Saturday 11 October 2014

Antologi Tulisan 'Projek Penulisan Ulasan Filem AFTA #2'


sumber visual: Panitia AFTA

Berikut ini adalah hasil tulisan-tulisan kawans Fakultas Seni Media Rekam dalam merespon penyelenggaraan AFTA #2. Tulisan-tulisan ini dituangkan ke dalam bentuk ulasan/resensi. Kawans tidak hanya mengulas filem-filem AFTA #2, tetapi juga memberikan komentar tentang penyelenggaraan acara itu sendiri. 

Dari hasil musyawarah kawans, tidak semua filem di AFTA #2 diulas. Kawans hanya mengulas filem pemenang kategori ‘Film Terpadu 1’, ‘Film Terpadu 2’, ‘Film Terpadu 3’, ‘Film Dokumenter Terbaik’ dan semua filem produksi televisi –-yang  di dalamnya terdapat juga tiga nominasi Film Produksi Televisi 2011 Terbaik.

Sebagai prolog sebelum masuk ke kumpulan tulisan ulasan filem, dibawah ini kami hadirkan dua tulisan yang menanggapi dan mengomentari AFTA #2 secara umum. Semoga bermanfaat dan selamat membaca :)



(1)                  AKU DAN AFTA #2, KAMU?
Oleh : Bagas Oktariyan Ananta

AFTA (anugerah film televisi dan animasi) adalah suatu program kerja HMJ televisi yang telah dibuat untuk mengapresiasi karya-karya ujian akhir semester mahasiswa jurusan televisi dan animasi fakultas seni media rekam, institut seni Indonesia yogyakarta. Program kerja ini digagas dan dilaksanakan pertama kali oleh pihak HMJ televisi masa jabatan 2012-2013. Program kerja AFTA menurut saya sangat baik karena mengapreasi karya-karya mahasiswa televisi dan animasi agar tidak berlalu begitu saja. Membuat dengan susah payah, penuh kerja keras, menguras waktu dan sudah semestinya untuk diapresiasi dengan media AFTA.

AFTA #2 mempunyai beberapa hal yang menarik menurut saya selaku pihak internal HMJ televisi, mulai dari metode pengkurasian karya, penyelenggaraan acara, dan hasil pengkurasian. Karya-karya yang dikurasi AFTA #2 adalah karya mahasiswa angkatan 2011, 2012 dan 2013. 
Metode pengkurasian kali ini menurut saya sangat baik karena menggunakan metode yang menarik karena karya-karya mahasiswa pertama-tama dikurasi oleh angkatan ‘atas’ yang memang kritis dalam menilai kreatifitas mahasiswa, lalu dilanjutkan pengkurasian oleh fourcolour dan kasatmata yang sudah dikenal dalam perfilman dan animasi di Yogyakarta. 

Pihak HMJ televisi tidak mengandalkan penilaian dari dosen maupun pihak internal HMJ televisi, mengingat penilaian dari dosen adalah hal yang sangat akademis dan mengacu pada kurikulum yang sudah ditentukan. Hal ini menunjukan bahwa AFTA #2 sudah memiliki standarisasi yang tidak hanya mengandalkan nilai-nilai akademis dari pihak dosen, serta menunjukan sikap kritis tetang kreatifitas mahasiswa. Dan sangat baik ketika pihak internal HMJ televisi tidak mengkurasi karya-karya mahasiswa karena tidak berkemungkinan terjadi manipulasi nilai-nilai dalam proses pengkurasian, mengingat pihak internal HMJ televisi mayoritas ikut serta dalam pembuatan karya-karya tersebut. Metode pengkurasian seperti ini adalah solusi dari evaluasi AFTA sebelumnya yang menggunakan metode pengkurasian dari pihak internal HMJ televisi.

