(1) VAMPIRE :
Satir dalam sebuah realitas
Oleh: Arief Budiman
Jika berbicara
mengenai kata vampire, pikiran kita
pasti akan mengerucut tentang satu hal, yaitu horror. Namun tidak dengan film yang satu ini, bagi sang sutradara ini
adalah sebuah film yang bergenre
komedi satir. Bercerita tentang dua orang pemuda, yaitu Kipli dan Kecap, yang hendak
pergi ke sebuah warung pecel lele dan mengalami kejadian-kejadian aneh ketika
di dalam perjalanannya. Melihat ke belakang dari beberapa film yang telah
dibuatnya, tidak heran jika kali ini sang sutradara mengemas film Vampire
berlawanan dari arus pola pikir akan sebuah kata vampire, dan membuatnya menjadi sebuah film yang bergenre komedi satir. Sang sutradara cukup
berhasil membuat hal yang inovatif di setiap karyanya. Namun apakah film
Vampire ini merupakan film yang benar-benar bergenre komedi satir?
Satir sendiri berasal dari kata satura (bahasa Latin), satyros (bahasa Yunani), satire (bahasa Inggris) yang berarti
sindiran. Lakon satir adalah lakon yang mengemas kebodohan, perlakuan kejam,
kelemahan seseorang untuk mengecam, mengejek bahkan menertawakan suatu keadaan
dengan maksud membawa sebuah perbaikan. Tujuan drama satir tidak hanya
semata-mata sebagai humor biasa, tetapi lebih sebagai sebuah kritik terhadap
seseorang, atau kelompok masyarakat dengan cara yang sangat cerdik. Lakon satir
dalam film Vampire diaplikasikan ke dalam dua orang karakter sekaligus.
Karakter Kipli mengambil beberapa sifat yang sudah disinggung sebelumnya, yaitu
tentang kebodohan dan kelemahan. Sedangkan karakter Kecap menggambarkan sifat
mengecam dan mengejek. Terlihat dari beberapa adegan yang menggambarkan Kipli
merasa takut sedangkan Kecap menimpalinya dengan ocehan-ocehan yang mengejek
rasa ketakutan yang dialami Kipli dengan sesuatu yang konyol, walaupun
sejatinya Kecap menyimpan rasa takut. Terdapat suatu sindiran terhadap suatu
kepercayaan tentang hal yang mistis, yang menjadi topik utama dalam film
Vampire ini. Setting yang mendukung dengan mengambil set jawa, membuat hal-hal
yang menjadi ketakutan Kipli menjadi lebih terasa hidup. Lagu lengser wengi dan
bola api terbang menguatkan dan memperjelas bahwa suatu mitos tentang
kepercayaan sekitar tengah dibahas dalam film ini. Namun terdapat hal yang
selalu menjadi ciri khas dalam setiap film yang dibuatnya, isu-isu yang akrab
di kalangan saat ini selalu ia masukan di dalam karyanya. Tidak hanya
kuntilanak dan sundel bolong. Van helsing, Twilight, Blade, dan segala hal yang
berhubungan dengan vampire pada saat
ini dan akrab di benak penonton, menjadi bumbu yang menarik dan menambah
kekuatan komedinya. Tidak serta merta sang sutradara memasukkan hal-hal
tersebut dengan asal seperti Van helsing dan Twillight, atau vampire yang berjilbab. Ia membangun
mindset penonton terlebih dahulu melaui dialog-dialog yang dilakukan antara
Kipli dan Kecap sehingga penonton terbawa dan tidak terasa aneh dengan
kata-kata seperti itu. Walaupun sejatinya kata-kata yang tak terduga lebih
membuat penonton tertawa.
Tak menjadi keraguan ketika ia
memasukkan suatu simbol yang identik tentang suatu agama, yaitu jilbab. Dan
membuatnya sebagai suatu guyonan di dalam filmnya. Suatu sindiran yang menarik
ketika terdapat adegan seorang vampire
wanita yang menggunakan jilbab tengah menggigit leher seorang laki-laki. Jilboobs, bukanlah suatu hal yang asing
dan tengah menjadi tren saat ini. Kerudung yang sejatinya menjadi simbol sakral
bagi seorang wanita beragama islam, dewasa ini menjadi suatu hal yang tidak
mengikat lagi bagi mereka wanita yang berkerudung untuk memperlihatkan
keindahan-keindahan dari setiap sisi tubuhnya, atau melakukan hal-hal yang
memperlihatkan keagresifan dirinya. Walaupun tidak semua wanita berjilbab
seperti itu, namun kini jilboobs
menjadi tren untuk sebutan bagi
mereka yang menanggalkan kepatuhan terhadap jilbab yang dipakainya. Jika
ditafsirkan secara seks dan menyangkut kata jilboobs,
bentuk dari adegan gigitan yang dilakukan oleh seorang vampire berjilbab, adalah bentuk kecupan (cupang) yang dilakukan
oleh seorang wanita berjilbab dan mengenakan celana jeans ketat. Sebuah bentuk
sindiran yang begitu menyentil bagi banyak wanita yang menutupi aurat kepalanya
dengan sebuah kain.
