(1) SRI
Oleh: Bakti Taufikurrahman
Sri adalah film praktika dengan penulis
naskah Muhamad Erlangga Fauzan film ini
menceritakan serorang bernama Sri yang berkerja di salon Debbie. Film ini
menceritakan bahwa Sri berkerja seperti
itu karena dia mau, terkadang ada faktor lain yang membuat dia bekerja seperti
itu dan film ini yang menyindir tentang kenakalan remaja sekarang yang sudah
berfikir tentang sex, mulai awal sampai akhir film ini berhubungan dengan sex
dan kenakalan remaja yang tentang sex juga. Penyampaian film ini juga dibilang
sukses dengan tangga dramatissasinya mulai sedih dan senang dan akhir film
dengan sri mengakhiri pekerjaan yang gak baik.
Kekurangan film ini adalah pengadeganan
yang terlalu blak blakan seperti Sri melayani pria besar ketika mau meminjam
uang atau adegan saat di rumah saat umar meminta sri melayaninya meski tidak
secara lansung shot dengan frontalnya adegan adegan di film sri membuat film
sri tidak mudah untuk scrining karena takut ada penonton di bawah umur menoton
film ini. Kejadian saat scrining saat di tby. Dan kebanyakan shot dari film ini
selalu berada di bawah mata dan berada di atas mata, banyak shot yang objyeknya
terpotong, dan banyak shot yang di ulang ulang untung saja film ini comedy jika
tidak film ini akan membosankan dan ada
beberapa scene yang noise itu tidak sengaja atau memang itu konsep. Ada
beberapa mis cutting dalam editingnya dan terdapat gambar yang over.
Tetapi penulis film ini berhasil
membuat film Sri diingat oleh penonton dengan kefrontalan film ini dengan
sedikit menyindir kenakalan remaja dan comedynya dan pesan bahwa seorang
pelacur bekerja tak halal bukan karena dia mau tetapi dia terpaksa.
(2) SRI
Oleh: Ridho Afwan Rahman
(2) SRI
Oleh: Ridho Afwan Rahman
Sri,
seorang ibu dari anaknya yang bernama Nurma yang notabene bekerja sebagai pegawai
salon plus-plus di salah satu sudut perkampungan di Yogyakarta. Di luar itu
Umar, yakni pacar Nurma diceritakan sedang mengalami titik gairah berlebihnya
di masa SMP, sedangkan Nurma yang masih sangat polos dan jujur saat itu menolak
ajakan Umar yang menuntut hubungan sex dengannya, sampai akhirnya Umar
melarikan rasa penasaran akan sex nya dan berkunjung ke salon tempat dimana Ibu
Nurma bekerja. Sri yang awalnya menolak permintaan rasa penasaran Umar waktu itu
akhirnya terdesak keadaan ekonomi yang sangatlah membingungkan. Pada masa yang
bersamaan Nurma menuntut biaya sekolahnya yang tidak juga dapat dibayar olehnya
karna penghasilan Sri yang tidak menentu. Hal yang mengagetkan pula saat Sri
dibohongi oleh tetangganya sendiri dan salon tempatnya bekerja digrebek oleh warga
setempat. Sri yang tidak dapat lagi membendung kebingungannya, pada akhirnya mau
tidak mau melayani Umar pacar Nurma yang masihlah berusia SMP.
Sri
adalah suatu karya film pendek bergenre drama, yang juga di dalamnya diselipkan
banyak unsur komedi. Film yang disutradarai oleh Gregoreous Hendra C.S ini dibintangi
oleh Marta Prasetya sebagai Sri, Atika Damayanti sebagai Nurma dan Wildan Prabawanta
sebagai Umar. Film berdurasi 30 menit ini memiliki alur maju dan kisah keseharian
yang cukup kompleks.
Pada
hakikatnya Film pendek berjudul “Sri” ini ditujukan untuk memenuhi kewajiban
tugas mengenai materi produksi televisi. Menjadi salah satu film yang cukup
berhasil menuai kontroversi di perjalanan pasca pemutaran pertamanya. Hal itu
dikarenakan beberapa pejabat/dosen perfilman khususnya di ISI Yogyakarta yang
berpendapat bahwa film ini tidak layak untuk selalu ditayangkan terlebih di
ranah pendidikan layaknya perguruan tinggi. Pendapat itu terlontar dengan
alasan bahwa film ini dinilai memiliki tingkatan visual terlalu besar akan
simbol-simbol yang mewakili sifat pornografi. Sudah sempat mengalami suatu
kasus dimana film ini tidak mendapatkan dukungan baik dari segi perizinan
maupun bantuan pendanaan dari Fakultas dimana para pelaku film tengah menjalani
proses pendidikan.
