TULISAN: TULISAN TENTANG DIES:
TULISAN TENTAS DIES NATALIS
Halo,
assalamualaikum, akhirnya kita berjumpa lagi pada perayaan Dies Natalis ISI
Yogyakarta. Perayaan yang (seperti biasanya) selalu kita jadikan bahan
perbincangan disela waktu santai atau sekedar nongkrong di bangunan yang tidak
terpakai di kampus. Perayaan ulang tahun yang biasa-biasa saja sebenarnya.
Tetapi selalu ada saja hal-hal yang mengusik akal sehat dan naluri kita .untuk mempertanyakan
sesuatu. Dies Natalis buat siapa sih?
Pertanyaan membosankan yang setiap tahun pasti terujar. Lebih bodoh lagi kita,
kenapa harus buang-buang tenaga-pikiran mengurusi hal-hal yang belum tentu
diurusi oleh para pengelola lembaga? Hmm, tetapi apapun niat baik itu pasti
selalu ada hikmahnya, yaitu, kita jadi tahu kadar kemalasan para pengelola ISI
ini begitu parah dan gawat!
Setiap
fakultas dan jurusan pasti memiliki persoalan tersendiri mengenai
penyelenggaraan Dies ini. FSMR adalah
salah satunya. Mulai dari publikasi acara yang tiba-tiba, rangkaian acara yang
tidak inovatif dan tidak adanya kerjasama urun, rembug, guyub, intim antara
mahasiswa dan birokrat kampus. Terlihat sekali bahwa semua acara dilaksanakan
hanya untuk memenuhi syarat asal ada. Asal terselenggara habis itu lenyap
ditelan angin. Bahwa yang digaungkan institusi berbasis seni itu hanyalah omong
kosong belaka.
DEAR REKTORKU DAN DEKANKU YANG TERCINTA,
BERIKANLAH
DIRIKU INI PENCERAHAN DAN SOSIALISASIKAN KEPADA SEMUA MAHASISWA APA ITU MAKNA
DIES DAN SENI BERBASIS RISET DAN TEKNOLOGI ITU! BERIKANLAH JUGA DIRIKU INI
NASIHAT-NASIHAT TENTANG ART DAN CERITAKANLAH DONGENG-DONGENG SENIMAN ELOK NAN
AGUNG NAN ADILUHUNG ITU AGAR SUPAYA KAMI TERHINDAR DARI KEJAHILAN IBLIS
BERKEDOK MANUSIA YANG GEMAH RIPAH LOH JINAWI TOTO TITI KERTARAHARJA. SALAM!
Ketiadaan
sosialisasi, selalu mepet waktu, asal jadi. Tiga faktor kenapa Dies Natalis
benar-benar sangat memuakkan, (saya tidak tahu diksi selain itu yang paling
tepat untuk menggambarkan situasi ini). Adalah wajar ketika para mahasiswa
selalu saja membuat ruang nyamannya di luar kampus. Kampus bagaikan tempat
persinggahan sesaat. Tidak ada iklim berdiskusi, berorganisasi, dan jauh sekali
dari pusat pengembangan pengetahuan. Bahkan dengan basis seninya, dan di aspek
kekaryaan, ISI sudah berjarak jauh dari sifat eksperimental. Sifat liar dan
semangat menggebu-nggebu masa muda mahasiswa dibiarkan mati perlahan di sini. Tidak
adanya faktor-faktor tersebut membuahkan ironi tersendiri ketika dihubungkan
dengan citra kampus yang menjadi pusat inkubator kesenian di Indonesia.
Tidak
elok jika kami yang disalahkan atas semua kekacaubalauan ini. Atas dasar nama
baik ISI, alangkah anggun apabila para pengelola kampus bercermin diri dan
mulai mempertanggungjawabkan perilakunya selama ini –yang arogan, instan, waton mlaku dan bodoh.
