Saturday 11 October 2014

Resensi Filem Ajap Alit (Film Produksi Televisi 2011)



AJAP ALIT : MENYULAP KEDEWASAAN ANAK
Oleh : Vregina Diaz Magdalena

Kisah hidup seorang anak laki - laki yang kurang beruntung. Arif merelakan masa bermainnya untuk tinggal di dalam penjara. Arif tidak mempunyai niatan untuk memilih tinggal di penjara. Kematian ayahnya menjadi alasan kenapa ia harus membunuh preman yang menodong ayah Arif. Kesusahannya tidak berhenti di situ, ia masih harus memikirkan bagaimana keadaan ibu yang sakit di rumah. Arif merasa bertanggung jawab sebagai pengganti ayah. Tidak mempunyai saudara kandung bahkan saudara jauh. Lebih pahitnya ketika Arif beberapa kali berusaha kabur dari penjara, ia selalu bisa didapatkan kembali oleh petugas. Sampai pelarian yang terakhir, dengan strategi diam diam Arif malah mendapati rumah kosong tanpa ada ibu berbaring di tempat tidur. Hidupnya memang tidak beruntung, karena ibunya pergi menyusul ayahnya. Itulah salah satu kisah yang ditawarkan dan dikemas menjadi film pendek berdurasi 24 menit.

Alit yang berasal dari bahasa Jawa ini mempunyai arti kecil, biasanya diberikan untuk anak laki-laki. Tokoh yang dibuat cukup sesuai dengan karakter yang dibentuk.  Makna kecil di sini disajikan sesuai umur secara 3 dimensi tokoh. Kemungkinan umur Arif dalam cerita sekitar 9 - 12 tahun. Rentang umur tersebut mempunyai psikologis yang berbeda. Jelas saja, umur yang bisa dibilang belum cukup umur bahkan dibawah umur mempunyai dunia pemikiran yang berbeda. Misalnya pada umur ini, anak - anak cenderung menikmati hidup, tidak memikirkan masalah apa yang akan dihadapi, bagaimana menanggapi di berbagai situasi hidup. Namun pada film ini cukup menawarkan dunia pemikiran anak yang bisa dibilang berbeda dari umumnya. Tokoh Arif dituntut menjadi anak yang berbakti pada orang tua dengan konflik yang dibuat. Mulai dari Arif mengejar preman yang membunuh ayahnya, kemudian berusaha kabur hanya untuk merawat ibunya yang sedang sakit. 

Dari konflik yang diciptakan semuanya berbentuk eksternal, dari perlawanan Arif terhadap preman yang membunuh ayahnya. Perlawanan tersebut mengantarkannya pada konflik kedua yaitu ingin merawat ibunya namun apa daya nasib Arif harus ada di penjara, seperti konflik utama di film ini.  Dari sini, penulis naskah ingin memberikan usaha Arif yang bisa dibilang perlawanannya sebagai tokoh protagonis. Konflik yang dihadapi Arif justru membuat karakter Arif menjadi tidak natural. Padahal dalam setiap pembuatan cerita film drama yang notabene dekat dengan keseharian dan sifatnya realis, harusnya akan membentuk karakter Arif juga senatural mungkin. Penguatan karakter justru akan terasa lebih baik ketika Arif dibuat berumur 16 - 18 tahun,. Tidak mungkin seorang Arif masih kecil berpikiran untuk membunuh orang yang sudah membunuh ayahnya. Ada adegan yang hilang ketika Arif sudah marah dan mengejar preman sambil membawa pisau. Pertanyaannya, apakah bisa seorang anak kecil membunuh orang dewasa yang badannya ternyata lebih besar darinya? Jawabannya mungkin bisa saja, asal dari awal mungkin bisa dibangun karakter Arif yang berani. Tetapi dari eksposisi yang di bangun saja hanya sebatas Arif masuk ke penjara karena membunuh ayah. Kedekatan karakter menjadi kosong, bahkan penonton tidak diajak untuk berkenalan sebentar dengan Arif. Semakin janggal juga ketika Arif dipukul oleh teman dalam satu sel. Arif hanya diam dan tidak melawan. Harusnya ketika adegan tersebut mungkin bisa dibangun karakter Arif yang memang berani.

Secara plot yang dibentuk dari awal, penonton memang di ajak untuk tetap diam dan menikmati cerita film tersebut. Sebagai penonton pasti mengharapkan suspense di akhir, tetapi sayangnya itu tidak didapat. Hanya twist yang di hadirkan saat akhir cerita. Saat Arif berusaha kabur untuk kesekian kalinya dan usaha yang paling rumit ketika ia sudah dihukum di sel yang berbeda dengan teman - temannya. Kemudian ketika berhasil, ia pulang ke rumah untuk menemui ibunya, Arif malah  menemukan kenyataan yang lain yaitu ibunya sudah meninggal. Anggapan penonton ketika Arif berhasil kabur diantarkan pada akhir cerita yang bahagia, namun penulis naskah mematahkan itu dengan membuat kabar ibunya meninggal. Sehingga mood penonton menjadi benar - benar tidak bahagia. Mengingat hidup Arif yang sudah susah dan berat. Penonton akan berpikir Arif akan menjadi anak yang paling sedih, di tinggal ayah dan ibunya dan harus ada di penjara untuk beberapa waktu sampai ia selesai menebus kesalahan yang tidak sengaja. Sehingga di sini, bisa dikatakan bahwa sutradara menggunakan plot sebagai tema kemudian menggunakan suasana cerita untuk membangun efek emosional penonton. 

