sumber visual: Panitia AFTA |
Berikut ini adalah hasil tulisan-tulisan kawans Fakultas Seni Media Rekam dalam merespon penyelenggaraan AFTA #2. Tulisan-tulisan ini dituangkan ke dalam bentuk ulasan/resensi. Kawans tidak hanya mengulas filem-filem AFTA #2, tetapi juga memberikan komentar tentang penyelenggaraan acara itu sendiri.
Dari
hasil musyawarah kawans, tidak semua filem di AFTA #2 diulas. Kawans hanya
mengulas filem pemenang kategori ‘Film Terpadu 1’, ‘Film Terpadu 2’, ‘Film
Terpadu 3’, ‘Film Dokumenter Terbaik’ dan semua filem produksi televisi –-yang di dalamnya terdapat juga tiga nominasi Film
Produksi Televisi 2011 Terbaik.
Sebagai
prolog sebelum masuk ke kumpulan tulisan ulasan filem, dibawah ini kami
hadirkan dua tulisan yang menanggapi dan mengomentari AFTA #2
secara umum. Semoga
bermanfaat dan selamat membaca :)
(1) AKU DAN AFTA #2, KAMU?
Oleh : Bagas Oktariyan Ananta
AFTA (anugerah film televisi dan animasi) adalah suatu program
kerja HMJ televisi yang telah dibuat untuk mengapresiasi karya-karya ujian
akhir semester mahasiswa jurusan televisi dan animasi fakultas seni media
rekam, institut seni Indonesia yogyakarta. Program kerja ini digagas dan
dilaksanakan pertama kali oleh pihak HMJ televisi masa jabatan 2012-2013. Program
kerja AFTA menurut saya sangat baik karena mengapreasi karya-karya mahasiswa televisi
dan animasi agar tidak berlalu begitu saja. Membuat dengan susah payah, penuh
kerja keras, menguras waktu dan sudah semestinya untuk diapresiasi dengan media
AFTA.
AFTA #2 mempunyai beberapa hal yang menarik menurut saya
selaku pihak internal HMJ televisi, mulai dari metode pengkurasian karya,
penyelenggaraan acara, dan hasil pengkurasian. Karya-karya yang dikurasi AFTA
#2 adalah karya mahasiswa angkatan 2011, 2012 dan 2013.
Metode pengkurasian kali ini menurut saya sangat baik karena menggunakan
metode yang menarik karena karya-karya mahasiswa pertama-tama dikurasi oleh
angkatan ‘atas’ yang memang kritis dalam menilai kreatifitas mahasiswa, lalu
dilanjutkan pengkurasian oleh fourcolour dan kasatmata yang sudah dikenal dalam
perfilman dan animasi di Yogyakarta.
Pihak HMJ televisi tidak mengandalkan penilaian dari dosen
maupun pihak internal HMJ televisi, mengingat penilaian dari dosen adalah hal
yang sangat akademis dan mengacu pada kurikulum yang sudah ditentukan. Hal ini
menunjukan bahwa AFTA #2 sudah memiliki standarisasi yang tidak hanya
mengandalkan nilai-nilai akademis dari pihak dosen, serta menunjukan sikap
kritis tetang kreatifitas mahasiswa. Dan sangat baik ketika pihak internal HMJ
televisi tidak mengkurasi karya-karya mahasiswa karena tidak berkemungkinan
terjadi manipulasi nilai-nilai dalam proses pengkurasian,
mengingat pihak internal HMJ televisi mayoritas ikut serta dalam pembuatan
karya-karya tersebut. Metode pengkurasian seperti ini adalah solusi dari evaluasi
AFTA sebelumnya yang menggunakan metode pengkurasian dari pihak internal HMJ
televisi.