Berbicara tentang kreatifitas, Ada hal yang mengganjal di fikiran saya ketika sekelompok mahasiswa membuat karya ujian akhir semester. Mereka mendapatkan poin-poin pencapaian atas mata kuliah yang diberikan oleh masing-masing dosen dan itu harus dipenuhi, tetapi banyak mahasiswa yang hanya membuat karya asal jadi, yang penting poin-poin tugas tersebut terpenuhi, ya sudah. Hal ini menjadi masalah besar dimana jika hanya asal jadi seperti itu mahasiswa bahkan kampus sendiri pun akan mengalami krisis kreatifitas, mengingat bahwa kampus adalah “laboratorium” bagi mahasiswa untuk bereksperimen dengan sedalam-dalamnya, membuat kreatifitas sebanyak mungkin, dan menggali potensi diri. Sebagai calon sarjana seni, mahasiswa seharusnya bisa lebih menggali kreatifitas pada masa pembelajarannya karena diproses inilah mereka bisa menemukan potensi diri yang sesungguhnya itu seperti apa.

AFTA seharusnya bisa mengambil andil sebagai pemicu kreatifitas mahasiswa dengan metode pengkurasian seperti itu yang merupakan pencapaian yang baik menurut saya. AFTA mulai menunjukan bahwa acara ini mempunyai posisi penting terhadap kreatifitas mahasiswa.

Dari segi penyelanggaraan acara, sebenarnya sangat menarik ketika AFTA #2 diadakan di “rumah” kita sendiri yaitu di pelataran selatan kampus yang memang seharusnya menjadi tempat berkreasi dan berkreatifitas. Mahasiswa fakultas seni media rekam cukup antusias dengan acara AFTA #2 kali ini karena terlihat cukup banyak mahasiswa yang datang dengan mengenakan pakaian “vintage” sesuai dengan tema pakaian yang ditentukan oleh AFTA #2.

Seperti kata pepatah ‘karena nila setitik, rusak susu sebelanga’. Terjadi  satu kesalahan yang sangat fatal, disaat pembacaan pemenang “karya produksi televisi terbaik”  yang nominasinya adalah Not for Sale, Pagi, dan Sri tapi ternyata pemenang kategori tersebut bukan dari salah satu film yang saya sebutkan tadi. Saya bingung, semua orang bingung, kenapa bisa film ‘Dilarang Berjualan Disini’ yang menjadi pemenangnya? Apakah ada komunikasi yang tidak terjalin baik pada pihak pengkaryaan dan pengkurasi terakhir? Dan kenapa yang dimasukkan adalah kertas bertuliskan ‘Dilarang berjualan Disini’?. Dan setelah saya telusuri permasalahan ini, kurangnya komunikasi antara pengurus dan pihak pengkurasi akhir yang menjadi penyebab terjadinya kesalahan tersebut. mungkin hal ini yang harus menjadi pembelajaran untuk diperbaiki pada AFTA #3, harus bisa menjalin komunikasi yang baik antar para kepengurusan.

Namun, tidak dalam hal menjalin komunikasi saja yang harus diperbaiki di dalam kepengurusan, HMJ televisi kali ini pun menurut saya sangat kurang akan rasa ‘memiliki’. Padahal seharusnya sebuah himpunan harus mempunyai fondasi kokoh yaitu rasa ‘memiliki’.

Hal tersebut terlihat saat pembentukan program kerja HMJ televisi, pada awalnya telah disepakati bersama bahwa setiap program kerja  HMJ televisi telah dibagi para penanggung jawabnya, seperti program kerja festival film dan eksebisi film dan AFTA #2. Sejak awal pembagian penanggung jawab program kerja tersebut, kepengurusan sudah terlihat mengkotak-kotakan sistem kerja mereka. Alasan membuat sistem kerja seperti itu adalah agar penanggung jawab bisa lebih fokus dalam menjalankan program kerja yang harus dilaksanakan, tetapi “dimanakah letak kebersamaan sebuah himpunan terkoordinir yang sebenarnya harus dikelola secara bersama?”. Mungkin pada akhirnya sebuah program kerja juga akan ditunjuk siapa yang akan menjadi penanggung jawabnya, tetapi butuh proses yang benar-benar matang untuk menggagas siapa saja yang akan mempertanggung jawabkan program kerja tersebut.