Ketika menjabarkan tangga dramatik, tensi konflik juga tidak naik dari pengenalan tokoh. Emosi yang ditarik untuk menjadi tinggi menjadi sedikit monoton. Ini terlihat dari usaha - usaha Arif yang berusaha kabur dari penjara. Masalahnya yang sama untuk mencapai tujuan yang sama. Hambatannya hanya sebatas 'jangan sampai ketahuan penjaga'. Cara Arif yang paling gigih adalah saat setelah hukuman terakhir, dan menjadi aneh ketika beberapa hari sebelumnya Arif tidak berpikir untuk kabur hanya di tunjukkan karena merindukan ibu. Tidak ada hal lain yang membuat Arif menjadi berpikiran untuk kabur. 

Saat di menit ke 15, dikenalkan lagi sosok perempuan yang bernama Bu Novi. Karakter ini ada di tengah usaha - usaha Arif saat ditangkap dan masuk lagi ke penjara. Lagi - lagi penonton mungkin akan bertanya, siapakah Bu Novi itu? Mungkin karena bobot tokoh Bu Novi tidak sama dengan Arif, maka Bu Novi bisa dibilang sebagai peran pembantu. Tetapi peran pembantu di sini tidak bekerja secara utuh. Bu Novi ini seakan mubazir ada di tengah cerita, menjadi ada atau tidak ada takkan berpengaruh pada konflik. Saat adegan pertemuan Bu Novi dengan Arif, lagi - lagi karakter Arif berubah menjadi dewasa. Rasanya mendengar dialog antara orang dewasa, bukan seorang Ibu dan anak. Tokoh Bu Novi seakan tidak berguna saat kemudian Arif berusaha untuk kabur lagi. Secara kesinambungan, Arif kabur lagi dengan beberapa cara yang terencana hanya setelah berbicara dengan Bu Novi. Padahal isi pembicaraannya adalah Bu Novi yang bercerita tentang hidupnya dan mencoba menguatkan Arif berada di posisi tersebut. Pada menit selanjutnya, ada informasi tertutup yang sengaja di berikan agar penonton tidak mengetahui. Saat Bu Novi mendapat surat pemberitahuan kematian ibu Arif. 

Secara pengadeganan, sutradara seakan memaksa Arif menjadi dewasa. Ketika penulis naskah sudah membentuk karakter Arif yang dewasa, sutradara membuat Arif menjadi anak kaku. Orang yang berperan Arif tidak sesungguhnya menjadi Arif. Mungkin karena dari awal saja Arif tidak diperkenalkan secara utuh oleh penulis. Dialog yang dikatakan Arif juga rasanya menjadi hafalan naskah saja, tidak ada kepentingan menjadi karakter Arif yang ingin dicapai. Sangat disayangkan sekali, karena Arif di sini memang mendominasi tetapi menjadi tokoh utama  yang berjarak dari karakter anak - anak sebenarnya.

Alangkah lebih menarik, ketika bahasa yang dipakai adalah bahasa sehari - hari atau bahasa daerah setting yang ingin diangkat. Karena dengan latar belakang Arif yang dibuat dan tinggal di keluarga menengah ke bawah, memang bahasa sehari - hari cenderung dekat dengan bahasa daerah. Apalagi ditambah Arif adalah anak kecil yang seusianya pasti bermain di mana - mana, mempunyai teman bermain dan pasti bahasanya lebih unik. Padahal di beberapa scene awal, ada adegan di mana Arif bersama teman - teman sebayanya tetapi bahasa itu tidak ditunjukkan sama sekali. Bahasa Indonesia di sini menjadi kaku ketika harus diucapkan anak nakal yang berada di penjara.

Secara keseluruhan, pembuat film berkomunikasi dengan penonton sebagai pernyataan moral. Pernyataan yang dibuat selama 24 menit menciptakan satu pesan yang universal yaitu 'bersabarlah'. Mungkin pesan itu yang bisa terlihat dari bentuk kemasan ceritanya. Selebihnya pembuat film menciptakan dunia anak - anak yang menjadi dewasa seketika berkat konflik yang dibangun. Pembuat film menawarkan dunia anak - anak yang tidak selamanya akan anak - anak.

Data Film:
Ajap Alit | 2013 | 24:00 | Sutradara: Shuaery Faiz | Penulis Naskah: Yogi Yuka Rozaki

No comments:

Post a Comment