Namun
diluar itu semua, dapat dikritisi juga jika suatu institusi pendidikan yang
pada hakikatnya bertugas untuk merangkul semua proses pembelajaran dan juga
semua karya dari ide seluruh anak didiknya, malah bertindak kontra terhadap
salah satu karya yang sebelumnya juga sudah mengalami proses perundingan secara
matang bersama para pembimbingnya pula. Di samping itu, jika membahas persoalan
pornografi yang menjadi pembicaraan di film ini, saya fikir para pembuatnya
sudah mampu memvisualisasikan unsur pornografi yang memang notabene menjadi
faktor utama pendukung alur cerita dengan mengalihkan tampilan-tampilan
pornografi secara vulgar ke dalam gambar yang lebih bersifat semiotik dan
gambar-gambar lainnya yang masih sangat memperhatikan batasan-batasan
pornografi yang sudah disepakati. Di samping itu memang tidak dipungkiri bahwa
dialog-dialog yang dilontarkan di dalamnya terdengar sedikit bersifat vulgar
atau blak-blakan. Namun di luar itu semua, jika berbicara soal format dari
sebuah film pendek, saya fikir tidak semerta-merta dapat disamakan dengan
konteks format yang lainnya, seperti halnya film layar lebar, program drama
televisi dan juga program-program televisi lainnya yang memang memiliki peran
vital terhadap penonton (masyarakat), segmentasi yang sangat luas dan bersifat
komersil. Saya fikir film pendek memiliki radius batasannya sendiri, itu
sebabnya kenapa film pendek memiliki wadah dan segmentasi yang khusus pula.
Bagi saya, sangat baik pula jika di banyak momen film pendek dapat berperan
sebagai faktor penggerak menuju pemikiran setiap para penontonnya yang
diharapkan dapat semakin kritis dan terbuka dalam menerima dan mencerna setiap
hal atau karya yang ada dengan lebih tenang.
Bila
dilihat dari kasus-kasus sederhana tentang pronografi seperti ini, mungkin akan
lebih baik dan lancar secara berkelanjutan jika yang ditambahkan adalah
intensitas pengadaan ruang diskusi atau workshop tentang apresiasi film,
bukannya malah penambahan ruang batasan yang akan semakin menjadi pagar besar
bagi perjalanan sejarah film pendek khususnya di Indonesia.
Eksistensi
sebuah film pendek seperti halnya “Sri” ini bagi saya juga termasuk dari sekian
banyak produksi film fiksi tentang keseharian yang sekiranya sangat mungkin
terjadi dan lebih tampak jujur dalam penyampaiannya. Film-film seperti ini
sangat dapat menjadi cerminan besar kualitas keseimbangan taraf hidup masyarakat
secara luas di Indonesia. Tampak sangat banyak kasus ekonomi yang menjadi
sangat rumit dan berhujung meleset di Indonesia, dikarenakan kita seringkali
tidak sadar untuk lebih melihat semuanya dari sudut pandang yang lebih mengakar
dan fundamental. Keterpaksaan-keterpaksaan ekonomi yang mendasari masyarakat
untuk melakukan tindakan-tindakan yang melenceng dari norma pada dasarnya
pastilah memiliki alasan dan proses yang kuat. Bagaimana kesejahteraan rakyat
kecil, para pedagang, maupun anak usia dini yang terpaksa tidak dapat menempuh
proses pendidikan formal, itu semua dapat ditinjau dari latar belakang dan
keterdesakan yang sebenarnya tidak berasal dari internal individu masing-masing.
Ini terhubung dengan pertanyaan, “Bagaimana kita dapat menilai seseorang dengan
sepihak”?
Seakan
terdapat dua kubu yang sangat kebal dan tidak dapat dipertimbangkan lagi di
muka bumi ini, yakni benar dan salah. Itu menjadikan banyak penilaian,
tindakan, dan cara menyikapi yang berhujung pertentangan, seperti halnya momen
para tetangga yang menilai Sri secara sepihak dan berhujung kelompok yang pada
akhirnya mengucilkan Sri sebagai salah satu warga yang berhak memiliki
keseharian yang layak pula di kampung yang sama. Permasalahan seperti ini akan
dapat diseimbangkan sama seperti halnya kritik film yang sudah dijelaskan di
atas, yakni dengan komunikasi yang diharapkan berhujung kepada sifat toleransi
dan pemikiran kritis yang lebih tenang dan terbuka di setiap lorong kehidupan
masyarakat.
Data Film:
Sri | 2013 | 30:00 | Sutradara : Gregorius Hendra C.S. | Penulis Naskah : Muhamad E. F.
No comments:
Post a Comment