Saturday 11 October 2014

Resensi Filem Pagi (Nominasi Film Produksi Televisi 2011 Terbaik)


(1)                         PAGI BERJANJI?
Oleh: Agge Akbar

Beberapa orang menganggap janji adalah sesuatu hal yang benar-benar harus ditepati, itulah yang mungkin ingin disampaikan oleh film Pagi bersama tagline-nya “karena pagi tidak pernah mengingkari janji”. Diperlihatkan ketika setiap pagi si Jamilah selalu membawakan anaknya seikat bunga. Walaupun, jika saya tidak mendengar langsung dari penjelasan sang pembuat film, saya juga tidak akan tahu bahwa itu sebenarnya sebuah janji. Karena itu lebih mengarah ke sebuah rutinitas? Sebab konotasi janji adalah ucapan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan.

Si pembuat film juga ingin menampilkan beberapa hal yang berbeda dapat hidup bersama, ketika ditampilkan sosok Jamilah yang begitu feminim, serta Agus selaku sang anak yang begitu bercita-cita ingin menjadi seorang tentara. Mereka juga menganut agama yang berbeda tapi tetap bisa bersama. Ini yang saya suka! Ketika banyak diluar sana selalu meributkan tentang sebuah perbedaan, di dalam film ini mereka ingin meleburkan itu semua.

Walaupun sempat terjadi konflik saat teman-teman Agus menghinanya karena penyimpangan ibunya dan saat Agus mencari pinjaman uang untuk biaya pengobatan Jamilah, tapi Agus seperti tidak memperdulikan celotehan dunia luar. Itu semua juga tidak lepas dari apa yang telah dilakukan Jamilah, ia memungut Agus kecil ketika terjadi gempa jogja yang telah memisahkan Agus dengan ibu kandungnya.
Jamilah pun pernah mengalami kecelakaan tragis yang merenggut nyawa istri dan anaknya. Kejadian itupun yang membuat Jamilah berubah menjadi seorang banci dengan alasan ingin tetap menjadi satu bersama kepribadian sang istri, karena dia begitu mencintainya

Ikatan inilah yang coba disuguhkan dalam film pagi, tapi sayang pertunjukan drama yang cukup unik ini harus ternoda gara-gara kecelakaan yang dialami Jamilah. Dia menabrak papan peringatan perbaikan jalan, dengan kecepatan sepeda dan rute yang sama setiap harinya, seharusnya dia dengan mudah bisa menghindarinya, atau setidaknya bisa menghentikan laju sepedanya. Atau mungkin karena kepribadian Jamilah yang begitu feminim, jadi dia begitu susah untuk menghindari rintangan itu.

Juga ketika Jamilah terbaring sakit, tiba-tiba agus mengikat kaki dan tangan Jamilah. Penyampaian bahwa Agus mengikatnya karena tidak ingin Jamilah keluar dan mengetahui kalau Agus ikut menjadi banci di perempatan, untuk mencari uang pengobatan. Saya pribadi harus berpikir lebih untuk tahu maksud ikatan itu. Karena pada awalnya saya mengira bahwa Jamilah sudah meninggal.

Sebenarnya apa yang memotivasi Agus untuk mengambil langkah mengamen dengan menjadi banci masih kurang begitu jelas, kenapa harus mengamen sebagai banci? Padahal bisa saja dia mengamen sebagai bocah laki-laki biasa seperti pengamen kecil kebanyakan.

Kenapa foto Jamilah ketika bersama istrinya bisa terbuka atau berserakan, padahal ketika Agus kebingungan mencari wig dia tidak menyentuh meja dan hanya mengambil wig yang tergantung di samping kaca. Itu cukup menjadi sebuah pertanyaan.

Tapi semua jalan cerita itu bisa dibungkus dengan apik, pengambilan gambarnya dilakukan dengan indah. Mata bisa nyaman mengikuti adegan per adegan hingga film selesai.


(2)           APRESIASI KARYA FILM PAGI
Oleh: Dewi Puspita Sari L.

Film pendek yang berjudul pagi menceritakan tentang seorang waria yang berperan sebagai ibu untuk seorang anak yang bernama agus. Waria ini bekerja sebagai penjaga toko bunga, dan saat pulang ia selalu membawa seikat bunga untuk diletakan di kamar anaknya.Sang ibu juga kadang bekerja sebagai pengamen jalan dengan kostum waria, hingga pada suatu hari sang ibu mengalami kecelakaan dan agus berusaha meminjam uang kepada tetangganya untuk berobat, namun para tetangga menolak karena sang ibu di anggap sebagai sampah masyarakat.

