Penulis: Arief Budiman
Jika mendengar kata
eksperimen maka yang akan terbesit di pikiran kita adalah suatu percobaan, namun
eksperimen bukan hanya istilah pada bidang kedokteran atau ilmiah saja, pada
dunia film juga memiliki istilah eksperimen. Menurut sejarahnya, film
eksperimental berawal dari kejadian di Eropa pada tahun 1920 (tahun ini
dianggap sebagai era keemasan pertama sinema dunia selain pada periode hebat
lainnya di dekade 1960-an sampai pertengahan tahun 1970-an yang dipandang
sebagai periode ke dua), di tahun itu film dianggap sebagai perantara dan
keinginan untuk melawan film yang digunakan sebagai media massa yang menghibur saja
tetapi tidak mendidik, serta di tahun itu gerakan visual avant-grade (garda
depan, perlawanan terhadap batas-batas apa yang diterima sebagai norma dalam
suatu kebudayaan) berkembang dan film sudah mulai tercampur dengan unsur
surealis dan dadais. Kemudian Fernand Leger, Dudly Murphy dan Man Ray membuat
film eksperimental dengan judul Ballet Mecanique pada tahun 1924. Kemudian para
seniman surealis dan dadaisme mulai tertarik pada medium film dan membawa
ideologi mereka ke dalam karya mereka masing-masing. Seniman surealis terkemuka
Salvador Dali dan Luis Bunuel mengangkat popularitas aliran sinema surealis
melalui Un Chien Andolou, seniman dadais Marchel Duchamps juga ikut membuat
karya dengan film sebagai medianya. Selain itu sinema ekspresionis di Jerman, impresionis di Perancis, serta gerakan montase Soviet juga ikut berkembang.
Sedikit penjelasan
tentang avant-garde atau garda depan,
salah satu wacana seni modern yang umumnya kerap digunakan terhadap
terobosan-terobosan dalam seni rupa yang muncul menjadi sebuah agenda kritik
dan perlawanan dari seniman terhadap sejarah peradaban (Barat) pasca perang
dunia I dengan obsesi menciptukan sebuah dunia baru. Dalam sejarah
perkembangannya istilah avant-garde muncul pertama kali pada abad ke-4 sebelum
masehi dalam kosa kata militer, tentang fungsi dari bagian avant-garde dalam
pasukan gajah yang berperan untuk mengantisipasi bahaya dari perlawanan dari
sesuatu yang tidak diketahui dan mendesak yang akan berkorban secara heroik.
Kemudian istilah yang kedua muncul pada abad ke-18 pada revolusi Perancis, yang
berupa perkembangan dalam ide-ide dan prinsip-prinsip utama tentang kebebasan
yang mengharuskan dilakukannya revolusi. Istilah yang ketiga muncul dalam kosa
kata pemikir estetika tahun 1820 yang tergabung dalam lingkaran Saint Simonian,
yang menegaskan bahwa seni harus menjadi garda depan dari masyarakat, di mana
pada prinsipnya sangat jelas bahwa avant-garde selalu melawan di bidang seni
dengan cara berperang menuju yang lebih baik.
Film eksperimental
tidak memiliki plot namun tetap memiliki struktur. Strukturnya sangat
dipengaruhi oleh insting subyektif sineas seperti gagasan, ide, emosi, serta
pengalaman batin mereka. Film eksperimental juga umumnya tidak bercerita
tentang apapun bahkan kadang menentang kausalitas, seperti yang dilakukan para
sineas surealis dan dadais. Film-film eksperimental
umumnya berbentuk abstrak dan tidak mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena
menggunakan simbol-simbol personal yang mereka ciptakan sendiri. Secara singkat
film eksperimental dianggap sebagai ekspresi sangat pribadi dan personal dalam
menggunakan medium film bersifat non-komersial, dan dalam mencari kekhususan
film selalu berdialog dengan medium lainnya.
