(1) Resensi Film "Limpapeh Rumah Nan Gadang"
Oleh: Gatari Surya Kusama
Limpapeh Rumah nan Gadang adalah salah
satu film dari banyaknya film bertema kedaerahan yang mengangkat tentang
kearifan lokal. Film ini menceritakan tentang adat dan tradisi dari masyarakat
minang yaitu merantau. Saat saya memutuskan untuk menonton film ini sebelum
memulai untuk menulis resensi tentang film ini, saya mengalami kebosanan dan
sedikit pesimis bahwa film ini akan membawa saya kepada alur yang baru dari
film-film merantau yang pernah ada.
Seperti yang kita ketahui, film tentang
tradisi merantau dari masyarakat minang ini sangat banyak diciptakan dan
dipublikasikan dari film indie
sampai film layar lebar. Ditambah lagi dengan penokohannya yang kurang
maksimal. Saya menggunakan istilah maksimal disini karena saya yakin ketika
penokohan itu dilakukan secara tepat karakter yang keluar dari tokoh yang
memerankan tersebut
akan sangat kuat.
Saya tidak akan melihat latar belakang
pembuatan film ini sebagai salah satu pemenuhan tugas belaka, saya melihatnya
ini adalah film yang merupakan nominasi AFTA (salah satu acara penganugerahan di FMSR ISI Yogyakarta)
dan layak mendapatkan banyak apresiasi dari berbagai pihak dan sudut pandang
termasuk saya yang bukan merupakan sineas tapi penikmat film.
Cerita dari film ini dimulai dengan
mengenalkan tokoh utama yaitu seorang ibu dan anak perempuan asli minang yang
sangat menjunjung adat. Pembuat film memulai perkenalannya dengan menunjukkan
kostum yang dipakai si ibu yaitu pakaian khas masyarakat minang dan bahasa yang
digunakan. Lalu dilanjutkan dengan beberapa pesan yang dilontarkan si ibu
kepada anak perempuan satu-satunya yang berulang kali mengucap untuk bertingkah
sesuai adat dan tradisi yang telah dijunjung tinggi oleh masyarakat minang.
Setelah melakukan pengenalan tokoh dan memberi karakter
kepada tokoh tersebut konflikpun dimulai. Ketika anak perempuan tersebut
mendapat surat yang berisikan informasi beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya
ke negeri jiran ia
harus dihadapkan dengan ibunya yang tidak memberi ijin ia untuk pergi merantau
dengan alasan bahwa ia adalah anak perempuan satu-satunya dan ibunya tinggal
sebatang kara di tanah minang.
Dari konflik ini saya hampir bisa
menebak bahwa cerita yang akan disajikan adalah tetap seputar merantau dan penutupannya
hanya sebuah jawaban ia tetap merantau dan sukses di tanah orang lalu kembali
lagi atau ia tetap berangkat lalu ia akan merubah semua adat dan tradisi yang
melekat pada dirinya yaitu gadis minang yang harus tetap menjunjung tinggi adat
dan tradisi.
Namun, saya mengakui bahwa saya cukup
skeptis dengan berfikir
seperti itu. Semua dugaan saya salah, si anak perempuan memilih pergi lalu ketika di bus ia kembali
lagi ke rumah dengan alasan bahwa ia sadar kalau dirinya adalah gadis minang
yang mempunyai kewajiban yaitu gadis minang haruslah menjadi pilar utama
"rumah yang besar" maka dari itu ia harus menjaga tanah kelahirannya
dengan segenap jiwanya.
Dari akhir film ini yang membuat saya
cukup puas adalah si pembuat film behasil membelokkan pemikiran penonton yang
akan berfikir bahwa film tentang budaya dan adat minang ini akan terbatas oleh
tradisi merantau seperti menyempitkan pandangan penonton bahwa masyarakat
minang hanya memiliki adat dan tradisi tersebut. Pembuat film berusaha
menceritakan bahwa minang tidak hanya memiliki adat dan tradisi merantau, namun
mereka juga memiliki adat bagi para perempuan minang yaitu "Limpapeh nan
Gadang" yaitu menjadi pilar utama dalam "rumah yang besar".
Pembuat film menggambarkan pentingnya
budaya tersebut dengan memberi perbandingan terhadap budaya merantau yang sudah
sangat melekat dan banyak diketahui orang banyak. Merantau saja sudah
dibatalkan karena betapa pentingnya untuk menjaga budaya ini bagi anak
perempuan minang. Cerita yang menarik berhasil disuguhkan dalam film ini walau
tidak berhasil secara sempurna menutupi kekurangan pada penokohan tersebut.