Bisa kita lihat kekurangan sistem seperti itu pada saat program kerja festival dan eksebisi film yang dinamakan PMS (Parangtritis Movie Syndrome) tidak dapat diselenggarakan, program kerja ini sudah digagas sejak awal pembentukan kepengurusan HMJ televisi.

Lalu muncul sebuah pertanyaan di otak saya “kenapa program kerja yang sudah digagas matang-matang sejak awal tidak terlaksana? Apakah mental pihak penanggung jawab yang tidak siap? Apakah kesibukan yang membuat mental mereka tidak siap? Apa sebenarnya penggagasannya yang tidak matang?”. Kalau difikir-fikir, sebuah program kerja yang digagas matang sangat bisa dipertahankan dengan cara apapun, mengingat program kerja adalah sebuah tolak ukur untuk menilai pencapaian sistem kerja.

Lalu dari segi esensi, HMJ televisi sebagai sebuah himpunan mahasiswa yang seharusnya merangkul, mengayomi, dan menjadi panutan mahasiswa lainya pun belum berjalan dengan baik. Kita ambil contoh dari proses pengumpulan karya untuk dikurasi pada AFTA #2 kemarin, tidak semua karya diserahkan oleh mahasiswa padahal sudah dilakukan publikasi. “apakah publikasi tentang penyerahan karya yang kurang atau mahasiswa yang tidak antusias untuk mengumpulkan karyanya?”. Dengan esensi HMJ televisi yang seharusnya bisa merangkul mahasiswa, hal itu belum sepenuhnya diwujudkan dengan baik dan seharusnya pihak publikasi bisa melakukan publikasinya lewat perwakilan kelas-kelas atau masuk ke dalam kelas-kelas. Memang publikasi melalui media sosial sudah dilakukan, tetapi tidak semua mahasiswa harus selalu melihat media sosialnya. Sebaiknya pihak publikasi bisa melakukannya dengan tulis dan lisan, dengan begitu bisa memaksimalkan proses pengumpulan karya dengan baik.

Dengan semua hal yang saya jelaskan, sudahkah HMJ televisi masa jabatan 2013-2014 berhasil?

Salam hangat pergerakan...
 

(2)      Di Salah Satu Sudut Kantin Aku Mengamatimu
Oleh: Muhamadef
 

Penyelenggaraan AFTA 2 akhirnya terlaksana. Yah, walaupun masih banyak lubang yang harus ditambal serta dihaluskan kembali. AFTA 2 diselenggarakan dengan konsep yang sangat berbeda dari sebelumnya. Dua aspek yang paling kontras membedakan adalah tempat penyelenggaraan dan proses penjurian.

Jika sebelumnya bertempat di luar kampus media rekam, kini diadakan di dalam lingkungan kampus, tepatnya di sisi utara pelataran halaman parkir media rekam. Secara sadar atau tidak, pemilihan tempat di dalam lingkungan kampus sangat berpengaruh bagi teman-teman mahasiswa.

Kampus sebagai laboratorium, memang sebaiknya digunakan sebagai titik kumpul untuk bermain dan berkarya. Sebagai ruang percakapan dan pertemuan berbagai kutub ideologi. Sehingga menghadirkan situasi dan kondisi dimana proses pematangan ide dan gagasan terjadi. Tetapi apakah suasana ideal ini terjadi di kampus kita? Pertanyaan ini setidaknya telah dijawab oleh AFTA. Di titik ini AFTA menemukan momentumnya, ia hadir sebagai pemantik. Pemicu untuk bergerak lebih jauh lagi. Bergerak menuju kondisi ideal itu. Peran ini seharusnya dapat merangsang pertumbuhan bibit-bibit aktivisme dalam hal apapun di kampus kita.