Film dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu dokumenter, fiksi, dan eksperimental. Film-film
dengan aliran seperti surealis, impresionis, ekspresionis, dan
lain-lain digolongkan ke dalam jenis film eksperimental. Karena seperti yang
sudah dijelaskan di awal itu adalah satu bentuk percobaan, namun bukan
coba-coba, melainkan seniman berusaha memasukkan hal baru ke dalam film demi
membuat suatu karya film yang lebih menarik. Seperti yang dikatakan oleh salah
satu sineas Yogyakarta, Senoaji Julius, “film
eksperimental bisa dibilang adalah suatu bentuk usaha oleh seniman dengan
mencoba memasukkan hal baru yang belum pernah dicobanya pada karya-karya sebelumnya
demi menghasilkan suatu karya yang inovatif”.
Dalam pengertian
sebelumnya bahwa film eksperimental lekat dengan istilah absurd atau bisa
dibilang sureal. Karena film sureal termasuk ke dalam salah satu film
eksperimental, tidak lantas para seniman yang membuat film itu, membuatnya
secara begitu saja dan kita menganggapnya sebagai suatu ke-absurd-an. Justru
para seniman membuatnya berdasarkan keresahan-keresahan yang dialaminya pada
realita kehidupan sehari-hari yang dianggapnya menjadi absurd karena hal-hal
tertentu, seperti yang dikatakan oleh M. Dwi Marianto dalam bukunya Surealisme
Yogyakarta, “Di Indonesia yang
didefinisikan sebagai helm benar-benar sureal. Hal ini dikarenakan tujuan
undang-undang tersebut bukanlah mengurangi tingkat kematian dan kecelakaan,
tetapi mengumpulkan denda dari para pelanggar. Hampir tidak seorangpun yang
bisa membeli helm yang beneran, penguasa mengerti hal ini, sehingga terjadilah
kesepakatan yang surreal. Pengendara sepeda motor diperintahkan untuk mematuhi
undang-undang yang menuruh mereka untuk memakai pelindung kepala yang sama
sekali tidak efektif, di antaranya adalah helm proyek, pot tanaman yang terbuat
dari plastik, buah melon separuh, kantung plastik, dan kotak kardus. Tampaknya
ini cukup membuat polisi puas”.
Satu keasikan
tersendiri yang dimiliki oleh jenis film ini, terlebih dapat membuka pemikiran
para sineas ataupun mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di bidang perfilman
yang hanya berkutat pada sisi teknis atau akademis, bahwa terdapat satu genre
di dalam film yang membebaskan film maker tersebut berkonsep dengan cara tutur
penceritaannya sendiri di sebuah film, sekalipun hal tersebut tidak ada dalam
realitas kehidupan. Film maker bisa bebas berekspresi dengan didasari oleh
pemikiran dan konsep yang kuat. Dalam pembuatannya sebenarnya tidak ada
teknik pasti karena film eksperimental mempunyai suatu ciri khas, yaitu tergantung
bagaimana si pembuat mengekspresikan pikirannya ke dalam sebuah film. Banyak
cara untuk mengungkapkan gagasannya, dapat melalui artistiknya, adegannya,
pengambilan gambarnya atau bahkan pengambilan suaranya sekalipun. Namun yang
patut digaris bawahi adalah, para pembuatnya biasanya memasukan
simbol-simbol yang dibuatnya untuk menggambarkan pikiran mereka. Berikut adalah
beberapa contoh film eksperimental:
- Genre Sub Genre
Sutradara : Yosep Anggi Noen
Produser :
Arya Sweta
Penulis :
Yosep Anggi Noen
Durasi : 12 menit
Tahun Produksi :
2014
Negara :
Indonesia
Film ini merupakan
projek dari Museum Nusa Tenggara Timur yang berisi gabungan film dan foto yang
digabungkan menjadi satu. Film ini bersumber dari
arsip-arsip yang dimiliki oleh museum, yang diolah dan menjadi sebuah ramalan terhadap Nusa Tenggara Timur di masa
mendatang.
