tak buang, wis do ilang barang e.

K: Sing iseh disimpeni suk tak scan e wae bu, tak fotone.
BA: Hahaha dingo ngopo?

K: Dinggo arsip, soale kuwi lucu banget buk hehehe. Lha, nek sing rung bayar piye buk nek bukune wis digenti opo ilang?
BA: Ha wis tak salin neng buku anyar.

K: Suk golekke yo buk yo buku-bukune sing wis kebak, nek rung kebuak lho.
BA: Akeh sing do ilang, sik iseh kan yo sik iki (sambil menunjuk buku utang terbaru)

K: Sesuk iki nek kebak ojo dibuang lho buk.
BA: Lha iki wes kebak (sambil menunjuk buku utang terbarunya sekali lagi)

K: Yo sesuk tak nganune, tak scane yo, aku nyilih.
H: Ibuk wae nganti galau mbukak catetan (dibaca: buku utang).

K: Nek keluhan buk. Ono ora?
BA: Sek, sek, tahun piro yo kui. Kae akeh tenan, dadi ono cah-cah pespa lawasan kae lho. Pespa lawasan do teko kae, wonge koyo brutal-brutal kae njaluk rokok bungkusan-bungkusan.  Akhire ngomong “Buk, catet.”Berhari-hari ra teko meneh. Lha kene kan yo piye yo. Tak takokke bocah sik liyane ora do kenal, padahal kuwi bendinane teko kene. Tak kiro kan bocah kene do ngerti, ning do ora ngerti ternyata. Ora kenal karo wong kuwi, tapi kok teko neng kene ngono lho.

K: Dudu mahasiswa kene berarti?
BA: Aku ra kenal. Ha tak kiro kan bocah-bocah do kenal. Nek dosen-dosen ra doh berkeluh kesah neng kene. Ning kene mung madhang.

K: Nek cah-cah buk, ono ora sing curhat ning Ibuk?
BA: Yo rahasia, raiso tak ceritakke kuwi.

K: Sing rahasia kuwi tetep disimpen, tur biasane cah-cah cerita bab opo to buk? Rasah nyebutke jeneng rapopo.
BA: Nyeritakke opo yo? (sambil sedikit menahan ucapannya)

K: Ha kan biasane aku ngerti bu anton lagi dicurhati. Ojo diganggu sek iki berarti hahaha.
(Haruka lagi-lagi kembali menimpali)
H: Mahasiswa sik curhat ki jarang, paling yo mung jajan.
BA: Hooh, paling yo mung jajan biasa. Bar kuwi njuk, “Buk, sesuk yo” Hahahaha.
(Bu Anton dan Haruka tertawa)

K: Trus iki terakhir ki. Nek seko Ibuk dewe ki, sing diarepke seko kantin media rekam ki sing kepiye?
BA: Sing jelas ki, bocah-bocahe kan ora koyo ndisek to. Nek koyo ndisek lagi mlebu kan kompak ngono lho, jaman-jaman kae kantin rame banget. Dadi setiap hari ki kantin iso rame ngono lho…
Nek koyo saiki kan biasa ngono lho, dan bocah-bocahe ki koyo piye yo… Opo mergo PPAK-ne wingi ngono kuwi yo? Gek karo senior ki ora ono ikatan piye-piye yo?… Ngono kuwi lho sik tak maksud.

K: Nek seko nganu buk, seko kampus kan kantin ki ra dikei kursi padahal cah-cah e tambah akeh.
BA: Nek mejo iki kan aku usaha dewe, nggowo dewe aku. (sambil mengarahkan pandangannya ke arah ruang kantin depan)

K: Ono pesen ra buk nggo birokrat dhuwuran?
BA: Yo nek iso kan kantine iki dimajukke, dijembarke. Rencanane kan bagian mburi iki meh dikei atep dadi iso dikei mejo ro kursi, tapi kan isih rencana dan bakalan sui to kui.

Ndisek kan mejo-mejo dideleh karo cah-cah ning ngarep, tur raoleh. Kon mindah neng mburi. Tur tep dieyeli to. Yowes dipasangi kuwi saonone sek ben iso dinggo nongkrong. Nah neng mburi kan lahane kosong dadi iso tambah rame to kantine, nongkrong dadi luwih penak, ono iyup-iyupe. Yo mungkin suatu saat isolah kantin iki maju.

Aku ki asline ono mejo ro kursi. Tur meh tak deleh endi ngono lho, nggone kan ora ono.

K: Mbiyen kan tau to buk, Pak Anton nggawe mejo ro kursi.
BA: Iyooo biyen kaeee.
(file suara rusak, obrolan selanjutnya tidak terselamatkan. Mohon maaf sekali lagi. Muah :))

Selesai.

