Not for sale
Oleh: Nindya
Galuh Fatmawati
Orang boleh jalan kaki dalam film
panjang. Dalam film pendek, ia harus
berlari. Begitulah saya pernah
membaca sebuah aksioma yang berkembang di
dunia perfilman ini. Ungkapan itu
memiliki makna bahwa dalam durasi yang pendek
segala sesuatu harus diminimalisir.
Tuntutan penceritaan yang ideal,
dengan tidak banyaknya tokoh, konflik cerita juga diupayakan sederhana, artinya
komplikasinya tidak melebar kemana-mana sehingga setidaknya ada benang merah dalam cerita. Dengan lebih simpelnya dalam
sebuah waktunya yang pendek penonton bisa mendapatkan kesan (impresif) dari
karya tersebut.
Menonton film Not For Sale ini
bagaikan mendengar wacana yang berkembang belakangan ini di kalangan masyarakat
atau justru sudah menjadi fenomena di beberapa daerah sudut kota Jogjakarta. Ya,
film ini berkisah tentang usaha pengusiran warga dari sebuah kampong demi usaha
pembangunan gedung yang bernilai ekonomi oleh sekelompok orang.
Seperti realita kehidupan yang
dirasakan masyarakat sekarang ditengah hidup yang susah mencari uang. Kehidupan
warga kampung mulai terusik dan mereka mulai resah dengan aksi oknum-oknum yang
terus berusaha memaksa mereka pergi dari kampung mereka. Lalu datanglah seorang
wanita bernama Marinka, seorang mahasiwa hukum yang menjadi pendatang di
kampung itu. Marinka berusaha menolong warga untuk tetap mempertahankan rumah
mereka, namun seperti biasa tokoh protagonis selalu dilawan oleh tokoh
antagonis yakni Pak Suryo. Pak Suryo adalah warga kampung sini yang menjadi
pengkhianat. Ia bekerja untuk oknum makelar tanah tersebut sekaligus tukang adu
domba antara Marinka dengan warga sekitar, hingga warga sekitar membenci
Marinka yang hanya seorang pendatang. Pak Suryo berhasil memunculkan rasa
curiga warga untuk mengusir Marinka. Akhirnya para warga mendatangi Marinka yang sedang mengumpulkan surat tanah
warga sekitar sebagai bukti untuk banding di pengadilan. Namun saat mereka bertengkar
tiba-tiba datanglah gerombolan polisi yang mencoba menggusur warga dengan
paksa. Hanya suasana rusuh dan kisruh yang terlihat pada adegan ini,
ketegangan belum menggugah adrenalin penonton mungkin bila ditambah instrument yang ekspresif dan juga close up tokoh sentral bisa memberikan
kesan menegangkan pada adegan penggusuran ini. Selanjutnya Marinka yang sedang
kebingungan mencoba untuk menghubungi seseorang namun handphone-nya terjatuh dan rusak. Pada adegan ini tokoh protagonis berpikir
cepat untuk mencari jalan keluar yakni dengan pergi ke sebuah Wartel (warung
Telkom) yang zaman sekarang jarang kita jumpai, sesampainya di Wartel yang akan
tutup itu ia memaksa sang pemilik Toko, Jo begitu panggilannya. Marinka memohon
Jo untuk mengizinkan dia memakai Wartel, dengan susah payah akhirnya Jo
memperbolehkan. Akhirnya Marinka pun
menelepon seseorang yang tak lain adalah walikota, informasi tersebut
terdengar dari suara penerima telepon di seberang sana yang mengungkapkan bahwa
ia adalah ajudan wali kota. Dari situ mulai tercium bau hal-hal klise yakni tak
bukan dan tak lain bahwa Marinka adalah anak seorang walikota. Semakin jelas
dengan adegan flashback Marinka yang
sedang bertengkar dengan ayahnya, dimana Marinka tidak mau menerima uang dari ayahnya,
karena ayahnya adalah dalang dibalik semua ini. Karena logikanya saja seorang
rakyat biasa tidak semudah itu menghubungi seorang walikota yang penuh dengan
protokoler. Namun hal ini cukup menarik karena penonton yang awam akan
mendapatkan kesan “terkejut” yang diberikan pada akhir dalam film. Untuk
penutup pamungkasnya seperti biasa anak dan ayah ini melakukan perjanjian, yang
bisa melindungi warga di kampung itu. Film dengan cerita yang simpel dan menarik,
namun masih ada beberapa hal yang bisa ditebak dalam segi penceritaannya. Pada
tiap babak mulai dari set up, confrontation, hingga resolution tergambar dengan jelas dan tidak
membutuhkan waktu lama, karena penonton sudah mendapatkan informasi dari dialog
antar tokoh yang begitu lugas. Namun
semua itu adalah proses kreatif yang telah dilalui dengan baik dan pada kesempatan
akan datang semoga dapat dituntaskan dengan lebih cantik lagi.
