Tuesday 26 May 2015

Tulisan Edisi Dies Natalis (2)

TULISAN: TULISAN TENTANG DIES: TULISAN TENTAS DIES NATALIS

              Halo, assalamualaikum, akhirnya kita berjumpa lagi pada perayaan Dies Natalis ISI Yogyakarta. Perayaan yang (seperti biasanya) selalu kita jadikan bahan perbincangan disela waktu santai atau sekedar nongkrong di bangunan yang tidak terpakai di kampus. Perayaan ulang tahun yang biasa-biasa saja sebenarnya. Tetapi selalu ada saja hal-hal yang mengusik akal sehat dan naluri kita .untuk mempertanyakan sesuatu. Dies Natalis buat siapa sih? Pertanyaan membosankan yang setiap tahun pasti terujar. Lebih bodoh lagi kita, kenapa harus buang-buang tenaga-pikiran mengurusi hal-hal yang belum tentu diurusi oleh para pengelola lembaga? Hmm, tetapi apapun niat baik itu pasti selalu ada hikmahnya, yaitu, kita jadi tahu kadar kemalasan para pengelola ISI ini begitu parah dan gawat!

              Setiap fakultas dan jurusan pasti memiliki persoalan tersendiri mengenai penyelenggaraan Dies ini. FSMR adalah salah satunya. Mulai dari publikasi acara yang tiba-tiba, rangkaian acara yang tidak inovatif dan tidak adanya kerjasama urun, rembug, guyub, intim antara mahasiswa dan birokrat kampus. Terlihat sekali bahwa semua acara dilaksanakan hanya untuk memenuhi syarat asal ada. Asal terselenggara habis itu lenyap ditelan angin. Bahwa yang digaungkan institusi berbasis seni itu hanyalah omong kosong belaka.

              DEAR  REKTORKU DAN DEKANKU YANG TERCINTA,

BERIKANLAH DIRIKU INI PENCERAHAN DAN SOSIALISASIKAN KEPADA SEMUA MAHASISWA APA ITU MAKNA DIES DAN SENI BERBASIS RISET DAN TEKNOLOGI ITU! BERIKANLAH JUGA DIRIKU INI NASIHAT-NASIHAT TENTANG ART DAN CERITAKANLAH DONGENG-DONGENG SENIMAN ELOK NAN AGUNG NAN ADILUHUNG ITU AGAR SUPAYA KAMI TERHINDAR DARI KEJAHILAN IBLIS BERKEDOK MANUSIA YANG GEMAH RIPAH LOH JINAWI TOTO TITI KERTARAHARJA. SALAM!

              Ketiadaan sosialisasi, selalu mepet waktu, asal jadi. Tiga faktor kenapa Dies Natalis benar-benar sangat memuakkan, (saya tidak tahu diksi selain itu yang paling tepat untuk menggambarkan situasi ini). Adalah wajar ketika para mahasiswa selalu saja membuat ruang nyamannya di luar kampus. Kampus bagaikan tempat persinggahan sesaat. Tidak ada iklim berdiskusi, berorganisasi, dan jauh sekali dari pusat pengembangan pengetahuan. Bahkan dengan basis seninya, dan di aspek kekaryaan, ISI sudah berjarak jauh dari sifat eksperimental. Sifat liar dan semangat menggebu-nggebu masa muda mahasiswa dibiarkan mati perlahan di sini. Tidak adanya faktor-faktor tersebut membuahkan ironi tersendiri ketika dihubungkan dengan citra kampus yang menjadi pusat inkubator kesenian di Indonesia.

              Tidak elok jika kami yang disalahkan atas semua kekacaubalauan ini. Atas dasar nama baik ISI, alangkah anggun apabila para pengelola kampus bercermin diri dan mulai mempertanggungjawabkan perilakunya selama ini –yang arogan, instan, waton mlaku dan bodoh.