-------------------------------------------------------------------------------------------

Suasana Acara:






























Friday, 22 April 2016

Gerimis Frustatera


Simbol-simbol terbang bebas di kotak sempit
Tukang tempel hampir mengecap sabun di lorong pemukiman
Tidak susah-susah jika mau menjenguk
Bingunglah di sini, mau apa dan diapakan
kalau saja mata masih erat berdua
Ya disini yang bersedih sendu
Kompak bersama tergelepar di dalam ruang dengan air conditioner

Sudah selesai belum
Sampai berbuih pun hanya menunggu air terjun netes ke atas
Seperti kulit rambut yang dikupas sampai terlihat isi pikirannya
Padahal tidak tau rasanya
Tidak mengerti caranya
Susah mendalaminya
Tapi bukan berarti bisa selesai
Mesti mencari lagi berkas-berkas di gudang untuk ingat-ingat

Mengingat itu susah
Susah diingat caranya
Cara untuk mengingat itu kadang terlupa

Menangis dalam hati itu nggak guna
Nggak ada yang tau
Kalau memang mau keluar ya tinggal bilang
Kutantang keluar pun kamu loyo
Jangan dilanjutkan, hidupmu miris kalau begitu
Ayo keluar, anggaplah aku setan
Biar kamu keluar sebagai lelaki

Aku tau sekarang kunci itu sedang kamu pegang
Ah, kamu mulai frustasi


RK 1, 29/3/2016

r a r

Aku Sering Berpikir Tentang Ini


Lantai itu mulai bisa merasakan
Saat wangi tubuh kita sudah habis meresap
Kini penuhlah tiap ruangan yang kita tempati itu
Kita sama-sama, berdua
Berputar-putar tak ingat waktu
Meraya potongan daging panggang dan anggur kesukaanmu
Hingga memutik remahan roti di atas meja untuk dapat tenang bersandar dan tertawa berdua
Aku mungkin belum tua
Tapi aku berbohong

Jangan terus terusan kamu melihat album foto itu
Tak ada lagi rasa seperti dulu
Ledakan-ledakan itu
Penyatuan-penyatuan itu
Sekarang, semua lebur jadi kebiasaan
Bukan lagi seperti
Namun memang sudah tak perlu lagi memilih

Kita di rumah wangi ini, telah cukup berharga
Biarkan mereka yang terjaga senyumnya, yang meneruskannya
Terima kasih untuk dedikasi cinta di setiap pagi
Tiap genggam bantuan saat ku mulai tak lagi mampu berjalan ke kamar mandi itu sendiri
Tiap helaan keyakinanmu kepadaku, di kala dokter pun sudah tak bisa menjawab

Jangan paksa dirimu untuk mengurusku lebih lama dari ini
Jangan khawatirkan soal cinta
Biarkan aku tenang, dan kita akan bertemu di sana tak lama lagi
Terima kasih wahai kasihku
Habis sudah waktunya
Biarkan ku mencium tanganmu sekali lagi