Berbicara tentang kreatifitas, Ada hal yang mengganjal di fikiran saya ketika
sekelompok mahasiswa membuat karya ujian akhir semester. Mereka mendapatkan
poin-poin pencapaian atas mata kuliah yang diberikan oleh masing-masing dosen
dan itu harus dipenuhi, tetapi banyak mahasiswa yang hanya membuat karya asal
jadi, yang penting poin-poin tugas tersebut terpenuhi, ya sudah. Hal ini menjadi masalah
besar dimana jika hanya asal jadi seperti itu mahasiswa bahkan kampus sendiri
pun akan mengalami krisis kreatifitas, mengingat bahwa kampus adalah
“laboratorium” bagi mahasiswa untuk bereksperimen dengan sedalam-dalamnya,
membuat kreatifitas sebanyak mungkin, dan menggali potensi diri. Sebagai calon
sarjana seni, mahasiswa seharusnya bisa lebih menggali kreatifitas pada masa
pembelajarannya karena diproses inilah mereka bisa menemukan potensi diri yang
sesungguhnya itu seperti apa.
AFTA seharusnya bisa mengambil andil sebagai pemicu
kreatifitas mahasiswa dengan metode pengkurasian seperti itu yang merupakan
pencapaian yang baik menurut saya. AFTA mulai menunjukan bahwa acara ini
mempunyai posisi penting terhadap kreatifitas mahasiswa.
Dari segi penyelanggaraan acara, sebenarnya sangat menarik
ketika AFTA #2 diadakan di “rumah” kita sendiri yaitu di pelataran selatan
kampus yang memang seharusnya menjadi tempat berkreasi dan berkreatifitas. Mahasiswa fakultas seni media
rekam cukup antusias dengan acara AFTA #2 kali ini karena terlihat cukup banyak
mahasiswa yang datang dengan mengenakan pakaian “vintage” sesuai dengan tema
pakaian yang ditentukan oleh AFTA #2.
Seperti kata pepatah ‘karena nila setitik, rusak susu sebelanga’.
Terjadi satu kesalahan yang sangat
fatal, disaat pembacaan pemenang “karya produksi televisi terbaik” yang nominasinya adalah Not for Sale, Pagi, dan Sri tapi ternyata pemenang kategori
tersebut bukan dari salah satu film yang saya sebutkan tadi. Saya bingung, semua
orang bingung, kenapa bisa film ‘Dilarang Berjualan Disini’ yang menjadi pemenangnya? Apakah ada komunikasi yang
tidak terjalin baik pada pihak pengkaryaan dan pengkurasi terakhir? Dan kenapa
yang dimasukkan adalah kertas bertuliskan ‘Dilarang berjualan Disini’?. Dan setelah
saya telusuri permasalahan ini, kurangnya komunikasi antara pengurus dan pihak
pengkurasi akhir yang menjadi penyebab terjadinya kesalahan tersebut. mungkin
hal ini yang harus menjadi pembelajaran untuk diperbaiki pada AFTA #3, harus
bisa menjalin komunikasi yang baik antar para kepengurusan.
Namun, tidak dalam hal menjalin
komunikasi saja yang harus diperbaiki di dalam kepengurusan, HMJ televisi kali
ini pun menurut saya sangat kurang akan rasa ‘memiliki’. Padahal seharusnya
sebuah himpunan harus mempunyai fondasi kokoh yaitu rasa ‘memiliki’.
Hal tersebut terlihat saat pembentukan
program kerja HMJ televisi, pada awalnya telah disepakati bersama bahwa setiap
program kerja HMJ televisi telah dibagi
para penanggung jawabnya, seperti program kerja festival film dan eksebisi film
dan AFTA #2. Sejak awal pembagian penanggung jawab program kerja tersebut,
kepengurusan sudah terlihat mengkotak-kotakan sistem kerja mereka. Alasan
membuat sistem kerja seperti itu adalah agar penanggung jawab bisa lebih fokus
dalam menjalankan program kerja yang harus dilaksanakan, tetapi “dimanakah letak
kebersamaan sebuah himpunan terkoordinir yang sebenarnya harus dikelola secara
bersama?”. Mungkin pada akhirnya sebuah program kerja juga akan ditunjuk siapa
yang akan menjadi penanggung jawabnya, tetapi butuh proses yang benar-benar
matang untuk menggagas siapa saja yang akan mempertanggung jawabkan program
kerja tersebut.
