Tuesday 23 June 2015

Projek Mulia : Pemutaran Donasi



Berkaca Kata + Kamisinema mempersembahkan: Pemutaran Donasi Projek Mulia.

Pemutaran:
Film-film yang diputar disutradarai oleh Loeloe Hendra Kumara dan diproduksi ketika ia masih bersekolah di kampus ISI sampai dengan saat ini.

Diskusi:
Kita akan saling bertukar pandangan tentang skena film pendek di tingkat lokal maupun internasional. Bagaimana cara bersikap dan menghadapi dunia saat ini dalam kaitannya dengan film pendek dan secara khusus, kita akan sama-sama mengetahui dari empat film yang diputar, bagaimana cara kerja atau proses berkarya dari seorang Loeloe Hendra. Sepak terjang, pengalaman, dan pengamalan apa saja yang telah dilakukannya hingga mengantarnya sampai ke tahap seperti sekarang ini.


Donasi: 
Sifat donasi adalah sukarela. Panitia akan menempatkan kotak donasi untuk memuat donasi kawan-kawan. Sampai ketemu :)


Cek juga akun instagram kami di @berkacakata

Saturday 13 June 2015

Ulasan

Melihat Fakta dan Fiksi
dari Musim Hujan dan Orang-Orang dari Selatan
Oleh: Cak Udin


Foto oleh: Fariduddin Ghani
                     
Saat asyik bermain musik bersama Diak sambil mendendangkan lagu karyanya berjudul “Dendang dari Selatan” tiba-tiba seorang kawan datang membawa sebuah buku. Saya berdua pun diam sejenak. Belum lagi ucapan terima kasih kuucapkan, kawan tersebut tergesa-gesa beranjak dari altar perjamuan kami berdua sambil berteriak “Woi Resensien yo”.

Projek pertama kawan-kawan komunitas Berkaca Kata yang menyajikan karya sastra bertajuk “Musim Hujan dan Orang-Orang dari Selatan” membuat hati ini sumringah sembari berceleloteh “Akhirnya, terbit juga...” Saya baca dari setiap karya cerpen yang hadir di taman kata ini serasa mendapatkan pengalaman yang berbeda. Alias pengalaman baru. Ada nuansa liris, deskriptif, realis, melankolis, sarkastis, romantis, narsis, dsb, lahir dari lingkup mahasiswa Seni Media Rekam seturut daya imajinya masing-masing. Rangkaian kata berjajar berbaris setebal seratus delapan puluh lima halaman menjadi teman duduk bersama secangkir kopi dan udut. Saya mendapatkan kesatuan imaji dan kreatifitas yang utuh dalam setiap cerpen pada buku ini. Meski di beberapa cerpen, latar, tema, intrik dan konflik masih menjadi satu koreksi yang harus ditumbuhkembangkan lagi. Tapi, bagi saya buku kumpulan cerpen yang mencoba mempertemukan antara fakta dan fiksi telah memberikan angin segar pada kelestarian sastra kampus. 

Dalam keseharian fakta dan fiksi nampak seolah dunia yang sudah selesai. Setiap orang bisa dengan mudah menunjuk ini “fiksi”, terhadap kenyataan turunnya hujan. Sama mudahnya dengan setiap orang yang sama menunjuk “itu fakta”, saat ia berkata bahwa hujan turun itu sebenarnya tak pernah ada. 

Tetapi dalam karya sastra hal yang demikian tidaklah ada. Karya sastra seolah gampang dibedakan antara karya realis dan non-realis. Realisme seakan-akan padanan dunia kemyataan sehari-hari yang diangkut dan ditarik ke ranah fiksi-dunia khayalan. Namun, walaupun khayalan, fantasi dalam karya realis adalah karya yang menjajari kenyataan. Setiap dari kita akan berteriak lantang seandainya karya realis itu menjauh dari dunia yang kita akrabi. Karya realis tak bisa bertindak sesuka hatinya. Ia terikat  dan bermain dalam bingkai hukum dunia.

Sebaliknya dalam karya non realis. Dalam konteks ini realisme seolah tak berlaku. Atau ditaklukan. Ia seakan murni fantasi. Hukum yang mengikat “diri”nya adalah sejauh imajinasi dan fantasi itu sendiri. Oleh karenanya karya non-realis, kita (penulis) seolah-olah bisa berbuat apa saja. Tanpa harus mematuhi hukum kenyataan, tanpa mengenai dirinya, dan dapat mengabaikannya.