Berbicara tentang penjurian, proses penjurian AFTA 1 yang dulu sifatnya terbuka, di penyelenggaraan kali ini hal itu tidak terjadi. Panitia menciptakan proses penjurian yang bersifat tertutup dan profesional. Saat pertama kali mendengar informasi mengenai proses penjurian tersebut, ku sangat gembira sekali karena penjurian tidak lagi dilakukan oleh pihak panitia dan juga oleh para dosen. Bayangkanlah, bagaimana jadinya jika penjurian dilakukan oleh mereka, apalagi jika dilakukan oleh para dosen, ya sama saja seperti memajang nilai-nilai akademik mata kuliah di dinding pengumuman kampus, ya tho!?

Metode penjurian AFTA kali ini dilaksanakan dengan dua tahapan. Tahapan pertama diseleksi oleh para mahasiswa senior dan para alumni yang telah dipilih oleh panitia atas dasar kemampuan dan keahlian masing-masing. Lalu setelah selesai, keluarlah kumpulan nominasi dari berbagai kriteria. Setelah itu dilanjutkan tahapan kedua sekaligus terakhir dilakukan, yaitu, kumpulan nominasi diserahkan kepada pihak Fourcolor untuk menentukan para pemenang. Agar menguatkan sikap dan posisinya serta menjaga transparansi proses penjurian, panitia menayangkan karya-karya yang masuk nominasi – yang pada AFTA 1 tidak dilakukan. Bagi kalangan mahasiswa, tahapan penjurian tersebut telah menjawab keraguan dan kekhawatiran terhadap acara ini yang dianggap hanya merupakan pesta bagi kaum sebagian orang.

Dari proses penjurian diatas dapat dibaca bahwa panitia tahun ini telah sadar perlunya independensi dalam suatu perhelatan penganugerahan –walaupun lingkup acara hanya di lingkungan kampus. Bisa diartikan bahwa AFTA telah berdiri dengan jelas dan tegas terhadap dunia kurikulum kampus. Bukan rahasia lagi jika dunia akademik di kampus ini banyak sekali persoalan. Mulai dari dosen yang merangkap banyak mata kuliah, fasilitas-fasilitas kemahasiswaan yang tak kunjung dibangun (kampus lebih mementingkan penggantian ubin daripada bangun kantin), hingga tidak jelasnya produk mahasiswa seperti apa yang ingin dihasilkan oleh kurikulum kampus kita. Dalam kaitannya dengan semua hal diatas, AFTA telah menjelma sebagai ruang pembebas suasana perkuliahan yang monoton dan kacau sangadh.

Kembali lagi ke aspek proses penjurian, walaupun terdapat kesalahan parah penilaian pada kategori Karya Produksi Televisi Terbaik –yang pada saat pembacaan penghargaan malah film yang tidak masuk nominasi muncul menjadi pemenang, rancangan tahapan penjurian kali ini dapat diakui sebagai pencapaian terbesar panitia. Disain penjurian ini sebaiknya dijadikan pedoman untuk penyelenggaran AFTA di tahun-tahun mendatang.

Tetapi dengan catatan garis merah tebal, insan-insan yang mengurusi proses penjurian benar-benar berkompeten, bersih, dan jujur. Segala sifat di depan merupakan syarat mutlak yang harus melekat untuk panita yang bertugas di bagian tersebut. Mengingat aspek itu merupakan kunci utama sebuah penyelenggaraan dapat dikatakan sahih-berkualitas atau malah sebaliknya.

Sayangnya, di sisi lain panitia luput untuk merancang kemasan acara. Konsep pengemasan acara tidak lebih hanya merupakan perpanjangan tangan konsep yang kaku dan formal –dan kedua hal tersebut, yang kita ketahui semua, merupakan corak pikiran orang-orang tua yang usang.