Bisa kita lihat kekurangan sistem seperti
itu pada saat program kerja festival dan eksebisi film yang dinamakan PMS
(Parangtritis Movie Syndrome) tidak dapat diselenggarakan, program kerja ini
sudah digagas sejak awal pembentukan kepengurusan HMJ televisi.
Lalu muncul sebuah pertanyaan di otak
saya “kenapa program kerja yang sudah digagas matang-matang sejak awal tidak
terlaksana? Apakah mental pihak penanggung jawab yang tidak siap? Apakah
kesibukan yang membuat mental mereka tidak siap? Apa sebenarnya penggagasannya
yang tidak matang?”. Kalau difikir-fikir, sebuah program kerja yang digagas
matang sangat bisa dipertahankan dengan cara apapun, mengingat program kerja
adalah sebuah tolak ukur untuk menilai pencapaian sistem kerja.
Lalu dari segi esensi, HMJ televisi
sebagai sebuah himpunan mahasiswa yang seharusnya merangkul, mengayomi, dan
menjadi panutan mahasiswa lainya pun belum berjalan dengan baik. Kita ambil
contoh dari proses pengumpulan karya untuk dikurasi pada AFTA #2 kemarin, tidak
semua karya diserahkan oleh mahasiswa padahal sudah dilakukan publikasi.
“apakah publikasi tentang penyerahan karya yang kurang atau mahasiswa yang tidak
antusias untuk mengumpulkan karyanya?”. Dengan esensi HMJ televisi yang
seharusnya bisa merangkul mahasiswa, hal itu belum sepenuhnya diwujudkan dengan
baik dan seharusnya pihak publikasi bisa melakukan publikasinya lewat
perwakilan kelas-kelas atau masuk ke dalam kelas-kelas. Memang publikasi
melalui media sosial sudah dilakukan, tetapi tidak semua mahasiswa harus selalu
melihat media sosialnya. Sebaiknya pihak publikasi bisa melakukannya dengan
tulis dan lisan, dengan begitu bisa memaksimalkan proses pengumpulan karya
dengan baik.
Dengan semua hal yang saya jelaskan,
sudahkah HMJ televisi masa jabatan 2013-2014 berhasil?
(2) Di Salah Satu Sudut
Kantin Aku Mengamatimu
Oleh:
Muhamadef
Penyelenggaraan AFTA 2 akhirnya terlaksana.
Yah, walaupun masih banyak lubang yang harus ditambal serta dihaluskan kembali.
AFTA 2 diselenggarakan dengan konsep yang sangat berbeda dari sebelumnya. Dua
aspek yang paling kontras membedakan adalah tempat penyelenggaraan dan proses
penjurian.
Jika sebelumnya bertempat di luar
kampus media rekam, kini diadakan di dalam lingkungan kampus, tepatnya di sisi
utara pelataran halaman parkir media rekam. Secara sadar atau tidak, pemilihan
tempat di dalam lingkungan kampus sangat berpengaruh bagi teman-teman
mahasiswa.
Kampus sebagai laboratorium, memang
sebaiknya digunakan sebagai titik kumpul untuk bermain dan berkarya. Sebagai ruang
percakapan dan pertemuan berbagai kutub ideologi. Sehingga menghadirkan situasi
dan kondisi dimana proses pematangan ide dan gagasan terjadi. Tetapi apakah
suasana ideal ini terjadi di kampus kita? Pertanyaan ini setidaknya telah dijawab oleh AFTA. Di titik ini AFTA menemukan momentumnya, ia hadir sebagai pemantik. Pemicu untuk bergerak lebih jauh lagi. Bergerak menuju kondisi ideal itu. Peran ini seharusnya dapat merangsang pertumbuhan bibit-bibit aktivisme dalam hal apapun di kampus kita.