27/3/2016

r a r

Monday, 7 December 2015

Resensi Filem Lelaki Harapan Dunia


KOMEDI HITAM DARI NEGERI MELAYU
Penulis : Arief Budiman

Pak Awang (Wan Hanafi Su) yang dulunya adalah seorang penyanyi, berusaha untuk memindahkan sebuah rumah tua di dalam hutan atau biasa disebut warga desa rumah Amerika, yang telah lama diyakini berhantu oleh warga desa sebagai hadiah pernikahan putrinya. Di lain tempat seorang imigran berkulit hitam Solomon (Khalid Mboyelwa Hussein) yang berjualan secara ilegal, kabur dari tangkapan aparat dan menuju ke dalam hutan yang kemudian menemukan rumah tua tadi dan menggunakannya sebagai persembunyian. Namun beberapa warga desa meyakini bahwa Solomon adalah penunggu yang ada di dalam rumah tersebut, yang pada akhirnya membuat semua warga desa percaya dan ketakutan. Semua kejadian-kejadian tentang kehilangan, penyakit dan kesialan lainnya disambung-sambungkan dengan rumah tua tersebut, mereka merasa bahwa penyebabnya adalah karena memindahkan rumah tua itu. Keresahan warga desa membuat rumah tua yang diinginkan Pak Awang sebagai hadiah pernikahan putrinya batal dipindahkan, serta membuat Pak Awang menjadi dikucilkan serta dimusuhi oleh warga desa tersebut.
LELAKI HARAPAN DUNIA, filem dengan genre komedi arahan sutradara Liew Seng Tat yang berdurasi kurang lebih satu setengah jam ini merupakan sebuah filem yang berlatar belakang cerita sebuah desa di Malaysia. Filem ini terlihat sangat menonjolkan kultur yang ada di Malaysia, serta memperlihatkan sebuah perilaku yang kecenderunganya dimiliki oleh negara-negara timur terutama Asia yaitu mengenai perilaku berkolektif dan bergotong-royong. Tak hanya drama, komedi juga menjadi pelengkap di filem ini. Tetapi yang tertangkap di filem ini adalah bukan sekedar komedi melainkan sebuah black comedy (komedi hitam).
Black comedy sendiri merupakan salah satu jenis komedi yang biasanya mengenai sisi gelap atau mengenai kehidupan sehari-hari, selain itu hal-hal yang biasanya ditertawakan adalah sesuatu yang sebenarnya tragis. Biasanya mencakup kejadian politik, rasisme, agama, terorisme, dan peperangan. Black comedy bisa dibilang adalah salah satu cara lain untuk menertawakan sesuatu. Black comedy juga mengajarkan kita untuk berani menertawakan sesuatu yang menyedihkan dalam kehidupan dan yang terjadi akhir-akhir ini.
Liew Seng Tat memang cukup dikenal sebagai pembuat filem yang bernuansa black comedy. Tidak hanya sekedar membahas tentang kepercayaan dan mitos, namun Liew Seng Tat juga memasukkan politik ke dalamnya. Bermula pada adegan kedatangan pejabat dari sebuah parpol yang disambut oleh para warga desa dengan menyiapkan musik pengiring dan tulisan penyambut. Tulisan tersebut dibuat besar dan setiap huruf dipegang oleh beberapa warga desa, tetapi ketika mereka berada pada posisi masing-masing tulisan yang seharusnya “SELAMAT DATANG” menjadi “ELAMAT BANGSAT” dan “SELAMAT BATANG”. Adegan tersebut terlihat sebagai sebuah sindiran kepada parpol-parpol yang biasanya melakukan kampanye atau melakukan acara tertentu di sebuah desa dengan tujuan menarik masa serta perhatian demi kepentingan mereka dengan memberikan sejumlah uang yang biasa disebut donasi atau sumbangan. Kemudian terdapat seorang pemuka agama yang mengidap tuna netra, yang menggunakan kacamata hitam bemerek RayBan dan beradegan mengumandangkan adzan, adegan tersebut terlihat sebagai sebuah sindiran karena tidak sedikit saat ini pemuka-pemuka agama yang tetap ingin tampil mencolok serta sangat memperhatikan fashion mereka. Para warga desa yang sangat kental dan kuat kepercayaannya pun dapat dengan mudahnya dipengaruhi serta melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan percaya terhadap takhayul bahkan dukun. Namun di filem ini juga melawan balik tentang kebiasaan yang ada dan menjelaskan bahwa supranatural itu tidak bisa sepenuhnya dipercaya. Banyak hal-hal konyol yang dilakukan dengan berpikiran pendek oleh warga desa yang sebenarnya mereka memiliki kepercayaan agama yang sangat kuat. Filem ini juga membahas isu ras yang ada di negaranya sendiri, terlihat dengan penamaan Cina terhadap salah satu karakter yang ada di dalam filem ini. Tidak hanya itu terdapat juga beberapa sindiran kecil mengenai Indonesia melalui perbedaan nilai tukar rupiah dengan ringgit. Selain itu juga terdapat sindiran mengenai negara Cina yang saat ini menjadi salah produsen yang cukup merajai pasar dunia dengan mengatakan “kualistas singkong” pada barang hasil produksi Cina.
Jika diceritakan kembali dengan melihat komedi-komedi yang sebenarnya merupakan sebuah sindiran di filem ini adalah tentang politik yang meracuni warga yang akhirnya membuat perpecahan dan menimbulkan kesalah-pahaman diantara mereka. Rumah di filem ini yang disebut-sebut sebagai rumah Amerika oleh warga desa karena besar dan bercat putih menyamakannya dengan White House di Amerika, mereka anggap sebagai penyebab masalah yang terjadi kepada mereka, atau dalam artian lain White House itulah penyebab utama masalah dalam filem ini. Semua warga desa yang awalnya tidak memiliki masalah, mereka menjadi berselisih tentang hal yang rasional dan tidak rasional, mistik, kepercayaan, prinsip hingga akhirnya berujung kepada kekerasan. Karakter Pak Awang pun yang awalnya sabar menjadi berubah karena putus asa, dari berpikir rasional menjadi berpikir tidak rasional dan membalas apa yang diperbuat oleh warga desa kepadanya, yang terjadi adalah Pak Awang terkena batunya sendiri karena perbuatannya. Semua yang terjadi adalah saling berbuat hal-hal yang tidak rasional karena ketakutan dan keputusasaan. Hal anarkis juga terjadi dengan iming-iming kepercayaan.
Keseluruhan filem ini tidak hanya menceritakan tentang isu hantu yang ada di rumah Amerika tersebut, tetapi memiliki kekayaan cerita lain di dalamnya, tidak hanya satu layer tetapi cerita ini memiliki layer-layer lain di dalamnya. Bisa dibilang bahwa LELAKI HARAPAN DUNIA merupakan salah satu filem black comedy yang baik yang dimiliki oleh Malaysia saat ini. Dengan judul LELAKI HARAPAN DUNIA setidaknya dapat menjadi cermin kita di mana laki-laki yang kental dengan kekuatan, maskulinitas, dan yang biasanya menjadi pemimpin, agaknya harus bisa mawas dan berpikir rasional dalam menanggapi suatu hal atau isu, terlebih jika isu tersebut menyangkut adat dan kepercayaan yang mungkin saja memang dibuat hanya untuk kepentingan politik kalangan tertentu.