Saturday 11 October 2014

Resensi Filem Limpapeh Rumah Nan Gadang (Pemenang Film Terpadu 1)


(1)      Resensi Film "Limpapeh Rumah Nan Gadang"
Oleh: Gatari Surya Kusama

Limpapeh Rumah nan Gadang adalah salah satu film dari banyaknya film bertema kedaerahan yang mengangkat tentang kearifan lokal. Film ini menceritakan tentang adat dan tradisi dari masyarakat minang yaitu merantau. Saat saya memutuskan untuk menonton film ini sebelum memulai untuk menulis resensi tentang film ini, saya mengalami kebosanan dan sedikit pesimis bahwa film ini akan membawa saya kepada alur yang baru dari film-film merantau yang pernah ada.

Seperti yang kita ketahui, film tentang tradisi merantau dari masyarakat minang ini sangat banyak diciptakan dan dipublikasikan dari film indie sampai film layar lebar. Ditambah lagi dengan penokohannya yang kurang maksimal. Saya menggunakan istilah maksimal disini karena saya yakin ketika penokohan itu dilakukan secara tepat karakter yang keluar dari tokoh yang memerankan tersebut akan sangat kuat.

Saya tidak akan melihat latar belakang pembuatan film ini sebagai salah satu pemenuhan tugas belaka, saya melihatnya ini adalah film yang merupakan nominasi AFTA (salah satu acara penganugerahan di FMSR ISI Yogyakarta) dan layak mendapatkan banyak apresiasi dari berbagai pihak dan sudut pandang termasuk saya yang bukan merupakan sineas tapi penikmat film.

Cerita dari film ini dimulai dengan mengenalkan tokoh utama yaitu seorang ibu dan anak perempuan asli minang yang sangat menjunjung adat. Pembuat film memulai perkenalannya dengan menunjukkan kostum yang dipakai si ibu yaitu pakaian khas masyarakat minang dan bahasa yang digunakan. Lalu dilanjutkan dengan beberapa pesan yang dilontarkan si ibu kepada anak perempuan satu-satunya yang berulang kali mengucap untuk bertingkah sesuai adat dan tradisi yang telah dijunjung tinggi oleh masyarakat minang.

Setelah melakukan pengenalan tokoh dan memberi karakter kepada tokoh tersebut konflikpun dimulai. Ketika anak perempuan tersebut mendapat surat yang berisikan informasi beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya ke negeri jiran ia harus dihadapkan dengan ibunya yang tidak memberi ijin ia untuk pergi merantau dengan alasan bahwa ia adalah anak perempuan satu-satunya dan ibunya tinggal sebatang kara di tanah minang.

Dari konflik ini saya hampir bisa menebak bahwa cerita yang akan disajikan adalah tetap seputar merantau dan penutupannya hanya sebuah jawaban ia tetap merantau dan sukses di tanah orang lalu kembali lagi atau ia tetap berangkat lalu ia akan merubah semua adat dan tradisi yang melekat pada dirinya yaitu gadis minang yang harus tetap menjunjung tinggi adat dan tradisi.

Namun, saya mengakui bahwa saya cukup skeptis dengan berfikir seperti itu. Semua dugaan saya salah, si anak perempuan  memilih pergi lalu ketika di bus ia kembali lagi ke rumah dengan alasan bahwa ia sadar kalau dirinya adalah gadis minang yang mempunyai kewajiban yaitu gadis minang haruslah menjadi pilar utama "rumah yang besar" maka dari itu ia harus menjaga tanah kelahirannya dengan segenap jiwanya.

Dari akhir film ini yang membuat saya cukup puas adalah si pembuat film behasil membelokkan pemikiran penonton yang akan berfikir bahwa film tentang budaya dan adat minang ini akan terbatas oleh tradisi merantau seperti menyempitkan pandangan penonton bahwa masyarakat minang hanya memiliki adat dan tradisi tersebut. Pembuat film berusaha menceritakan bahwa minang tidak hanya memiliki adat dan tradisi merantau, namun mereka juga memiliki adat bagi para perempuan minang yaitu "Limpapeh nan Gadang" yaitu menjadi pilar utama dalam "rumah yang besar".

Pembuat film menggambarkan pentingnya budaya tersebut dengan memberi perbandingan terhadap budaya merantau yang sudah sangat melekat dan banyak diketahui orang banyak. Merantau saja sudah dibatalkan karena betapa pentingnya untuk menjaga budaya ini bagi anak perempuan minang. Cerita yang menarik berhasil disuguhkan dalam film ini walau tidak berhasil secara sempurna menutupi kekurangan pada penokohan tersebut.