Berbicara tentang penjurian, proses penjurian AFTA 1 yang dulu sifatnya
terbuka, di penyelenggaraan kali ini hal itu tidak terjadi. Panitia menciptakan
proses penjurian yang bersifat tertutup dan profesional. Saat pertama kali
mendengar informasi mengenai proses penjurian tersebut, ku sangat gembira
sekali karena penjurian tidak lagi dilakukan oleh pihak panitia dan juga oleh para dosen. Bayangkanlah, bagaimana jadinya jika penjurian dilakukan oleh mereka, apalagi jika dilakukan oleh para dosen, ya
sama saja seperti memajang nilai-nilai akademik mata kuliah di dinding pengumuman
kampus, ya tho!?
Metode penjurian AFTA kali ini dilaksanakan
dengan dua tahapan. Tahapan pertama diseleksi oleh para mahasiswa senior dan para
alumni yang telah dipilih oleh panitia atas dasar kemampuan dan keahlian
masing-masing. Lalu setelah selesai, keluarlah kumpulan nominasi dari berbagai
kriteria. Setelah itu dilanjutkan tahapan kedua sekaligus terakhir dilakukan,
yaitu, kumpulan nominasi diserahkan kepada pihak Fourcolor untuk menentukan
para pemenang. Agar menguatkan sikap dan posisinya serta menjaga transparansi
proses penjurian, panitia menayangkan karya-karya yang masuk nominasi – yang
pada AFTA 1 tidak dilakukan. Bagi kalangan mahasiswa, tahapan penjurian
tersebut telah menjawab keraguan dan kekhawatiran terhadap acara ini yang
dianggap hanya merupakan pesta bagi kaum sebagian orang.
Dari proses penjurian diatas dapat
dibaca bahwa panitia tahun ini telah sadar perlunya independensi dalam suatu
perhelatan penganugerahan –walaupun lingkup acara hanya di lingkungan kampus. Bisa diartikan bahwa AFTA telah berdiri dengan jelas dan tegas terhadap
dunia kurikulum kampus. Bukan rahasia lagi jika dunia akademik di kampus ini
banyak sekali persoalan. Mulai dari dosen yang merangkap banyak mata kuliah,
fasilitas-fasilitas kemahasiswaan yang tak kunjung dibangun (kampus lebih
mementingkan penggantian ubin daripada bangun kantin), hingga tidak jelasnya
produk mahasiswa seperti apa yang ingin dihasilkan oleh kurikulum kampus kita. Dalam
kaitannya dengan semua hal diatas, AFTA telah menjelma sebagai ruang pembebas
suasana perkuliahan yang monoton dan kacau sangadh.
Kembali lagi ke aspek proses penjurian,
walaupun terdapat kesalahan parah penilaian pada kategori Karya Produksi
Televisi Terbaik –yang pada saat pembacaan penghargaan malah film yang tidak
masuk nominasi muncul menjadi pemenang, rancangan tahapan penjurian kali ini
dapat diakui sebagai pencapaian terbesar panitia. Disain penjurian ini sebaiknya
dijadikan pedoman untuk penyelenggaran AFTA di tahun-tahun mendatang.
Tetapi dengan catatan garis merah
tebal, insan-insan yang mengurusi proses penjurian benar-benar berkompeten,
bersih, dan jujur. Segala sifat di depan merupakan syarat mutlak yang harus
melekat untuk panita yang bertugas di bagian tersebut. Mengingat aspek itu
merupakan kunci utama sebuah penyelenggaraan dapat dikatakan sahih-berkualitas atau malah
sebaliknya.
Sayangnya, di sisi lain panitia luput untuk
merancang kemasan acara. Konsep pengemasan acara tidak lebih hanya merupakan
perpanjangan tangan konsep yang kaku dan formal –dan kedua hal tersebut, yang
kita ketahui semua, merupakan corak pikiran orang-orang tua yang usang.