              Saya akan menyodorkan secuil fakta (aduh ini sangat ironis). Dalam penyelenggaraan kali ini, jurusan televisi menyelenggarakan acara penayangan karya. Karya-karya yang dinyatakan lolos, terlebih dahulu masuk ke dalam proses kurasi (saya bingung apakah ini bisa disebut kurasi atau tidak). Proses kurasi itu hanya dikerjakan oleh satu orang dosen dan bersifat tertutup. Metode dan cara penyaringannya pun tidak jelas. Apabila kita berbicara tentang kurasi, maka banyak unsur yang perlu diperhatikan secara detail dan seksama. Mulai dari konsep acara, tulisan pengantar tema, tulisan pernyataan tentang film-film yang lolos maupun yang tidak lolos, hingga teknis display. Adanya aspek-aspek ini, salah satunya berfungsi sebagai jembatan antara para pembuat film dan penonton. Di sini, jika masih konsisten kita sebut kurasi, kurator tidak hanya berperan sebagai penyeleksi saja, tetapi fungsinya yang jauh lebih utama adalah bagaimana dia dapat menjelaskan dan menawarkan cara pandang kepada penonton untuk mengapresiasi film-film itu sebagaimana mestinya serta sesuai dengan segmentasi penonton atau aspek-aspek lainnya yang memudahkan penonton untuk membaca film-film yang akan dipertontonkan.

              Bubur sudah menjadi bau busuk, sepertinya Ibunda Kurator memang tidak memahami apa itu kurasi. Atau dia hanya mencomot istilah itu tanpa tahu maknanya? Alih-alih agar terlihat pintar dan keren, Ibunda Kurator terlihat malah sebaliknya. Ibunda tidak menguasai betul terminologi kata. Bahkan yang paling fatal, dia yang merangkap dosen ini telah berperilaku  jauh dari akademis (kata yang selama ini digaung-gaungkan oleh para akademika kampus). Di sini kita dapat mengetahui dengan jelas, bahwa tingkat pemahaman dosen itu cethek.

              Tidak adanya penjelasan atau ulasan-ulasan lebih lanjut ini mengakibatkan kekecewaan di kalangan mahasiswa. Para mahasiswa tidak pernah tahu alasannya kenapa film-film mereka bisa lolos atau tidak. Pengajar lainnya pun seakan tidak mau tahu, bahkan bungkam? Mereka menganggapnya sebagai hal sepele, yang tidak perlu dibahas lebih lanjut. (apa karena malas yang akut?) Sudah menjadi pemandangan yang  lazim bahwa di jurusan televisi banyak hal-hal yang tidak diputuskan secara demokratis dan terbuka. Padahal hal semacam itu diperlukan untuk proses dialektika demi kemajuan pengetahuan dan cara berpikir. Kalau sudah begini apa boleh buat? Evaluasi sangat dibutuhkan mengingat kondisi yang sebegitu parah ini. Tapi kalau jadinya begini lagi, ya percuma. Kita nantikan bersama saja, bagaimana Dies tahun depan.



              Akhir tulisan, sebagaimana kita merayakan ulang tahun pribadi maupun teman-teman, atmosfer yang terbangun dan tercipta sungguh menyenangkan dan menimbulkan gegap-gempita yang sulit dilupakan. Setiap perayaan ulang tahun menciptakan sebuah nuansa gaib nan mistis dan itu menyiratkan sebuah doa maupun pengharapan tentang cita-cita dan upaya untuk melanggengkan usia pertemanan. Kesyahduan yang amat sangat ketika mengingat nyanyian lirih dan pendar lilin-lilin di tengah malam. Keintiman yang luar biasa hangat ketika mengingat malam yang memunculkan kisah-kisah tentang suka-duka jalinan persahabatan. Gelak tawa juga air mata pun menandai waktu yang sampai hari ini menjadi ingatan kolektif tentang esensi sebuah perayaan. Begitulah cara manusia, disadari atau tidak, mencoba memaknai hidup dan menggerakkan –sekaligus melanggengkan tradisi yang dipunyai. Perayaan ulang tahun adalah tanda sekaligus bentuk refleksi diri atas limpahan energi semesta yang telah diberikan oleh dzat yang maha kekal. Sebuah sikap rasa syukur. Tidak hanya sekedar pengulangan-pengulangan yang sama setiap tahunnya. Dan yang terakhir, apakah kita sanggup menyesuaikan sikap dan sifat kita atas dasar pemikiran tentang dunia yang terus bergerak ini? Mari kita merenung. (bk)

No comments:

Post a Comment