Terdapat suatu konsep yang menarik di
dalam menggambarkan apa yang menjadi ramalan sang sutradara. Terdapat satu rel
kereta di tengah lahan bermain anak-anak dan kemudian rel itu dilewati oleh
kereta api. Seperti yang kita ketahui bahwa di Nusa Tenggara Timur tidak ada
kereta api. Namun dalam menceritakan ramalannya, sang sutradara menggabungkan
dalam satu frame gambar hal yang sebenarnya tidak mungkin berada di sana dengan
hal yang memang benar-benar terjadi di sana, sebagai bentuk ramalannya tentang
pembangunan yang akan terjadi di Nusa Tenggara Timur.
- Doodle Bug
Sutradara : Christopher Nolan
Produser :
Emma Thomas & Steve Street
Penulis :
Christopher Nolan
Durasi :
3 menit
Tahun Produksi :
1997
Negara :
Inggris
Film ini merupakan
sebuah karya eksperimental dari sutradara Christopher Nolan yang berdurasi
sangat pendek yaitu tiga menit. Terlihat seorang pria pada satu ruangan yang
membawa sepatu dan memukul-mukul sesuatu yang bergerak dan bersembunyi di
bawahnya, ketika berhasil menangkapnya ia lalu melihat dan ternyata itu adalah
dirinya yang lebih kecil. Dan ketika ia memukulnya menggunakan sepatu ternyata
di belakangnya ada dirinya lagi yang lebih besar yang siap memukulnya.
Konsep yang dihadirkan oleh Nolan sungguh
menarik, ia menghadirkan suatu bentuk manusia dan adegan yang berulang-ulang
dengan perbedaan ukuran objeknya. Bisa diartikan bahwa kita bukanlah apa-apa
masih ada yang lebih besar dari kita sehingga kita tidak boleh memperlakukan
seseorang dengan seenaknya atau menganggap rendah seseorang. Atau bisa
diartikan bahwa apa yang kita perbuat maka itu juga yang akan kita dapatkan.
- Rocket Rain
Sutradara :
Anggun Priambodo
Produser :
Meiske “Dede” Taurisia
Penulis :
Tumpal Christian Tampubolon
Durasi :
99 menit
Tahun Produksi :
2014
Negara :
Indonesia
Film ini bisa
dibilang sebuah film surealis, karya eksperimental dari Anggun Priambodo yang
jika dilihat dari perjalanan karirnya ia sering membuat karya video art.
Film ini sangat personal, bahkan dua
tokoh inti yang ada di dalam film ini dimainkan oleh dirinya sendiri bersama
dengan Tumpal (scriptwriter) untuk
memperkuat sebuah adegan yang natural dan penyampaianya kepada penonton,
sekalipun ini bukan sebuah film realis. Di dalam filmnya ini, Anggun
menghadirkan banyak sekali penyimbolan-penyimbolan yang dibuatnya melalui
dialog-dialog antar tokoh maupun elemen-elemen visual yang ada di film ini.
Film ini benar-benar menceritakan tentang apa yang dibicarakan laki-laki jika
sedang mengobrol, banyak hal juga yang dimasukkan sebagai satire seperti
kepercayaan tentang mitos dan kepercayaan kita tentang tayangan televisi
seperti contohnya mitos lidah buaya dan acara yang menghadirkan 10 perceraian
teraneh di dunia. Percakapan dan pikiran laki-laki pasti salah satunya tentang
seks, cara pikiran seperti itu kemudian divisualkan oleh Anggun dalam film ini
pada adegan ketika Tumpal melihat supirnya sedang makan berdua di meja makan
bersama istrinya, seketika gambar berubah menjadi hubungan intim antar si supir
dan istrinya di atas meja makan. Dengan begitu ekspresifnya, Anggun memvisualkan
secara blak-blakan apa yang dipikirkan oleh seorang laki-laki di dalam satu
frame gambar yang sama antara realitas dan khayalan. Banyak penyimbolan lain
seperti bunga-bunga yang disebut sebagai vagina oleh mereka, lalu tikus mati
yang ukurannya lebih besar dari mereka, sampai pada akting Anggun yang menjadi
seekor kura-kura kemudian tiba-tiba bertelur di sebuah pinggiran pantai. Film
ini termasuk baik dalam mengungkapkan sisi personal, kejujuran, serta
ke-ekspresif-an sang sutradara dalam mengemas film ini dengan menggunakan
penyimbolan-penyimbolannya.
