Saturday 11 October 2014

Resensi Filem Vampire (Pemenang Film Terpadu 3)



(1)       VAMPIRE : Satir dalam sebuah realitas
Oleh: Arief Budiman

Jika berbicara mengenai kata vampire, pikiran kita pasti akan mengerucut tentang satu hal, yaitu horror. Namun tidak dengan film yang satu ini, bagi sang sutradara ini adalah sebuah film yang bergenre komedi satir. Bercerita tentang dua orang pemuda, yaitu Kipli dan Kecap, yang hendak pergi ke sebuah warung pecel lele dan mengalami kejadian-kejadian aneh ketika di dalam perjalanannya. Melihat ke belakang dari beberapa film yang telah dibuatnya, tidak heran jika kali ini sang sutradara mengemas film Vampire berlawanan dari arus pola pikir akan sebuah kata vampire, dan membuatnya menjadi sebuah film yang bergenre komedi satir. Sang sutradara cukup berhasil membuat hal yang inovatif di setiap karyanya. Namun apakah film Vampire ini merupakan film yang benar-benar bergenre komedi satir?

Satir sendiri berasal dari kata satura (bahasa Latin), satyros (bahasa Yunani), satire (bahasa Inggris) yang berarti sindiran. Lakon satir adalah lakon yang mengemas kebodohan, perlakuan kejam, kelemahan seseorang untuk mengecam, mengejek bahkan menertawakan suatu keadaan dengan maksud membawa sebuah perbaikan. Tujuan drama satir tidak hanya semata-mata sebagai humor biasa, tetapi lebih sebagai sebuah kritik terhadap seseorang, atau kelompok masyarakat dengan cara yang sangat cerdik. Lakon satir dalam film Vampire diaplikasikan ke dalam dua orang karakter sekaligus. Karakter Kipli mengambil beberapa sifat yang sudah disinggung sebelumnya, yaitu tentang kebodohan dan kelemahan. Sedangkan karakter Kecap menggambarkan sifat mengecam dan mengejek. Terlihat dari beberapa adegan yang menggambarkan Kipli merasa takut sedangkan Kecap menimpalinya dengan ocehan-ocehan yang mengejek rasa ketakutan yang dialami Kipli dengan sesuatu yang konyol, walaupun sejatinya Kecap menyimpan rasa takut. Terdapat suatu sindiran terhadap suatu kepercayaan tentang hal yang mistis, yang menjadi topik utama dalam film Vampire ini. Setting yang mendukung dengan mengambil set jawa, membuat hal-hal yang menjadi ketakutan Kipli menjadi lebih terasa hidup. Lagu lengser wengi dan bola api terbang menguatkan dan memperjelas bahwa suatu mitos tentang kepercayaan sekitar tengah dibahas dalam film ini. Namun terdapat hal yang selalu menjadi ciri khas dalam setiap film yang dibuatnya, isu-isu yang akrab di kalangan saat ini selalu ia masukan di dalam karyanya. Tidak hanya kuntilanak dan sundel bolong. Van helsing, Twilight, Blade, dan segala hal yang berhubungan dengan vampire pada saat ini dan akrab di benak penonton, menjadi bumbu yang menarik dan menambah kekuatan komedinya. Tidak serta merta sang sutradara memasukkan hal-hal tersebut dengan asal seperti Van helsing dan Twillight, atau vampire yang berjilbab. Ia membangun mindset penonton terlebih dahulu melaui dialog-dialog yang dilakukan antara Kipli dan Kecap sehingga penonton terbawa dan tidak terasa aneh dengan kata-kata seperti itu. Walaupun sejatinya kata-kata yang tak terduga lebih membuat penonton tertawa.

Tak menjadi keraguan ketika ia memasukkan suatu simbol yang identik tentang suatu agama, yaitu jilbab. Dan membuatnya sebagai suatu guyonan di dalam filmnya. Suatu sindiran yang menarik ketika terdapat adegan seorang vampire wanita yang menggunakan jilbab tengah menggigit leher seorang laki-laki. Jilboobs, bukanlah suatu hal yang asing dan tengah menjadi tren saat ini. Kerudung yang sejatinya menjadi simbol sakral bagi seorang wanita beragama islam, dewasa ini menjadi suatu hal yang tidak mengikat lagi bagi mereka wanita yang berkerudung untuk memperlihatkan keindahan-keindahan dari setiap sisi tubuhnya, atau melakukan hal-hal yang memperlihatkan keagresifan dirinya. Walaupun tidak semua wanita berjilbab seperti itu, namun kini jilboobs menjadi tren untuk sebutan bagi mereka yang menanggalkan kepatuhan terhadap jilbab yang dipakainya. Jika ditafsirkan secara seks dan menyangkut kata jilboobs, bentuk dari adegan gigitan yang dilakukan oleh seorang vampire berjilbab, adalah bentuk kecupan (cupang) yang dilakukan oleh seorang wanita berjilbab dan mengenakan celana jeans ketat. Sebuah bentuk sindiran yang begitu menyentil bagi banyak wanita yang menutupi aurat kepalanya dengan sebuah kain.