Dari segi tekno fisik film ini tentunya sudah memenuhi teknik sinematografi yang baik dan benar. Pengambilan shot dengan angel dan shot size yang pas dan menarik di setiap scene nya serta terdapat pendukung artistik yang membuat beberapa shot terlihat estetis.Sebenarnya disini saya akan membahas film ini mengarah kepada tekno kulturalnya, namun saya melihat ada beberapa tekno fisik yang mungkin sedikit terlewatkan yaitu kontuinitas.Dalam film pagi ini saya menemukan ada dua adegan yang jumping, yaitu pada saat sang ibu meletakkan bunga di vas bunga dan kondisi agus sedang tidur terlentang dengan menghadap sedikit serong. Sedangkan pada shot selanjutnya dengan adegan yang berkelanjutan terlihat agus tidur terlentang saja.

Adegan jumping yang kedua pada saat flasback agus masih kecil.Disitu terlihat agus kebingungan mencari sang ibu dan akhirnya duduk termenung di pinggir jalan sambil membawa kalung pemberian ibunya.Shot awal posisi kalung pertama kali ada di genggaman tangan agus, dan pada shot selanjutnya posisi kalung sudah jatuh ketanah.Dalam kajian tentang kontinuitas mungkin ini masih bisa di bilang kontiniti, karena tidak semua adegan bisa di visualisasikan melalui shot gambar (saat kalung itu jatuh ke tanah).Namun menurut saya itu bisa dikatakan kontiniti ketika antara perpindahan shot pertama dan kedua diberi transisi dissolve, karena dissolve disini menerangkan ada jangka waktu yang sedikit lebih lama untuk agus menagis, sehingga ada kemungkinan kalung itu terjatuh, dan tak perlu ditunjukan ketika kalung itu jatuh,karena dengan insting ketika agus menangis dengan kondisi yang seperti itu menandakan bahwa ia sedang putus asa dan segala emosinya melemah memungkinkan kalung itu jatuh dari gengamannya.

Dari segi tekno kultural disini saya akan membahas seseorang laki-laki yang memutuskan menjadi waria dan menjadi ibu dari agus.Dalam budaya barat, waria mungkin sudah di anggap biasa, namun dalam budaya timur berbeda, terutama di Indonesia. Waria masih di anggap tabu dan tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat indonesia.Penganggkatan tema waria dalam film ini sebenarnya sudah bagus, karena menceritakan sesuatu yang berbeda dibanding dengan lainnya. akan tetapi perlu di ingat bahwa kita berada dalam budaya timur, dengan kondisi masyarakat yang heterogen. Mungkin sebagian orang ada yang menerima film ini, tapi mungkin juga menolaknya (mengkritisinya), walaupun film ini mempunyai makna yang baik.Terutama adegan bagian agus meniru sang ibunya menjadi waria dan mengamen di jalanan.Apabila anak yang belum benar-benar mengerti, mungkin film ini bisa di salah artikan olehnya.

Selama ini waria dikaitkan erat dengan homoseksual, namun ada beberapa golongan waria yang tidak seperti itu, dan dalam film ini digambarkan waria yang mempunyai alasan yang kuat mengapa ia memutuskan menjadi waria. Kalau menurut saya ketika seseorang mengambil keputusan untuk menjadi seorang waria, ia telah mengalami pergulatan panjang dengan perjalanan kehidupannya. Namun yang menjadi pertanyaanya dalam film ini adalah mengapa sang ibu memutuskan ia menjadi seorang waria, padahalia sejatinya adalah laki-laki. Menapa laki-laki itu tidak memutuskan untuk menjadi ayahnya saja?bukannkah jika ia menjadi ayah dari agus ia tetap bisa merawat dan menyayangi agus seperti halnya ketika ia menjadi seorang ibu (waria)?ini mungkin pertanyaan saya yang masih belum terjawab.
Ditinjau dari setting lokasinya yaitu jogja, bisa dilihat dari plat nomor motor yang terparkir di depan rumah tetangga agus. Jogja yang merupakan kota pendidikan dan kebudayaan erat dengan budaya jawa yang halus dan santun. Dalam film ini dicerminkan dengan penggunaan bahasa jawa pada percakapannya, walaupun bukan bahasa jawa kromo yang digunakan, akan tetapi setidaknya penggunaan bahasa jawa sudah bisa mewakilinya.

Secara keseluruhan film ini bagus sesuai segmentasi audien-nya, dan secara sinematografi sudah memenuhi teknik dan estetika yang jelas. Dari segi cerita dan latar belakangnya mungkin bisa diperdalam lagi informasinya.

Data film:
Pagi | 2013 | 13:51 | Sutradara : Syamarda Swandhika | Penulis Naskah : Euodia W. Umbas Lestari

No comments:

Post a Comment