AJAP ALIT : MENYULAP KEDEWASAAN ANAK
Oleh : Vregina
Diaz Magdalena
Kisah
hidup seorang anak laki - laki yang kurang beruntung. Arif merelakan masa
bermainnya untuk tinggal di dalam penjara. Arif tidak mempunyai niatan untuk
memilih tinggal di penjara. Kematian ayahnya menjadi alasan kenapa ia harus
membunuh preman yang menodong ayah Arif. Kesusahannya tidak berhenti di situ,
ia masih harus memikirkan bagaimana keadaan ibu yang sakit di rumah. Arif
merasa bertanggung jawab sebagai pengganti ayah. Tidak mempunyai saudara
kandung bahkan saudara jauh. Lebih pahitnya ketika Arif beberapa kali berusaha
kabur dari penjara, ia selalu bisa didapatkan kembali oleh petugas. Sampai
pelarian yang terakhir, dengan strategi diam diam Arif malah mendapati rumah
kosong tanpa ada ibu berbaring di tempat tidur. Hidupnya memang tidak
beruntung, karena ibunya pergi menyusul ayahnya. Itulah salah satu kisah yang
ditawarkan dan dikemas menjadi film pendek berdurasi 24 menit.
Alit
yang berasal dari bahasa Jawa ini mempunyai arti kecil, biasanya diberikan
untuk anak laki-laki. Tokoh yang dibuat cukup sesuai dengan karakter yang
dibentuk. Makna kecil di sini disajikan
sesuai umur secara 3 dimensi tokoh. Kemungkinan umur Arif dalam cerita sekitar
9 - 12 tahun. Rentang umur tersebut mempunyai psikologis yang berbeda. Jelas
saja, umur yang bisa dibilang belum cukup umur bahkan dibawah umur mempunyai
dunia pemikiran yang berbeda. Misalnya pada umur ini, anak - anak cenderung
menikmati hidup, tidak memikirkan masalah apa yang akan dihadapi, bagaimana
menanggapi di berbagai situasi hidup. Namun pada film ini cukup menawarkan
dunia pemikiran anak yang bisa dibilang berbeda dari umumnya. Tokoh Arif
dituntut menjadi anak yang berbakti pada orang tua dengan konflik yang dibuat.
Mulai dari Arif mengejar preman yang membunuh ayahnya, kemudian berusaha kabur
hanya untuk merawat ibunya yang sedang sakit.
Dari
konflik yang diciptakan semuanya berbentuk eksternal, dari perlawanan Arif terhadap
preman yang membunuh ayahnya. Perlawanan tersebut mengantarkannya pada konflik
kedua yaitu ingin merawat ibunya namun apa daya nasib Arif harus ada di
penjara, seperti konflik utama di film ini. Dari sini, penulis naskah ingin memberikan
usaha Arif yang bisa dibilang perlawanannya sebagai tokoh protagonis. Konflik
yang dihadapi Arif justru membuat karakter Arif menjadi tidak natural. Padahal
dalam setiap pembuatan cerita film drama yang notabene dekat dengan keseharian
dan sifatnya realis, harusnya akan membentuk karakter Arif juga senatural
mungkin. Penguatan karakter justru akan terasa lebih baik ketika Arif dibuat
berumur 16 - 18 tahun,. Tidak mungkin seorang Arif masih kecil berpikiran untuk
membunuh orang yang sudah membunuh ayahnya. Ada adegan yang hilang ketika Arif
sudah marah dan mengejar preman sambil membawa pisau. Pertanyaannya, apakah
bisa seorang anak kecil membunuh orang dewasa yang badannya ternyata lebih
besar darinya? Jawabannya mungkin bisa saja, asal dari awal mungkin bisa dibangun
karakter Arif yang berani. Tetapi dari eksposisi yang di bangun saja hanya
sebatas Arif masuk ke penjara karena membunuh ayah. Kedekatan karakter menjadi kosong,
bahkan penonton tidak diajak untuk berkenalan sebentar dengan Arif. Semakin
janggal juga ketika Arif dipukul oleh teman dalam satu sel. Arif hanya diam dan
tidak melawan. Harusnya ketika adegan tersebut mungkin bisa dibangun karakter Arif
yang memang berani.
Secara
plot yang dibentuk dari awal, penonton memang di ajak untuk tetap diam dan
menikmati cerita film tersebut. Sebagai penonton pasti mengharapkan suspense di
akhir, tetapi sayangnya itu tidak didapat. Hanya twist yang di hadirkan saat akhir cerita. Saat Arif berusaha kabur
untuk kesekian kalinya dan usaha yang paling rumit ketika ia sudah dihukum di
sel yang berbeda dengan teman - temannya. Kemudian ketika berhasil, ia pulang
ke rumah untuk menemui ibunya, Arif malah menemukan kenyataan yang lain yaitu ibunya
sudah meninggal. Anggapan penonton ketika Arif berhasil kabur diantarkan pada
akhir cerita yang bahagia, namun penulis naskah mematahkan itu dengan membuat
kabar ibunya meninggal. Sehingga mood
penonton menjadi benar - benar tidak bahagia. Mengingat hidup Arif yang sudah
susah dan berat. Penonton akan berpikir Arif akan menjadi anak yang paling
sedih, di tinggal ayah dan ibunya dan harus ada di penjara untuk beberapa waktu
sampai ia selesai menebus kesalahan yang tidak sengaja. Sehingga di sini, bisa
dikatakan bahwa sutradara menggunakan plot sebagai tema kemudian menggunakan
suasana cerita untuk membangun efek emosional penonton.
