Monday, 24 August 2015
Tuesday, 23 June 2015
Projek Mulia : Pemutaran Donasi
Berkaca Kata + Kamisinema mempersembahkan: Pemutaran Donasi Projek Mulia.
Pemutaran:
Film-film yang diputar disutradarai oleh Loeloe Hendra Kumara dan diproduksi ketika ia masih bersekolah di kampus ISI sampai dengan saat ini.
Diskusi:
Kita akan saling bertukar pandangan tentang skena film pendek di tingkat lokal maupun internasional. Bagaimana cara bersikap dan menghadapi dunia saat ini dalam kaitannya dengan film pendek dan secara khusus, kita akan sama-sama mengetahui dari empat film yang diputar, bagaimana cara kerja atau proses berkarya dari seorang Loeloe Hendra. Sepak terjang, pengalaman, dan pengamalan apa saja yang telah dilakukannya hingga mengantarnya sampai ke tahap seperti sekarang ini.
Donasi:
Sifat donasi adalah sukarela. Panitia akan menempatkan kotak donasi untuk memuat donasi kawan-kawan. Sampai ketemu :)
Cek juga akun instagram kami di @berkacakata
Saturday, 13 June 2015
Ulasan
Melihat Fakta dan
Fiksi
dari Musim Hujan
dan Orang-Orang dari Selatan
Oleh: Cak Udin
![]() |
Foto oleh: Fariduddin Ghani |
Saat asyik bermain
musik bersama Diak sambil mendendangkan lagu karyanya berjudul “Dendang dari
Selatan” tiba-tiba seorang kawan datang membawa sebuah buku. Saya berdua pun
diam sejenak. Belum lagi ucapan terima kasih kuucapkan, kawan tersebut
tergesa-gesa beranjak dari altar perjamuan kami berdua sambil berteriak “Woi
Resensien yo”.
Projek pertama
kawan-kawan komunitas Berkaca Kata yang menyajikan karya sastra bertajuk “Musim
Hujan dan Orang-Orang dari Selatan” membuat hati ini sumringah sembari
berceleloteh “Akhirnya, terbit juga...” Saya baca dari setiap karya
cerpen yang hadir di taman kata ini serasa mendapatkan pengalaman yang berbeda.
Alias pengalaman baru. Ada nuansa liris, deskriptif, realis, melankolis,
sarkastis, romantis, narsis, dsb, lahir dari lingkup mahasiswa Seni Media Rekam
seturut daya imajinya masing-masing. Rangkaian kata berjajar berbaris setebal seratus
delapan puluh lima halaman menjadi teman duduk bersama secangkir kopi dan udut.
Saya mendapatkan kesatuan imaji dan kreatifitas yang utuh dalam setiap cerpen
pada buku ini. Meski di beberapa cerpen, latar, tema, intrik dan konflik masih menjadi satu koreksi yang harus
ditumbuhkembangkan lagi. Tapi, bagi saya buku kumpulan cerpen yang mencoba
mempertemukan antara fakta dan fiksi telah memberikan angin segar pada
kelestarian sastra kampus.
Dalam keseharian
fakta dan fiksi nampak seolah dunia yang sudah selesai. Setiap orang bisa
dengan mudah menunjuk ini “fiksi”, terhadap kenyataan turunnya hujan. Sama
mudahnya dengan setiap orang yang sama menunjuk “itu fakta”, saat ia berkata
bahwa hujan turun itu sebenarnya tak pernah ada.
Tetapi dalam karya
sastra hal yang demikian tidaklah ada. Karya sastra seolah gampang dibedakan
antara karya realis dan non-realis. Realisme seakan-akan padanan dunia
kemyataan sehari-hari yang diangkut dan ditarik ke ranah fiksi-dunia khayalan.
Namun, walaupun khayalan, fantasi dalam karya realis adalah karya yang
menjajari kenyataan. Setiap dari kita akan berteriak lantang seandainya karya
realis itu menjauh dari dunia yang kita akrabi. Karya realis tak bisa bertindak
sesuka hatinya. Ia terikat dan bermain
dalam bingkai hukum dunia.
Sebaliknya dalam
karya non realis. Dalam konteks ini realisme seolah tak berlaku. Atau
ditaklukan. Ia seakan murni fantasi. Hukum yang mengikat “diri”nya adalah
sejauh imajinasi dan fantasi itu sendiri. Oleh karenanya karya non-realis, kita
(penulis) seolah-olah bisa berbuat apa saja. Tanpa harus mematuhi hukum
kenyataan, tanpa mengenai dirinya, dan dapat mengabaikannya.