(2) Resensi Film “Not for Sale”
Di tengah pertengkaran Marinka dengan warga, terjadi pula pertengkaran antara polisi dengan warga yang lain. Marinka pun langsung bergegas mendatangi pertengkaran itu. Semua warga marah dan melawan karena mereka akan diusir oleh polisi. Lalu Marinka dengan gugup mengambil handphone dari sakunya. Tetapi seseorang menyenggol dan handphonenya terjatuh hingga tidak dapat dihidupkan lagi. Dia menjadi kebingungan, namun dengan cepat dia menuju ke sebuah wartel milik warga yang bernama Jo. Tetapi Jo tidak mengizinkannya karena dia menyangka bahwa Marinka adalah salah satu orang yang mendukung penjualan tanah warga. Dengan berbagai penjelasan Marinka berhasil meyakinkan bahwa dirinya tidak seperti yang Jo kira. Akhirnya Jo memperbolehkan Marinka untuk memakai wartelnya. Tidak menunggu lama, Marinka masuk dan menelepon seseorang. Penonton dapat langsung mengerti bahwa yang ditelepon adalah wali kota yang tidak lain adalah ayah Marinka sendiri karena ditunjukkan dari percakapan Marinka dengan ajudan wali kota serta didukung dengan flashback saat ayah marinka memberikan sejumlah uang kepadanya dengan tujuan supaya dia mau mendukung penjualan tanah warga. Tetapi Marinka menolaknya karena yang diberikan itu adalah uang haram yang tidak seharusnya dia terima. Dari flashback ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa orang yang menjadi dalang dari masalah penjualan tanah warga adalah ayah Marinka sendiri.
(2) Resensi Film “Not for Sale”
Oleh:
Sri Wahyuni
Masalah penjualan dan penggusuran tanah
warga sudah tidak menjadi berita yang tidak asing lagi di telinga kita karena media-media
massa telah membicarakan masalah tersebut. Hampir di setiap kota, terutama di
kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya pun pernah mengalaminya.
Dan penjualan tanah rupanya sedang menjadi masalah yang berkembang belakangan
ini di Yogyakarta. Dimana tanah dijual untuk menguntungkan sekelompok orang tetapi
merugikan banyak masyarakat.
Film “Not for Sale” merupakan cerminan realitas
kehidupan yang terjadi di atas. Bercerita tentang pengusaha dengan didukung
oleh sekelompok orang yang akan menjual tanah danmengusir warga demi
kepentingan tertentu. Namun warga menolak hal tersebut. Mereka tetap bersikukuh
untuk tidak meninggalkan rumah dan tanahnya. Karena mereka telah kalah sidang
dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang cukup, akhirnya jalan satu-satunya
adalah meminta bantuan kepada pemimpin desa yang biasa dipanggil Pak Suryo.
Mereka mendesak Pak Suryo untuk cepat melakukan tindakan supaya tanah warga
tidak jadi dijual.
Yang dilakukan Pak Suryo bukannya membantu warga, tetapi dia malah membantu oknum tertentu untuk melancarkan penjualan tanah warga karena dia mendapat imbalan. Dia telah menjadi penghianat di dalam warganya sendiri. Selain penghianat, Pak Suryo juga menjadi pengadu domba antara warga dan Marinka. Marinka adalah seorang mahasiswi jurusan hukum yang tinggal di kampung tersebut. Marinka berusaha menyelamatkan warga dengan mengumpulkan surat tanah sebagai barang bukti untuk proses banding dipersidangan. Tetapi karena hasutan Pak Suryo, warga menjadi tidak percaya kepada Marinka dan menyuruhnya untuk meninggalkan kampung tersebut. Pertengkaran pun terjadi pada saat itu.
Yang dilakukan Pak Suryo bukannya membantu warga, tetapi dia malah membantu oknum tertentu untuk melancarkan penjualan tanah warga karena dia mendapat imbalan. Dia telah menjadi penghianat di dalam warganya sendiri. Selain penghianat, Pak Suryo juga menjadi pengadu domba antara warga dan Marinka. Marinka adalah seorang mahasiswi jurusan hukum yang tinggal di kampung tersebut. Marinka berusaha menyelamatkan warga dengan mengumpulkan surat tanah sebagai barang bukti untuk proses banding dipersidangan. Tetapi karena hasutan Pak Suryo, warga menjadi tidak percaya kepada Marinka dan menyuruhnya untuk meninggalkan kampung tersebut. Pertengkaran pun terjadi pada saat itu.