Di Indonesia sendiri bukanlah suatu hal yang mungkin terjadi, seorang vampire yang memotong kepala seorang pedagang pecel lele. Indonesia bermayoritaskan penduduk yang menganut agama Islam, serta hampir semua orang mempunyai dan mempercayai mitos di daerah masing-masing. Sebuah grafis bertuliskan majalah hadiyah (bentuk sindiran dari majalah hidayah) dengan judul “Kepala terputus karena sering menggoreng lele” adalah salah satu bentuk sindiran yang diberikan sang sutradara tentang cara pandang orang Indonesia mengenai suatu kejadian yang aneh dan menghubungkannya dalam cara berfikir masyarakat yang terbelenggu dalam mitos dan religi. Sebuah kepercayaan tentang suatu agama telah tersimbolkan dengan adanya tokoh wanita yang menggunakan kain sebagai penutup kepala, dan grafis majalah hadiyah yang juga merupakan sindiran terhadap suatu majalah yang berhubungan dengan agama tersebut. “Mungkin sekalipun ada kejadian tukang pecel lele yang kepalanya terputus akibat digigit vampire, mereka akan mengganggap kejadian itu adalah azab, bukan karena ulah vampire.” (Fitro Dizianto)

Segi estetis dari sebuah film tidak tersingkirkan sekalipun sang sutradara focus pada konsep satirnya yang dihadirkan di dalam film ini. Seorang kritikus Perancis, Andre Brazin berpendapat bahwa kekuatan terbesar dalam sinema terdapat pada kemampuan menghadirkan kembali realitas sebagaimana aslinya. Dan konsep tersebut dihadirkan ke dalam film Vampire ini, dimulai dari tek-tok dialog yang dilakukan oleh Kipli dan Kecap, semua terasa seperti percakapan yang biasa dilakukan antara dua orang teman yang sudah akrab, dan seperti percakapan yang sudah lazim didengar di kehidupan realita. Konsep long take pada adegan mereka makan pecel lele menambah kekuatan film tersebut menuju sebuah realita, dengan menghadirkan shot yang panjang bersamaan dengan dialog antara Kipli dan Kecap.

Seperti yang sedari awal sudah disinggung bahwa konsep film ini mengandung unsur komedi bukanlah horror, akan lebih baik jika unsur fisik dari hantu yang menjadi ketakutan dari Kipli itu tidak dihadirkan di dalam film ini (adegan kuntilanak yang lewat saat mereka berada di kuburan), karena akan merusak konsep cerita yang sedari awal sudah dibangun oleh dua karakter itu. Jika dalam presentase, film ini sudah bisa dibilang film yang mengandung unsur satir, namun akan lebih baik jika sindiran-sindiran yang dihadirkan lebih mozaik tidak hanya terpaku pada satu hal yang dibahas berulang-ulang, dan akan membuat film ini terbumbui dengan lengkap atas konsep komedi satir yang dianutnya.

8 Oktober 2014



(2)             Review Film Pendek Vampire 
(Pemenang AFTA#2 nominasi Film Terpadu 3)
Oleh: Ima Nurul Husni

Premis dari film ini yakni 2 orang yang bersahabat sedang mencari makan di tengah malam, kemudian di tempat makan mereka bercanda asal keluar mulut, pada akhirnya apa yang menjadi bercandaan mereka menjadi kenyataan. 

Secara konsep cerita, film ini merupakan jenis komedi yang mengangkat sebuah mitos yang sudah mendarah daging di masyarakat. Sebuah mitos jika malam jum'at banyak setan-setan yang akan keluar bergentayangan dan mengganggu orang-orang. Namun, di jaman yang sudah serba canggih dan lampu ada dimana-mana mitos tersebut yang seharusnya tidak mempercayainya tapi justru masih menjadi momok di masyarakat.

Isu yang diangkat lagi yakni mengenai program-program "latah" yang muncul setiap ramadhan, yang seakan dipaksakan membuat program religi tetapi hanya dibalut dengan kopyah maupun jilbab saja. Namun secara cerita sama saja seperti sinetron pada umumnya.

Melihat pengambilan shot-shotnya, film ini lebih menggunakan shot-shot tertutup  yang berfungsi untuk menunjukkan kesan mistis dari cerita tersebut. Ditunjang dengan penataan lampu dan pewarnaan video yang agak kebiru-biruan menegaskan kedinginan dan kemistisan dari film Vampire ini.

Yang menjadi daya tarik cerita ini adalah dari segi dialog antara tokoh Kipli dengan Kecap. Mereka menggunakan bahasa jawa timuran yang khas, dialog sehari-hari yang digunakan dalam film ini merepresentasikan yang terjadi di masyarakat ya seperti itu adanya, tanpa ada yang diada-adakan. 

Pesan yang disampaikan dari film ini yakni tidak sembarangan ketika berbicara. Karena apa yang keluar dari mulut itu bisa jadi do'a dan dikabulkan. 

Vampire | 2014 | 15:00 | Sutradara : Fitro Dizianto | Penulis Naskah : Deasy Fatmasari






No comments:

Post a Comment