Melihat Fakta dan
Fiksi
dari Musim Hujan
dan Orang-Orang dari Selatan
Oleh: Cak Udin
|
Foto oleh: Fariduddin Ghani |
Saat asyik bermain
musik bersama Diak sambil mendendangkan lagu karyanya berjudul “Dendang dari
Selatan” tiba-tiba seorang kawan datang membawa sebuah buku. Saya berdua pun
diam sejenak. Belum lagi ucapan terima kasih kuucapkan, kawan tersebut
tergesa-gesa beranjak dari altar perjamuan kami berdua sambil berteriak “Woi
Resensien yo”.
Projek pertama
kawan-kawan komunitas Berkaca Kata yang menyajikan karya sastra bertajuk “Musim
Hujan dan Orang-Orang dari Selatan” membuat hati ini sumringah sembari
berceleloteh “Akhirnya, terbit juga...” Saya baca dari setiap karya
cerpen yang hadir di taman kata ini serasa mendapatkan pengalaman yang berbeda.
Alias pengalaman baru. Ada nuansa liris, deskriptif, realis, melankolis,
sarkastis, romantis, narsis, dsb, lahir dari lingkup mahasiswa Seni Media Rekam
seturut daya imajinya masing-masing. Rangkaian kata berjajar berbaris setebal seratus
delapan puluh lima halaman menjadi teman duduk bersama secangkir kopi dan udut.
Saya mendapatkan kesatuan imaji dan kreatifitas yang utuh dalam setiap cerpen
pada buku ini. Meski di beberapa cerpen, latar, tema, intrik dan konflik masih menjadi satu koreksi yang harus
ditumbuhkembangkan lagi. Tapi, bagi saya buku kumpulan cerpen yang mencoba
mempertemukan antara fakta dan fiksi telah memberikan angin segar pada
kelestarian sastra kampus.
Dalam keseharian
fakta dan fiksi nampak seolah dunia yang sudah selesai. Setiap orang bisa
dengan mudah menunjuk ini “fiksi”, terhadap kenyataan turunnya hujan. Sama
mudahnya dengan setiap orang yang sama menunjuk “itu fakta”, saat ia berkata
bahwa hujan turun itu sebenarnya tak pernah ada.
Tetapi dalam karya
sastra hal yang demikian tidaklah ada. Karya sastra seolah gampang dibedakan
antara karya realis dan non-realis. Realisme seakan-akan padanan dunia
kemyataan sehari-hari yang diangkut dan ditarik ke ranah fiksi-dunia khayalan.
Namun, walaupun khayalan, fantasi dalam karya realis adalah karya yang
menjajari kenyataan. Setiap dari kita akan berteriak lantang seandainya karya
realis itu menjauh dari dunia yang kita akrabi. Karya realis tak bisa bertindak
sesuka hatinya. Ia terikat dan bermain
dalam bingkai hukum dunia.
Sebaliknya dalam
karya non realis. Dalam konteks ini realisme seolah tak berlaku. Atau
ditaklukan. Ia seakan murni fantasi. Hukum yang mengikat “diri”nya adalah
sejauh imajinasi dan fantasi itu sendiri. Oleh karenanya karya non-realis, kita
(penulis) seolah-olah bisa berbuat apa saja. Tanpa harus mematuhi hukum
kenyataan, tanpa mengenai dirinya, dan dapat mengabaikannya.
Benarkah demikian?
Benarkah karya realis tak mampu menembus hukum kenyataan. Kita kembali pada
batasan fakta dan fiksi yang seolah-olah gamblang membatasi dan begitu jelas
itu. Batas fakta dan fiksi nyaris tak ada. Fakta bisa menjadi fiksi dan fiksi
bisa menjadi fakta. Karena realis ataupun non realis sebuah karya sastra ia
akan tetap menjadi sebuah dunia khayalan, dunia fantasi penuh imaji yang tentu
saja dapat menerobos dan memasuki ruang-ruang
paling tabu sekalipun dalam dunia nyata hingga pada melanggar
hukum-hukum batasannya sendiri. Saya mengandaikan antara Fakta dan Fiksi
seperti Ruh dan Tubuhnya atau dalam karya sastra pengarang dan karyanya.