(2)          Mempertahankan Harta Pusaka
Oleh: V.Kalista

Limpapeh Rumah Nan Gadang adalah film pendek yang bercerita tentang kehidupan seorang gadis Minang dengan ibunya. Berbeda dengan sebagian besar adati stiadat di Indonesia yang lebih meninggikan derajat pria dibandingkan wanita, wanita suku Minang memiliki hak yang lebih besar dari pria. Dalam adat istiadat di sana, wanita dianggap sebagai pembawa garis keturunan (matrilineal).

Film dimulai dengan tokoh utama yang bernama Rini, yang sedang berkemas di teras luar rumah. Rini mengambil  amplopsurat yang ada di atas meja, lalu flashback ke saat Rini melihat isi amplop itu di gerbang sekolahnya. Ternyata isinya menyatakan kalau Rini memperoleh beasiswa di negara tetangga, Malaysia.

Konflik pada film ini digambarkan dengan perdebatan yang hebat antara ibu dan anak. Ibu yang digambarkan sebagai wanita yang sangat  patuh pada adat istiadat masyarakat Minang tidak menyetujui kepergian Rini untuk menuntut ilmu di negeri orang. Karena jika Rini pergi, siapa yang akan menjaga harta pusaka, siapa yang akan menjaga dirinya yang renta. Namun, Rini yang berwatak keras terus membantah ibunya. Ini seharusnya dapat menjadi scene yang menegangkan seandainya acting pemeran Rini mampu menyaingi acting ibunya. Rini kurang mampu membawa penonton masuk ke dalam emosinya. Itu juga terjadi pada beberapa adegan lainnya.

Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalah. Pada akhirnya, sang ibu merestui kepergian Rini untuk menuntut ilmu walau dengan berat hati. Ibu Rini sepertinya lebih memilih untuk mengalah dengan anak semata wayangnya itu.
Sayangnya, film yang menggunakan bahasa Minang sebagai dialognya ini kurang didukung dengan setting ataupun ornamen-ornamen yang melambangnkan adat Minang. Walaupun sang ibu sudah mengenakan kain di kepalanya, namun itu dirasa kurang cukup.

Film ini mengandung pesan agar kita harus selalu menyayangi ibu kita dan berbakti kepadanya. Itu digambarkan dengan keputusan Rini yang membatalkan kepergiannya ke Malaysia. Rini menyadari bahwa ia harus menjaga ibunya, karena sang ibu adalah harta pusaka yang ia miliki. Rinijuga ingin menjadiLimpapeh Rumah Nan Gadang ,yaitu tumpuan harapan seluruh anggota rumah gadang, tumpuan harapan ibunya.

Terdapat adengan yang ganjil di dalam film ini. Adegan di mana Rini sedang berbicara dengan ibunya sambil melipat baju terkesan tidak masuk akal karena Rini melipat baju di teras rumah. Padahal biasanya orang melipat baju di dalam rumah. Properti yang dibawa Rini saat akan berangkat ke Malaysia kurang terlihat alami. Rini hanya membawa satu buah tas tanggung dan satu tas gendong yang kempis dan kelihatan tidak berisi.

Lokasi syuting juga tidak bervariasi. Dialog antara Rini dan ibu hanya dilakukan di teras dan halamanrumahsaja. Tidak pernah di dalam rumah. Dan yang terakhir yaitu, film ini hanya mempunyai satu establish. Mungkin itu merupakan rencana awal atau memang tidak sempat mengambil stok establish, jadi saat perpindahan scene cukup membuat kaget dan itu menyebabkan waktu antara satu kejadian dengan kejadian lainnya terkesan terlalu berdekatan, walaupun sedikit ditolong dengan adanya musik.

Namun dibalik itu semua, film Limpapeh Rumah Nan Gadang pantas diapresiasi dengan baik. Semoga film ini dapat mengompori sineas muda lainnya agar mau mengangkat film dengan tema kearifan lokal yang ada di Indonesia untuk melestarikan apa yang sudah kita miliki saat ini. Namun ingat, jangan sampai ini mengkotak-kotakan kita sebagai orang Indonesia dan memecah persatuan yang ada di tanah air tercinta.


Data Film:
Limpapeh Rumah Nan Gadang | 2014 | 06:30 | Sutradara : Fauzi Faturrahman | Penulis Naskah : Fanny Mardhotillah

No comments:

Post a Comment