Benarkah demikian? Benarkah karya realis tak mampu menembus hukum kenyataan. Kita kembali pada batasan fakta dan fiksi yang seolah-olah gamblang membatasi dan begitu jelas itu. Batas fakta dan fiksi nyaris tak ada. Fakta bisa menjadi fiksi dan fiksi bisa menjadi fakta. Karena realis ataupun non realis sebuah karya sastra ia akan tetap menjadi sebuah dunia khayalan, dunia fantasi penuh imaji yang tentu saja dapat menerobos dan memasuki ruang-ruang  paling tabu sekalipun dalam dunia nyata hingga pada melanggar hukum-hukum batasannya sendiri. Saya mengandaikan antara Fakta dan Fiksi seperti Ruh dan Tubuhnya atau dalam karya sastra pengarang dan karyanya. Seperti Ruh dan tubuhnya: tubuh tidak bisa mengikut ruh untuk mengepakan sayap seperti burung menjelajah alam. Atau seperti otak dan jiwa pengarang yang menabuh dalam karyannya. Dan ini adalah jamaknya. Dimana abtraksi memerlukan konkretisasi. Butuh bentuk. Tanpa bentuk, ruh seolah menjadi torso jiwa. Dalam bahasa komunitas Berkaca Kata  “Tujuan utama diciptakannya projek ini antara lain, pertama menciptakan ruang bagi mahasiswa untuk meluapkan segala emosi dan imajinasi yang bersarang di kepalanya. Sebab di masa kini dapat kita tahu, ide-ide selalu berakhir tragis di dalam otak dan selalu selesai hanya di tataran wacana” (berkaca kata: 2015)

Berpusat pada manusia. Kenyataan itu seolah mewujud “kenyataan dengan”, atau “kenyataan dalam hubungan”. Hujan memang ada. Tetapi kenyataan adanya hujan selalu dalam hubungan “kenyataan dengan” kesadaran manusia. Tanpa manusia menyadari dan memaknai, hujan itu tak akan pernah ada. Ia (hujan) akan bergerak menjadi fiksi dalam benak manusia.
Sebaliknya kenyataan hujan dalam benak manusia itu, bukan hujan seperti apa yang tampak lagi. Hujan bergerak seturut aspirasi atau perspektif manusia itu sendiri. Karena itu hujan yang nampak seolah kenyataan objektif itu sudah bergeser menjadi hujan fiksi. Manusia sebagai pusat kesadaran bisa menambahinya atau menguranginya.

Berjalan bolak-balik antara fakta dan fiksi, antara realis dan non realis, begitulah agaknya kumpulan lima belas cerita pendek bertajuk “Musim Hujan dan Orang-Orang dari Selatan” terbitan komunitas Berkaca Kata FSMR ISI Yogyakarta mencoba bermain-main pada ranah “Elevator Rides” yang melibatkan lima belas penulis ini. Kumpulan cerpen ini bagai “Senja di Taman Kota” yang “Tepikan Keluh” dikala anak cucu “Adam dan Hawa” duduk di “Bangku Taman” menghayati lalu lalang nasib ber”Suara Hitam Putih”” pada “Lelaki yang Mencintai Spermanya” di antara “Perempuan Satu dan Perempuan Lainnya” hingga urat saraf “Macet” dan berlabuh pada “Randu Merah di Muka Ibu” bagi saya buku berhalaman 158 ini menjejak pengalaman estetis dari setiap penulisnya mewujud pada pelimbahan gerbong-gerbong tua sepekat daya “Kereta Api 18 Januari” sebagai ungkapan “Terima Kasih MR. Hammersschmidt” yang membawa ribuan makna “Cerita Isi Gudang” bagi laku yang “Untiteld”.

Semakin terkikisnya pecinta sastra dikalangan mahasiswa dengan hadirnya kumpulan cerpen “Musim Hujan dan Orang-Orang dari Selatan” sedikit banyak memberikan harapan, bahwa sesungguhnya kedekatan mahasiswa dengan sastra (buku) masihlah terjaga. Tak akan lahir sebuah goresan tanpa membaca. Dengan membaca kegelisahan akan muncul. Dari kegelisahan goresan akan lahir. “Aku menulis maka aku ada”. (Zainal Arifin Toha)


SastraSewu 2015, Yogyakarta
Kopi Hitam Udat-Udut. Dikancani diskusi kecil Farid dan Diak