Di tengah pertengkaran Marinka dengan warga, terjadi pula pertengkaran antara polisi dengan warga yang lain. Marinka pun langsung bergegas mendatangi pertengkaran itu. Semua warga marah dan melawan karena mereka akan diusir oleh polisi. Lalu Marinka dengan gugup mengambil handphone dari sakunya. Tetapi seseorang menyenggol dan handphonenya terjatuh hingga tidak dapat dihidupkan lagi. Dia menjadi kebingungan, namun dengan cepat dia menuju ke sebuah wartel milik warga yang bernama Jo. Tetapi Jo tidak mengizinkannya karena dia menyangka bahwa Marinka adalah salah satu orang yang mendukung penjualan tanah warga. Dengan berbagai penjelasan Marinka berhasil meyakinkan bahwa dirinya tidak seperti yang Jo kira. Akhirnya Jo memperbolehkan Marinka untuk memakai wartelnya. Tidak menunggu lama, Marinka masuk dan menelepon seseorang. Penonton dapat langsung mengerti bahwa yang ditelepon adalah wali kota yang tidak lain adalah ayah Marinka sendiri karena ditunjukkan dari percakapan Marinka dengan ajudan wali kota serta didukung dengan flashback saat ayah marinka memberikan sejumlah uang kepadanya dengan tujuan supaya dia mau mendukung penjualan tanah warga. Tetapi Marinka menolaknya karena yang diberikan itu adalah uang haram yang tidak seharusnya dia terima. Dari flashback ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa orang yang menjadi dalang dari masalah penjualan tanah warga adalah ayah Marinka sendiri.
Dalam telepon itu Marinka meminta maaf
kepada ayahnya karena tidak bisa menuruti apa yang ayahnya perintah. Dia juga
memohon supaya ayahnya sadar dan bersedia datang untuk membantu warga supaya
tanahnya tidak dijual. Tidak lama setelah Marinka menutup telepon. Terdengar
suara polisi yang membatalkan penggusuran rumah warga yang sedang dilakukan
pada saat itu.
Masalah yang diangkat dalam film ini sangat menarik karena menjadi masalah yang sering terjadi di Indonesia. Film ini cocok jika ditonton oleh orang awam karena merupakan film yang banyak dialog. Hampir di semua shot berisi percakapan. Kata-kata yang diucapkan pemainnya sangat gamblang sehingga dapat dimengerti oleh semua kalangan. Para pemain pada film ini sudah cukup menjiwai peran yang dibawakan. Film ini juga menghadirkan kejutan di akhir cerita yaitu saat kita tahu bahwa yang menjadi dalang penjualan tanah warga adalah ayah Marinka.
Tetapi karena hampir semua shot berisi dialog yang sangat gamblang, membuat penonton dapat dengan mudah menebak inti ceritanya. Sehingga hanya dengan mendengar percakapannya saja kita sudah tau ceritanya tanpa harus melihat visualnya.
Masalah yang diangkat dalam film ini sangat menarik karena menjadi masalah yang sering terjadi di Indonesia. Film ini cocok jika ditonton oleh orang awam karena merupakan film yang banyak dialog. Hampir di semua shot berisi percakapan. Kata-kata yang diucapkan pemainnya sangat gamblang sehingga dapat dimengerti oleh semua kalangan. Para pemain pada film ini sudah cukup menjiwai peran yang dibawakan. Film ini juga menghadirkan kejutan di akhir cerita yaitu saat kita tahu bahwa yang menjadi dalang penjualan tanah warga adalah ayah Marinka.
Tetapi karena hampir semua shot berisi dialog yang sangat gamblang, membuat penonton dapat dengan mudah menebak inti ceritanya. Sehingga hanya dengan mendengar percakapannya saja kita sudah tau ceritanya tanpa harus melihat visualnya.
Namun secara keseluruhan film ini sudah
cukup menarik. Mungkin film ini akan menjadi lebih baik lagi jika pembuat film
dapat mengemas percakapan menjadi lebih sederhana dengan adegan-adegan yang
menarik sehingga cerita yang dihadirkan tidak dapat ditebak oleh penonton.
Semoga kedepannya para pembuat film ini dapat lebih kreatif dalam menciptakan
karya-karya yang lebih bagus lagi.
Data Film:
Not For Sale | 2013 | 13:11 | Sutradara : Fietra Rey P. | Penulis Naskah : Aisya Ica Nur R.
Not For Sale | 2013 | 13:11 | Sutradara : Fietra Rey P. | Penulis Naskah : Aisya Ica Nur R.
No comments:
Post a Comment