Ketika
menjabarkan tangga dramatik, tensi konflik juga tidak naik dari pengenalan
tokoh. Emosi yang ditarik untuk menjadi tinggi menjadi sedikit monoton. Ini
terlihat dari usaha - usaha Arif yang berusaha kabur dari penjara. Masalahnya
yang sama untuk mencapai tujuan yang sama. Hambatannya hanya sebatas 'jangan
sampai ketahuan penjaga'. Cara Arif yang paling gigih adalah saat setelah
hukuman terakhir, dan menjadi aneh ketika beberapa hari sebelumnya Arif tidak
berpikir untuk kabur hanya di tunjukkan karena merindukan ibu. Tidak ada hal
lain yang membuat Arif menjadi berpikiran untuk kabur.
Saat
di menit ke 15, dikenalkan lagi sosok perempuan yang bernama Bu Novi. Karakter
ini ada di tengah usaha - usaha Arif saat ditangkap dan masuk lagi ke penjara.
Lagi - lagi penonton mungkin akan bertanya, siapakah Bu Novi itu? Mungkin
karena bobot tokoh Bu Novi tidak sama dengan Arif, maka Bu Novi bisa dibilang
sebagai peran pembantu. Tetapi peran pembantu di sini tidak bekerja secara
utuh. Bu Novi ini seakan mubazir ada di tengah cerita, menjadi ada atau tidak
ada takkan berpengaruh pada konflik. Saat adegan pertemuan Bu Novi dengan Arif,
lagi - lagi karakter Arif berubah menjadi dewasa. Rasanya mendengar dialog
antara orang dewasa, bukan seorang Ibu dan anak. Tokoh Bu Novi seakan tidak
berguna saat kemudian Arif berusaha untuk kabur lagi. Secara kesinambungan, Arif
kabur lagi dengan beberapa cara yang terencana hanya setelah berbicara dengan
Bu Novi. Padahal isi pembicaraannya adalah Bu Novi yang bercerita tentang
hidupnya dan mencoba menguatkan Arif berada di posisi tersebut. Pada menit
selanjutnya, ada informasi tertutup yang sengaja di berikan agar penonton tidak
mengetahui. Saat Bu Novi mendapat surat pemberitahuan kematian ibu Arif.
Secara
pengadeganan, sutradara seakan memaksa Arif menjadi dewasa. Ketika penulis
naskah sudah membentuk karakter Arif yang dewasa, sutradara membuat Arif
menjadi anak kaku. Orang yang berperan Arif tidak sesungguhnya menjadi Arif.
Mungkin karena dari awal saja Arif tidak diperkenalkan secara utuh oleh
penulis. Dialog yang dikatakan Arif juga rasanya menjadi hafalan naskah saja,
tidak ada kepentingan menjadi karakter Arif yang ingin dicapai. Sangat disayangkan
sekali, karena Arif di sini memang mendominasi tetapi menjadi tokoh utama yang berjarak dari karakter anak - anak
sebenarnya.
Alangkah
lebih menarik, ketika bahasa yang dipakai adalah bahasa sehari - hari atau
bahasa daerah setting yang ingin diangkat. Karena dengan latar belakang Arif
yang dibuat dan tinggal di keluarga menengah ke bawah, memang bahasa sehari -
hari cenderung dekat dengan bahasa daerah. Apalagi ditambah Arif adalah anak
kecil yang seusianya pasti bermain di mana - mana, mempunyai teman bermain dan
pasti bahasanya lebih unik. Padahal di beberapa scene awal, ada adegan di mana Arif
bersama teman - teman sebayanya tetapi bahasa itu tidak ditunjukkan sama
sekali. Bahasa Indonesia di sini menjadi kaku ketika harus diucapkan anak nakal
yang berada di penjara.
Secara
keseluruhan, pembuat film berkomunikasi dengan penonton sebagai pernyataan
moral. Pernyataan yang dibuat selama 24 menit menciptakan satu pesan yang
universal yaitu 'bersabarlah'. Mungkin pesan itu yang bisa terlihat dari bentuk
kemasan ceritanya. Selebihnya pembuat film menciptakan dunia anak - anak yang
menjadi dewasa seketika berkat konflik yang dibangun. Pembuat film menawarkan
dunia anak - anak yang tidak selamanya akan anak - anak.
Data Film:
Ajap Alit | 2013 | 24:00 | Sutradara: Shuaery Faiz | Penulis Naskah: Yogi Yuka Rozaki
Ajap Alit | 2013 | 24:00 | Sutradara: Shuaery Faiz | Penulis Naskah: Yogi Yuka Rozaki
No comments:
Post a Comment