Benarkah demikian?
Benarkah karya realis tak mampu menembus hukum kenyataan. Kita kembali pada
batasan fakta dan fiksi yang seolah-olah gamblang membatasi dan begitu jelas
itu. Batas fakta dan fiksi nyaris tak ada. Fakta bisa menjadi fiksi dan fiksi
bisa menjadi fakta. Karena realis ataupun non realis sebuah karya sastra ia
akan tetap menjadi sebuah dunia khayalan, dunia fantasi penuh imaji yang tentu
saja dapat menerobos dan memasuki ruang-ruang
paling tabu sekalipun dalam dunia nyata hingga pada melanggar
hukum-hukum batasannya sendiri. Saya mengandaikan antara Fakta dan Fiksi
seperti Ruh dan Tubuhnya atau dalam karya sastra pengarang dan karyanya.
Seperti Ruh dan tubuhnya: tubuh tidak bisa mengikut ruh untuk mengepakan sayap
seperti burung menjelajah alam. Atau seperti otak dan jiwa pengarang yang
menabuh dalam karyannya. Dan ini adalah jamaknya. Dimana abtraksi memerlukan
konkretisasi. Butuh bentuk. Tanpa bentuk, ruh seolah menjadi torso jiwa. Dalam
bahasa komunitas Berkaca Kata “Tujuan
utama diciptakannya projek ini antara lain, pertama menciptakan ruang bagi
mahasiswa untuk meluapkan segala emosi dan imajinasi yang bersarang di kepalanya.
Sebab di masa kini dapat kita tahu, ide-ide selalu berakhir tragis di dalam otak
dan selalu selesai hanya di tataran wacana” (berkaca kata: 2015)
Berpusat pada
manusia. Kenyataan itu seolah mewujud “kenyataan dengan”, atau “kenyataan dalam
hubungan”. Hujan memang ada. Tetapi kenyataan adanya hujan selalu dalam
hubungan “kenyataan dengan” kesadaran manusia. Tanpa manusia menyadari dan
memaknai, hujan itu tak akan pernah ada. Ia (hujan) akan bergerak menjadi fiksi
dalam benak manusia.
Sebaliknya
kenyataan hujan dalam benak manusia itu, bukan hujan seperti apa yang tampak
lagi. Hujan bergerak seturut aspirasi atau perspektif manusia itu sendiri.
Karena itu hujan yang nampak seolah kenyataan objektif itu sudah bergeser
menjadi hujan fiksi. Manusia sebagai pusat kesadaran bisa menambahinya atau
menguranginya.
Berjalan
bolak-balik antara fakta dan fiksi, antara realis dan non realis, begitulah
agaknya kumpulan lima belas cerita pendek bertajuk “Musim Hujan dan Orang-Orang
dari Selatan” terbitan komunitas Berkaca Kata FSMR ISI Yogyakarta mencoba
bermain-main pada ranah “Elevator Rides” yang melibatkan lima belas
penulis ini. Kumpulan cerpen ini bagai “Senja di Taman Kota” yang “Tepikan
Keluh” dikala anak cucu “Adam dan Hawa” duduk di “Bangku Taman”
menghayati lalu lalang nasib ber”Suara Hitam Putih”” pada “Lelaki
yang Mencintai Spermanya” di antara “Perempuan Satu dan Perempuan
Lainnya” hingga urat saraf “Macet” dan berlabuh pada “Randu Merah
di Muka Ibu” bagi saya buku berhalaman 158 ini menjejak pengalaman estetis
dari setiap penulisnya mewujud pada pelimbahan gerbong-gerbong tua sepekat daya
“Kereta Api 18 Januari” sebagai ungkapan “Terima Kasih MR.
Hammersschmidt” yang membawa ribuan makna “Cerita Isi Gudang” bagi
laku yang “Untiteld”.
Semakin
terkikisnya pecinta sastra dikalangan mahasiswa dengan hadirnya kumpulan cerpen
“Musim Hujan dan Orang-Orang dari Selatan” sedikit banyak memberikan harapan,
bahwa sesungguhnya kedekatan mahasiswa dengan sastra (buku) masihlah terjaga.