Saya
akan menyodorkan secuil fakta (aduh ini sangat ironis). Dalam penyelenggaraan
kali ini, jurusan televisi menyelenggarakan acara penayangan karya. Karya-karya
yang dinyatakan lolos, terlebih dahulu masuk ke dalam proses kurasi (saya
bingung apakah ini bisa disebut kurasi atau tidak). Proses kurasi itu hanya
dikerjakan oleh satu orang dosen dan bersifat tertutup. Metode dan cara penyaringannya
pun tidak jelas. Apabila kita berbicara tentang kurasi, maka banyak unsur yang
perlu diperhatikan secara detail dan seksama. Mulai dari konsep acara, tulisan
pengantar tema, tulisan pernyataan tentang film-film yang lolos maupun yang
tidak lolos, hingga teknis display.
Adanya aspek-aspek ini, salah satunya berfungsi sebagai jembatan antara para
pembuat film dan penonton. Di sini, jika masih konsisten kita sebut kurasi,
kurator tidak hanya berperan sebagai penyeleksi saja, tetapi fungsinya yang
jauh lebih utama adalah bagaimana dia dapat menjelaskan dan menawarkan cara
pandang kepada penonton untuk mengapresiasi film-film itu sebagaimana mestinya serta
sesuai dengan segmentasi penonton atau aspek-aspek lainnya yang memudahkan
penonton untuk membaca film-film yang akan dipertontonkan.
Bubur
sudah menjadi bau busuk, sepertinya Ibunda Kurator memang tidak memahami apa
itu kurasi. Atau dia hanya mencomot istilah itu tanpa tahu maknanya? Alih-alih
agar terlihat pintar dan keren, Ibunda Kurator terlihat malah sebaliknya.
Ibunda tidak menguasai betul terminologi kata. Bahkan yang paling fatal, dia
yang merangkap dosen ini telah berperilaku jauh dari akademis (kata yang selama ini
digaung-gaungkan oleh para akademika kampus). Di sini kita dapat mengetahui
dengan jelas, bahwa tingkat pemahaman dosen itu cethek.
Tidak
adanya penjelasan atau ulasan-ulasan lebih lanjut ini mengakibatkan kekecewaan
di kalangan mahasiswa. Para mahasiswa tidak pernah tahu alasannya kenapa
film-film mereka bisa lolos atau tidak. Pengajar lainnya pun seakan tidak mau
tahu, bahkan bungkam? Mereka menganggapnya sebagai hal sepele, yang tidak perlu
dibahas lebih lanjut. (apa karena malas yang akut?) Sudah menjadi pemandangan
yang lazim bahwa di jurusan televisi
banyak hal-hal yang tidak diputuskan secara demokratis dan terbuka. Padahal hal
semacam itu diperlukan untuk proses dialektika demi kemajuan pengetahuan dan
cara berpikir. Kalau sudah begini apa boleh buat? Evaluasi sangat dibutuhkan
mengingat kondisi yang sebegitu parah ini. Tapi kalau jadinya begini lagi, ya
percuma. Kita nantikan bersama saja, bagaimana Dies tahun depan.
Akhir
tulisan, sebagaimana kita merayakan ulang tahun pribadi maupun teman-teman, atmosfer
yang terbangun dan tercipta sungguh menyenangkan dan menimbulkan gegap-gempita
yang sulit dilupakan. Setiap perayaan ulang tahun menciptakan sebuah nuansa gaib
nan mistis dan itu menyiratkan sebuah doa maupun pengharapan tentang cita-cita
dan upaya untuk melanggengkan usia pertemanan. Kesyahduan yang amat sangat
ketika mengingat nyanyian lirih dan pendar lilin-lilin di tengah malam.
Keintiman yang luar biasa hangat ketika mengingat malam yang memunculkan
kisah-kisah tentang suka-duka jalinan persahabatan. Gelak tawa juga air mata
pun menandai waktu yang sampai hari ini menjadi ingatan kolektif tentang esensi
sebuah perayaan. Begitulah cara manusia, disadari atau tidak, mencoba memaknai
hidup dan menggerakkan –sekaligus melanggengkan tradisi yang dipunyai. Perayaan
ulang tahun adalah tanda sekaligus bentuk refleksi diri atas limpahan energi
semesta yang telah diberikan oleh dzat yang maha kekal. Sebuah sikap rasa
syukur. Tidak hanya sekedar pengulangan-pengulangan yang sama setiap tahunnya. Dan
yang terakhir, apakah kita sanggup menyesuaikan sikap dan sifat kita atas dasar
pemikiran tentang dunia yang terus bergerak ini? Mari kita merenung. (bk)