Beberapa karya di
atas merupakan contoh karya film eksperimental. Jika di dunia seni rupa ada fine art (seni murni), maka di film, ada
eksperimental, jadi bisa dibilang eksperimental adalah bentuk fine art-nya film. Namun di dalam
televisi, sekalipun itu adalah sebuah program film, tidak ada eksperimental,
tidak ada fine art. Bukan karena
tidak ada hal yang unik, bagus, atau indah, melainkan televisi adalah sebuah
media massa dan memiliki sisi komersil yang tinggi. Sebagai media massa televisi
secara otomatis akan ditonton oleh banyak orang karena sifatnya tersebut, dari
berbagai macam orang, berbagai macam lapisan, dan yang terpenting adalah
berbagai macam ideologi. Karena dalam sebuah karya eksperimental terkadang
mengandung dan membicarakannya secara 'berlebih' SARA di dalamnya, dan peredaran film jenis ini biasanya melalui
sebuah pameran atau pun festival-festival film. Di mana biasanya penotonnya sudah mengerti tentang apa
ini, atau keterbukaan pikiran tentang sebuah karya seni, dan jika terdapat hal
yang menimbulkan perbedaan pendapat, itu bisa dilakukan secara diskusi
langsung. Sedangkan pada televisi, mereka tidak mungkin menampilkan karya yang membicarakan SARA dengan tingkat yang 'lebih', dan jika itu ditampilkan, kebanyakan masyarakat Indonesia tidak
memiliki keterbukaan dalam memaknai sebuah karya seni. Apalagi kita tidak bisa
mengontrol secara langsung siapa dan berapa umur yang menonton program
tersebut, walaupun terdapat sebuah simbol yang menandakan bahwa itu adalah
acara bukan untuk anak-anak. Bukan salah dari sebuah karya seni jika membicarakan unsur SARA dengan didasari konsep yang kuat, yang menjadi masalah
adalah masyarakat Indonesia belum bisa membuka pikiran mereka dan lebih
memenangkan otot dibandingkan sebuah diskusi. Sebuah karya tidak bisa menjadi
karya jika di dalam televisi terlalu terikat oleh banyak peraturan yang
mengekang kebebasan untuk berekspresi. Seperti yang dikatakan oleh
Krisna Murti, “tidak ada fine art di dalam televisi, bukanlah seni media rekam
melainkan seni media baru”. Selain itu pada dunia televisi lebih mementingkan
komersil dibandingkan sebuah idealis dalam berkarya atau membuat satu program
acara, karena itu adalah sebuah tuntutan industry,
tuntutan perputaran uang. Di mana mereka dituntut untuk membuat acara yang akan
disenangi oleh para penontonnya,
dengan seperti itu mereka akan mendapatkan banyak uang yang datang dari sponsor
dan iklan. Bukan malahan memberikan sesuatu yang penonton butuhkan dalam setiap program acaranya. Kebebasan
berekspresi dan membuat sesuatu yang membuka pikiran masyarakat menjadi tidak
bisa dilakukan karena kekangan dari komersil.