Oleh: V.Kalista
Limpapeh
Rumah Nan Gadang adalah film pendek yang bercerita
tentang kehidupan seorang gadis Minang dengan ibunya. Berbeda dengan sebagian besar
adati stiadat di Indonesia yang lebih meninggikan derajat pria dibandingkan wanita,
wanita suku Minang memiliki hak yang lebih besar dari pria. Dalam adat istiadat
di sana, wanita dianggap sebagai pembawa garis keturunan (matrilineal).
Film dimulai dengan tokoh utama yang bernama Rini,
yang sedang berkemas di teras luar rumah. Rini mengambil amplopsurat yang ada di atas meja, lalu flashback ke saat Rini melihat isi amplop
itu di gerbang sekolahnya. Ternyata isinya menyatakan kalau Rini memperoleh beasiswa
di negara tetangga, Malaysia.
Konflik pada film ini digambarkan dengan perdebatan
yang hebat antara ibu dan anak. Ibu yang digambarkan sebagai wanita yang sangat patuh pada adat istiadat masyarakat Minang tidak
menyetujui kepergian Rini untuk menuntut ilmu di negeri orang. Karena jika Rini
pergi, siapa yang akan menjaga harta pusaka, siapa yang akan menjaga dirinya
yang renta. Namun, Rini yang berwatak keras terus membantah ibunya. Ini seharusnya
dapat menjadi scene yang menegangkan seandainya
acting pemeran Rini mampu menyaingi acting ibunya. Rini kurang mampu membawa penonton
masuk ke dalam emosinya. Itu juga terjadi pada beberapa adegan lainnya.
Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang
penggalah. Pada akhirnya, sang ibu merestui kepergian Rini untuk menuntut ilmu walau
dengan berat hati. Ibu Rini sepertinya lebih memilih untuk mengalah dengan anak
semata wayangnya itu.
Sayangnya, film yang menggunakan bahasa Minang
sebagai dialognya ini kurang didukung dengan setting ataupun ornamen-ornamen yang melambangnkan adat Minang. Walaupun
sang ibu sudah mengenakan kain di kepalanya, namun itu dirasa kurang cukup.
Film ini mengandung pesan agar kita harus selalu
menyayangi ibu kita dan berbakti kepadanya. Itu digambarkan dengan keputusan Rini
yang membatalkan kepergiannya ke Malaysia. Rini menyadari bahwa ia harus menjaga
ibunya, karena sang ibu adalah harta pusaka yang ia miliki. Rinijuga ingin menjadiLimpapeh Rumah Nan Gadang ,yaitu tumpuan
harapan seluruh anggota rumah gadang, tumpuan harapan ibunya.
Terdapat adengan yang ganjil di dalam film
ini. Adegan di mana Rini sedang berbicara dengan ibunya sambil melipat baju terkesan
tidak masuk akal karena Rini melipat baju di teras rumah. Padahal biasanya orang
melipat baju di dalam rumah. Properti yang dibawa Rini saat akan berangkat ke
Malaysia kurang terlihat alami. Rini hanya membawa satu buah tas tanggung dan satu
tas gendong yang kempis dan kelihatan tidak berisi.
Lokasi syuting juga tidak bervariasi. Dialog
antara Rini dan ibu hanya dilakukan di teras dan halamanrumahsaja. Tidak pernah
di dalam rumah. Dan yang terakhir yaitu, film ini hanya mempunyai satu establish. Mungkin itu merupakan rencana
awal atau memang tidak sempat mengambil stok establish, jadi saat perpindahan scene cukup membuat kaget dan itu menyebabkan
waktu antara satu kejadian dengan kejadian lainnya terkesan terlalu berdekatan,
walaupun sedikit ditolong dengan adanya musik.
Namun dibalik itu semua, film Limpapeh Rumah Nan Gadang pantas diapresiasi
dengan baik. Semoga film ini dapat mengompori sineas muda lainnya agar mau mengangkat
film dengan tema kearifan lokal yang ada di Indonesia untuk melestarikan apa
yang sudah kita miliki saat ini. Namun ingat, jangan sampai ini mengkotak-kotakan
kita sebagai orang Indonesia dan memecah persatuan yang ada di tanah air
tercinta.
Data Film:
Limpapeh Rumah Nan Gadang | 2014 | 06:30 | Sutradara : Fauzi Faturrahman | Penulis Naskah : Fanny Mardhotillah
Limpapeh Rumah Nan Gadang | 2014 | 06:30 | Sutradara : Fauzi Faturrahman | Penulis Naskah : Fanny Mardhotillah
No comments:
Post a Comment