Terlihat sekali pengemasan acara cenderung ikut-ikutan alias berkiblat ke bentuk yang itu-itu saja. Kita bisa melihat bersama format pembacaan penganugerahan. Dua MC utama sebagai penggiring acara lalu dilanjutkan dengan pemanggilan dua pembaca kategori. Setelah memanggil dua pembaca tadi, MC utama menghilang dan muncullah dua pembaca kategori dari hulu karpet merah. Dua pembaca kategori itu lalu berjalan diatas karpet merah sambil bergandengan tangan menampakkan kesan mesranya. (ada satu nominasi yang dibawakan oleh dua laki-laki yang menurutku itu tambah tidak masuk akal) setelah itu di belakang mimbar dilanjutkan proses pembacaan nominasi hingga pembacaan pemenang. Nah, bentuk-bentuk seperti ini sering banyak dijumpai oleh kita bila jeli mencermati berbagai macam acara penganugerahan di negeri ini.

Di bagian dekorasi juga sangat terasa kesan yang sama, ini acara bersenang-senang mahasiswa atau acara resepsi pernikahan sih? Pertanyaan ini seketika datang saat melihat pertama kali setting tempat. Kita dapat mencermati dari pemilihan properti meja bundar, jalan utama karpet merah, serta properti diatas panggung yang uhhhh.... sangat tidak luwes dan jauh dari sifat liar anak muda. Bercermin dari kita yang hidup di lingkungan S-E-N-I, mestinya kemasan acara dapat lebih menarik, unik, dan berbeda (sesuai kodrat kita sebagai mahasiswa seni). Sepertinya, ku harus mengajukan pertanyaan ini kembali: apakah panitia tidak ingat bahwa mereka hidup di kampus seni, yang notabene mempunyai ide serta daya kreatifitas tinggi?

Dari segala bentuk artistik yang terlihat, muncul suatu bentuk akulturasi budaya yang menurutku unik dan lucu. Konsep kostum vintage berpadu-berbaur dengan segala properti-properti yang sangat dekat dengan keseharian kita, sangat terlihat lucu ketika sebagian besar mahasiswa yang menggunakan vintage khas barat duduk bercengkrama di kursi yang telah ditata sedemikian rupa maupun duduk lesehan khas orang jawa. Disitu terlihat jelas kesan canggung antara dua kutub kebudayaan. Seperti tidak mau atau mau tapi malu-malu. Hmm, sah-sah aja sih, lha wong itu hak azasi...

Dilihat dari sejarahnya, AFTA lahir sebagai respon agar tugas-tugas kampus tidak terbengkalai. Walaupun pada mulanya hanya bertujuan untuk itu, tetapi karakter dan ciri khas harus mulai digagas dan dipatenkan. Upaya ini sangat perlu dilakukan, agar ke depan para mahasiswa dapat mengerjakan karyanya secara hati-hati, teliti, dan tidak asal. Lalu dengan adanya sebuah standar tertentu diharapkan dapat muncul karya-karya yang tidak hanya baik dalam segi teknik tetapi juga lahir berbagai ragam-corak ide cerita yang dapat merangsang sebuah diskusi. Dengan demikian, terjadi sebuah suasana yang hidup dan menciptakan alur persebaran ilmu pengetahuan yang saling menunjang dan menopang diantara para mahasiswa.

Dilihat dari keseluruhan acara, ku sangat berharap agar AFTA dapat terus eksis. Ikut ambil bagian dalam menciptakan suasana kampus yang ramai oleh aktifitas berkarya maupun diskusi berkelanjutan. Serta merangsang pertumbuhan ide-ide pembaruan untuk menghidupi k-e-s-e-n-i-a-n di lingkungan kita. Terakhir dan yang paling penting adalah, AFTA harus menjadi ruang perayaan kebebasan berekspresi bagi mahasiswa media rekam.

Sekian. 
Salam kecup dari hangatnya tempe mendoan kantin...

No comments:

Post a Comment