Tak akan lahir sebuah goresan tanpa membaca. Dengan membaca kegelisahan akan
muncul. Dari kegelisahan goresan akan lahir. “Aku menulis maka aku ada”. (Zainal
Arifin Toha)
SastraSewu 2015, Yogyakarta
Kopi Hitam Udat-Udut. Dikancani diskusi kecil Farid dan Diak
Tuesday, 2 June 2015
Tuesday, 26 May 2015
Tulisan Edisi Dies Natalis (2)
TULISAN: TULISAN TENTANG DIES:
TULISAN TENTAS DIES NATALIS
Halo,
assalamualaikum, akhirnya kita berjumpa lagi pada perayaan Dies Natalis ISI
Yogyakarta. Perayaan yang (seperti biasanya) selalu kita jadikan bahan
perbincangan disela waktu santai atau sekedar nongkrong di bangunan yang tidak
terpakai di kampus. Perayaan ulang tahun yang biasa-biasa saja sebenarnya.
Tetapi selalu ada saja hal-hal yang mengusik akal sehat dan naluri kita .untuk mempertanyakan
sesuatu. Dies Natalis buat siapa sih?
Pertanyaan membosankan yang setiap tahun pasti terujar. Lebih bodoh lagi kita,
kenapa harus buang-buang tenaga-pikiran mengurusi hal-hal yang belum tentu
diurusi oleh para pengelola lembaga? Hmm, tetapi apapun niat baik itu pasti
selalu ada hikmahnya, yaitu, kita jadi tahu kadar kemalasan para pengelola ISI
ini begitu parah dan gawat!
Setiap
fakultas dan jurusan pasti memiliki persoalan tersendiri mengenai
penyelenggaraan Dies ini. FSMR adalah
salah satunya. Mulai dari publikasi acara yang tiba-tiba, rangkaian acara yang
tidak inovatif dan tidak adanya kerjasama urun, rembug, guyub, intim antara
mahasiswa dan birokrat kampus. Terlihat sekali bahwa semua acara dilaksanakan
hanya untuk memenuhi syarat asal ada. Asal terselenggara habis itu lenyap
ditelan angin. Bahwa yang digaungkan institusi berbasis seni itu hanyalah omong
kosong belaka.
DEAR REKTORKU DAN DEKANKU YANG TERCINTA,
BERIKANLAH
DIRIKU INI PENCERAHAN DAN SOSIALISASIKAN KEPADA SEMUA MAHASISWA APA ITU MAKNA
DIES DAN SENI BERBASIS RISET DAN TEKNOLOGI ITU! BERIKANLAH JUGA DIRIKU INI
NASIHAT-NASIHAT TENTANG ART DAN CERITAKANLAH DONGENG-DONGENG SENIMAN ELOK NAN
AGUNG NAN ADILUHUNG ITU AGAR SUPAYA KAMI TERHINDAR DARI KEJAHILAN IBLIS
BERKEDOK MANUSIA YANG GEMAH RIPAH LOH JINAWI TOTO TITI KERTARAHARJA. SALAM!
Ketiadaan
sosialisasi, selalu mepet waktu, asal jadi. Tiga faktor kenapa Dies Natalis
benar-benar sangat memuakkan, (saya tidak tahu diksi selain itu yang paling
tepat untuk menggambarkan situasi ini). Adalah wajar ketika para mahasiswa
selalu saja membuat ruang nyamannya di luar kampus. Kampus bagaikan tempat
persinggahan sesaat. Tidak ada iklim berdiskusi, berorganisasi, dan jauh sekali
dari pusat pengembangan pengetahuan. Bahkan dengan basis seninya, dan di aspek
kekaryaan, ISI sudah berjarak jauh dari sifat eksperimental. Sifat liar dan
semangat menggebu-nggebu masa muda mahasiswa dibiarkan mati perlahan di sini. Tidak
adanya faktor-faktor tersebut membuahkan ironi tersendiri ketika dihubungkan
dengan citra kampus yang menjadi pusat inkubator kesenian di Indonesia.
Tidak
elok jika kami yang disalahkan atas semua kekacaubalauan ini. Atas dasar nama
baik ISI, alangkah anggun apabila para pengelola kampus bercermin diri dan
mulai mempertanggungjawabkan perilakunya selama ini –yang arogan, instan, waton mlaku dan bodoh.