Terlihat sekali pengemasan acara cenderung
ikut-ikutan alias berkiblat ke bentuk yang itu-itu saja. Kita bisa melihat
bersama format pembacaan penganugerahan. Dua MC utama sebagai penggiring acara
lalu dilanjutkan dengan pemanggilan dua pembaca kategori. Setelah memanggil dua
pembaca tadi, MC utama menghilang dan muncullah dua pembaca kategori dari hulu
karpet merah. Dua pembaca kategori itu lalu berjalan diatas karpet merah sambil
bergandengan tangan menampakkan kesan mesranya. (ada satu nominasi yang
dibawakan oleh dua laki-laki yang menurutku itu tambah tidak masuk akal) setelah
itu di belakang mimbar dilanjutkan proses pembacaan nominasi hingga pembacaan pemenang.
Nah, bentuk-bentuk seperti ini sering banyak dijumpai oleh kita bila jeli mencermati
berbagai macam acara penganugerahan di negeri ini.
Di bagian dekorasi juga sangat terasa
kesan yang sama, ini acara bersenang-senang mahasiswa atau acara resepsi
pernikahan sih? Pertanyaan ini seketika datang saat melihat pertama kali setting tempat. Kita dapat mencermati dari
pemilihan properti meja bundar, jalan utama karpet merah, serta properti diatas
panggung yang uhhhh.... sangat tidak luwes dan jauh dari sifat liar anak muda.
Bercermin dari kita yang hidup di lingkungan S-E-N-I, mestinya kemasan acara
dapat lebih menarik, unik, dan berbeda (sesuai kodrat kita sebagai mahasiswa
seni). Sepertinya, ku harus mengajukan pertanyaan ini kembali: apakah
panitia tidak ingat bahwa mereka hidup di kampus seni, yang notabene mempunyai
ide serta daya kreatifitas tinggi?
Dari segala bentuk artistik yang
terlihat, muncul suatu bentuk akulturasi budaya yang menurutku unik dan lucu.
Konsep kostum vintage berpadu-berbaur
dengan segala properti-properti yang sangat dekat dengan keseharian kita,
sangat terlihat lucu ketika sebagian besar mahasiswa yang menggunakan vintage khas barat duduk bercengkrama di
kursi yang telah ditata sedemikian rupa maupun duduk lesehan khas orang jawa. Disitu
terlihat jelas kesan canggung antara dua kutub kebudayaan. Seperti tidak mau
atau mau tapi malu-malu. Hmm, sah-sah aja sih, lha wong itu hak azasi...
Dilihat dari sejarahnya, AFTA lahir sebagai
respon agar tugas-tugas kampus tidak terbengkalai. Walaupun pada mulanya hanya
bertujuan untuk itu, tetapi karakter dan ciri khas harus mulai digagas dan dipatenkan.
Upaya ini sangat perlu dilakukan, agar ke depan para mahasiswa dapat
mengerjakan karyanya secara hati-hati, teliti, dan tidak asal. Lalu dengan
adanya sebuah standar tertentu diharapkan dapat muncul karya-karya yang tidak
hanya baik dalam segi teknik tetapi juga lahir berbagai ragam-corak ide cerita
yang dapat merangsang sebuah diskusi. Dengan demikian, terjadi sebuah suasana
yang hidup dan menciptakan alur persebaran ilmu pengetahuan yang saling
menunjang dan menopang diantara para mahasiswa.
Dilihat dari keseluruhan acara, ku
sangat berharap agar AFTA dapat terus eksis. Ikut ambil bagian dalam
menciptakan suasana kampus yang ramai oleh aktifitas
berkarya maupun diskusi berkelanjutan. Serta merangsang pertumbuhan
ide-ide pembaruan untuk menghidupi k-e-s-e-n-i-a-n di lingkungan kita. Terakhir
dan yang paling penting adalah, AFTA harus menjadi ruang perayaan kebebasan berekspresi
bagi mahasiswa media rekam.
Sekian.
Salam kecup dari hangatnya tempe mendoan kantin...
Salam kecup dari hangatnya tempe mendoan kantin...
No comments:
Post a Comment