Seperti Ruh dan tubuhnya: tubuh tidak bisa mengikut ruh untuk mengepakan sayap
seperti burung menjelajah alam. Atau seperti otak dan jiwa pengarang yang
menabuh dalam karyannya. Dan ini adalah jamaknya. Dimana abtraksi memerlukan
konkretisasi. Butuh bentuk. Tanpa bentuk, ruh seolah menjadi torso jiwa. Dalam
bahasa komunitas Berkaca Kata “Tujuan
utama diciptakannya projek ini antara lain, pertama menciptakan ruang bagi
mahasiswa untuk meluapkan segala emosi dan imajinasi yang bersarang di kepalanya.
Sebab di masa kini dapat kita tahu, ide-ide selalu berakhir tragis di dalam otak
dan selalu selesai hanya di tataran wacana” (berkaca kata: 2015)
Berpusat pada
manusia. Kenyataan itu seolah mewujud “kenyataan dengan”, atau “kenyataan dalam
hubungan”. Hujan memang ada. Tetapi kenyataan adanya hujan selalu dalam
hubungan “kenyataan dengan” kesadaran manusia. Tanpa manusia menyadari dan
memaknai, hujan itu tak akan pernah ada. Ia (hujan) akan bergerak menjadi fiksi
dalam benak manusia.
Sebaliknya
kenyataan hujan dalam benak manusia itu, bukan hujan seperti apa yang tampak
lagi. Hujan bergerak seturut aspirasi atau perspektif manusia itu sendiri.
Karena itu hujan yang nampak seolah kenyataan objektif itu sudah bergeser
menjadi hujan fiksi. Manusia sebagai pusat kesadaran bisa menambahinya atau
menguranginya.
Berjalan
bolak-balik antara fakta dan fiksi, antara realis dan non realis, begitulah
agaknya kumpulan lima belas cerita pendek bertajuk “Musim Hujan dan Orang-Orang
dari Selatan” terbitan komunitas Berkaca Kata FSMR ISI Yogyakarta mencoba
bermain-main pada ranah “Elevator Rides” yang melibatkan lima belas
penulis ini. Kumpulan cerpen ini bagai “Senja di Taman Kota” yang “Tepikan
Keluh” dikala anak cucu “Adam dan Hawa” duduk di “Bangku Taman”
menghayati lalu lalang nasib ber”Suara Hitam Putih”” pada “Lelaki
yang Mencintai Spermanya” di antara “Perempuan Satu dan Perempuan
Lainnya” hingga urat saraf “Macet” dan berlabuh pada “Randu Merah
di Muka Ibu” bagi saya buku berhalaman 158 ini menjejak pengalaman estetis
dari setiap penulisnya mewujud pada pelimbahan gerbong-gerbong tua sepekat daya
“Kereta Api 18 Januari” sebagai ungkapan “Terima Kasih MR.
Hammersschmidt” yang membawa ribuan makna “Cerita Isi Gudang” bagi
laku yang “Untiteld”.
Semakin
terkikisnya pecinta sastra dikalangan mahasiswa dengan hadirnya kumpulan cerpen
“Musim Hujan dan Orang-Orang dari Selatan” sedikit banyak memberikan harapan,
bahwa sesungguhnya kedekatan mahasiswa dengan sastra (buku) masihlah terjaga.
Tak akan lahir sebuah goresan tanpa membaca. Dengan membaca kegelisahan akan
muncul. Dari kegelisahan goresan akan lahir. “Aku menulis maka aku ada”. (Zainal
Arifin Toha)
SastraSewu 2015, Yogyakarta
Kopi Hitam Udat-Udut. Dikancani diskusi kecil Farid dan Diak