Saya
akan menyodorkan secuil fakta (aduh ini sangat ironis). Dalam penyelenggaraan
kali ini, jurusan televisi menyelenggarakan acara penayangan karya. Karya-karya
yang dinyatakan lolos, terlebih dahulu masuk ke dalam proses kurasi (saya
bingung apakah ini bisa disebut kurasi atau tidak). Proses kurasi itu hanya
dikerjakan oleh satu orang dosen dan bersifat tertutup. Metode dan cara penyaringannya
pun tidak jelas. Apabila kita berbicara tentang kurasi, maka banyak unsur yang
perlu diperhatikan secara detail dan seksama. Mulai dari konsep acara, tulisan
pengantar tema, tulisan pernyataan tentang film-film yang lolos maupun yang
tidak lolos, hingga teknis display.
Adanya aspek-aspek ini, salah satunya berfungsi sebagai jembatan antara para
pembuat film dan penonton. Di sini, jika masih konsisten kita sebut kurasi,
kurator tidak hanya berperan sebagai penyeleksi saja, tetapi fungsinya yang
jauh lebih utama adalah bagaimana dia dapat menjelaskan dan menawarkan cara
pandang kepada penonton untuk mengapresiasi film-film itu sebagaimana mestinya serta
sesuai dengan segmentasi penonton atau aspek-aspek lainnya yang memudahkan
penonton untuk membaca film-film yang akan dipertontonkan.
Bubur
sudah menjadi bau busuk, sepertinya Ibunda Kurator memang tidak memahami apa
itu kurasi. Atau dia hanya mencomot istilah itu tanpa tahu maknanya? Alih-alih
agar terlihat pintar dan keren, Ibunda Kurator terlihat malah sebaliknya.
Ibunda tidak menguasai betul terminologi kata. Bahkan yang paling fatal, dia
yang merangkap dosen ini telah berperilaku jauh dari akademis (kata yang selama ini
digaung-gaungkan oleh para akademika kampus). Di sini kita dapat mengetahui
dengan jelas, bahwa tingkat pemahaman dosen itu cethek.
Tidak
adanya penjelasan atau ulasan-ulasan lebih lanjut ini mengakibatkan kekecewaan
di kalangan mahasiswa. Para mahasiswa tidak pernah tahu alasannya kenapa
film-film mereka bisa lolos atau tidak. Pengajar lainnya pun seakan tidak mau
tahu, bahkan bungkam? Mereka menganggapnya sebagai hal sepele, yang tidak perlu
dibahas lebih lanjut. (apa karena malas yang akut?) Sudah menjadi pemandangan
yang lazim bahwa di jurusan televisi
banyak hal-hal yang tidak diputuskan secara demokratis dan terbuka. Padahal hal
semacam itu diperlukan untuk proses dialektika demi kemajuan pengetahuan dan
cara berpikir. Kalau sudah begini apa boleh buat? Evaluasi sangat dibutuhkan
mengingat kondisi yang sebegitu parah ini. Tapi kalau jadinya begini lagi, ya
percuma. Kita nantikan bersama saja, bagaimana Dies tahun depan.
Akhir
tulisan, sebagaimana kita merayakan ulang tahun pribadi maupun teman-teman, atmosfer
yang terbangun dan tercipta sungguh menyenangkan dan menimbulkan gegap-gempita
yang sulit dilupakan. Setiap perayaan ulang tahun menciptakan sebuah nuansa gaib
nan mistis dan itu menyiratkan sebuah doa maupun pengharapan tentang cita-cita
dan upaya untuk melanggengkan usia pertemanan. Kesyahduan yang amat sangat
ketika mengingat nyanyian lirih dan pendar lilin-lilin di tengah malam.
Keintiman yang luar biasa hangat ketika mengingat malam yang memunculkan
kisah-kisah tentang suka-duka jalinan persahabatan. Gelak tawa juga air mata
pun menandai waktu yang sampai hari ini menjadi ingatan kolektif tentang esensi
sebuah perayaan. Begitulah cara manusia, disadari atau tidak, mencoba memaknai
hidup dan menggerakkan –sekaligus melanggengkan tradisi yang dipunyai. Perayaan
ulang tahun adalah tanda sekaligus bentuk refleksi diri atas limpahan energi
semesta yang telah diberikan oleh dzat yang maha kekal. Sebuah sikap rasa
syukur. Tidak hanya sekedar pengulangan-pengulangan yang sama setiap tahunnya. Dan
yang terakhir, apakah kita sanggup menyesuaikan sikap dan sifat kita atas dasar
pemikiran tentang dunia yang terus bergerak ini? Mari kita merenung. (bk)
Subscribe to:
Posts (Atom)