Jika pergerakan
kamera yang swing pada sebuah acara panggung di televisi, atau penempatan 36
kamera di lapangan sepak bola pada pergelaran sepak bola piala dunia dianggap
sebagai fine art-nya televisi, itu jelas-jelas salah. Dilihat ulang dalam pengertian dasar fine art dalam bahasa Indonesia adalah seni murni, seni yang
memberikan kebebasan untuk berekspresi, mengesampingkan sisi fungsionalis. Dan
yang dilakukan oleh kamerawan pada acara televisi adalah dalam rangka sisi
fungsionalis. Mereka memberikan kamera swing untuk memberikan gambaran megah
panggung dan mendukung performance
yang sedang dilakukan di panggung itu. Sedangkan pada penempatan 36 kamera
di lapangan pada sepak bola piala dunia tidak lain adalah untuk memberikan
banyak sisi penglihatan pada pergerakan bola kepada para penonton layar kaca. Dalam arti lain adalah untuk memanjakan mata para penonton layar kaca gerak detail dari keseluruhan yang ada di lapangan tersebut karena
mereka tidak bisa melihat langsung di lapangan. Mereka tidak bisa berekspresi
dalam mengoperasikan kamera, mereka tidak bisa membuat framing gambar dengan
keinginan mereka, semua yang tercipta hanya framing dasar dalam sebuah ilmu
pengambilan gambar, tak bisa seenaknya mereka membuat gambar yang tiba-tiba
berputar atau gambar yang miring terus menerus dalam acara televisi, karena
yang ada mereka akan dimarahi oleh atasan, mereka selalu mengambil gambar
dengan perintah-perintah dari atasan, yang intinya mereka melakukannya di bawah
perintah dan untuk sisi fungsionalis, dua hal yang bukan termasuk ke dalam fine art, jadi tidak ada fine art di dalam televisi. Bahkan tidak hanya
bidang industri pertelevisian saja, pada instuisi yang mengajarkan tentang televisi sekalipun yang mempunyai instuisi seni, tidak bisa membawa fine
art ke dalamnya. Itu adalah sebuah kesalahan memasukan ilmu televisi ke
dalam ranah instuisi seni, seharusnya mereka digolongkan ke dalam lembaga yang
mempelajari broadcasting karena
memang itulah televisi. Yang pada akhirnya ilmu-ilmu yang
diajarkan tidak jauh berbeda dengan apa yang diajarkan oleh lembaga broadcasting, dan menjadi tidak berguna
label seni tadi. Tidak ada eksperimental di dalam televisi, tidak ada fine art di dalam televisi. Yang lebih
menyedihkannya adalah di beberapa perguruan tinggi seni tidak ada keterbukaan
pikiran untuk mempelajari sesuatu yang baru dalam ranah ilmu pengetahuan di
bidang audio visual di sebuah instuisi seni. Mereka tidak memberikan sebuah
ilmu baru kepada mahasiswanya untuk membuka wawasan. Mereka tidak
terbuka dalam mengapresisasi berbagai karya audio visual, contohnya adalah
karya audio visual yang memiliki konten sensitif. Padahal itu bukanlah suatu
masalah karena sejatinya kampus merupakan tempat untuk belajar dan diskusi,
semua hal menjadi netral dan tidak ada yang sensitif, karena di kampus
merupakan ranah ilmiah. Tempat yang seharusnya memberikan kebebasan untuk
setiap ilmunya, justru bersifat memilih dan tidak terbuka dalam menerima ilmu
baru, sungguh menjadi ironi tersendiri.
Film eksperimental merupakan sebuah
bentuk ekspresi, bentuk protes, atau bentuk usaha untuk menjadi sebuah film
yang menghadirkan kecerdasan, menghadirkan pembaruan selain dari fungsi film
sebagai hiburan, begitulah paradigma minimal yang harusnya dimiliki oleh kita.
Daftar Pustaka
-
http://en.wikipedia.org/wiki/Experimental_film
http://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780199791286/obo-9780199791286-0082.xml
http://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780199791286/obo-9780199791286-0082.xml
-
M. Dwi Marianto, Surealisme Yogyakarta, Rumah
Penerbit Merapi: 2001, Yogyakarta
keren..
ReplyDelete