Di Indonesia sendiri bukanlah suatu
hal yang mungkin terjadi, seorang vampire
yang memotong kepala seorang pedagang pecel lele. Indonesia bermayoritaskan
penduduk yang menganut agama Islam, serta hampir semua orang mempunyai dan
mempercayai mitos di daerah masing-masing. Sebuah grafis bertuliskan majalah
hadiyah (bentuk sindiran dari majalah hidayah) dengan judul “Kepala terputus
karena sering menggoreng lele” adalah salah satu bentuk sindiran yang diberikan
sang sutradara tentang cara pandang orang Indonesia mengenai suatu kejadian yang
aneh dan menghubungkannya dalam cara berfikir masyarakat yang terbelenggu dalam
mitos dan religi. Sebuah kepercayaan tentang suatu agama telah tersimbolkan dengan
adanya tokoh wanita yang menggunakan kain sebagai penutup kepala, dan grafis
majalah hadiyah yang juga merupakan sindiran terhadap suatu majalah yang
berhubungan dengan agama tersebut. “Mungkin sekalipun ada kejadian tukang pecel
lele yang kepalanya terputus akibat digigit vampire, mereka akan mengganggap kejadian itu
adalah azab, bukan karena ulah vampire.”
(Fitro Dizianto)
Segi
estetis dari sebuah film tidak tersingkirkan sekalipun sang sutradara focus
pada konsep satirnya yang dihadirkan di dalam film ini. Seorang kritikus
Perancis, Andre Brazin berpendapat bahwa kekuatan terbesar dalam sinema
terdapat pada kemampuan menghadirkan kembali realitas sebagaimana aslinya. Dan
konsep tersebut dihadirkan ke dalam film Vampire ini, dimulai dari tek-tok
dialog yang dilakukan oleh Kipli dan Kecap, semua terasa seperti percakapan
yang biasa dilakukan antara dua orang teman yang sudah akrab, dan seperti
percakapan yang sudah lazim didengar di kehidupan realita. Konsep long take pada adegan mereka makan pecel
lele menambah kekuatan film tersebut menuju sebuah realita, dengan menghadirkan
shot yang panjang bersamaan dengan
dialog antara Kipli dan Kecap.
Seperti yang
sedari awal sudah disinggung bahwa konsep film ini mengandung unsur komedi
bukanlah horror, akan lebih baik jika
unsur fisik dari hantu yang menjadi ketakutan dari Kipli itu tidak dihadirkan
di dalam film ini (adegan kuntilanak yang lewat saat mereka berada di kuburan),
karena akan merusak konsep cerita yang sedari awal sudah dibangun oleh dua
karakter itu. Jika dalam presentase, film ini sudah bisa dibilang film yang
mengandung unsur satir, namun akan lebih baik jika sindiran-sindiran yang
dihadirkan lebih mozaik tidak hanya terpaku pada satu hal yang dibahas
berulang-ulang, dan akan membuat film ini terbumbui dengan lengkap atas konsep
komedi satir yang dianutnya.
8
Oktober 2014
(2) Review Film Pendek Vampire
(Pemenang AFTA#2 nominasi Film
Terpadu 3)
Oleh: Ima Nurul Husni
Premis dari film ini yakni 2 orang yang
bersahabat sedang mencari makan di tengah malam, kemudian di tempat makan
mereka bercanda asal keluar mulut, pada akhirnya apa yang menjadi bercandaan
mereka menjadi kenyataan.
Secara konsep cerita, film ini
merupakan jenis komedi yang mengangkat sebuah mitos yang sudah mendarah daging
di masyarakat. Sebuah mitos jika malam jum'at banyak setan-setan yang akan
keluar bergentayangan dan mengganggu orang-orang. Namun, di jaman yang sudah
serba canggih dan lampu ada dimana-mana mitos tersebut yang seharusnya tidak
mempercayainya tapi justru masih menjadi momok di masyarakat.
Isu yang diangkat lagi yakni mengenai
program-program "latah" yang muncul setiap ramadhan, yang seakan
dipaksakan membuat program religi tetapi hanya dibalut dengan kopyah maupun
jilbab saja. Namun secara cerita sama saja seperti sinetron pada umumnya.
Melihat pengambilan shot-shotnya, film
ini lebih menggunakan shot-shot tertutup
yang berfungsi untuk menunjukkan kesan mistis dari cerita tersebut.
Ditunjang dengan penataan lampu dan pewarnaan video yang agak kebiru-biruan
menegaskan kedinginan dan kemistisan dari film Vampire ini.
Yang menjadi daya tarik cerita ini
adalah dari segi dialog antara tokoh Kipli dengan Kecap. Mereka menggunakan
bahasa jawa timuran yang khas, dialog sehari-hari yang digunakan dalam film ini
merepresentasikan yang terjadi di masyarakat ya seperti itu adanya, tanpa ada
yang diada-adakan.
Pesan yang disampaikan dari film ini
yakni tidak sembarangan ketika berbicara. Karena apa yang keluar dari mulut itu
bisa jadi do'a dan dikabulkan.
Vampire
| 2014 | 15:00 | Sutradara : Fitro Dizianto | Penulis Naskah : Deasy Fatmasari
No comments:
Post a Comment