Saturday 11 October 2014

Resensi Filem Not For Sale (Nominasi Film Produksi Televisi 2011 Terbaik, Pemenang)

(1)                          LUGAS 
                          Not for sale
Oleh: Nindya Galuh Fatmawati

Orang boleh jalan kaki dalam film panjang. Dalam film pendek, ia harus berlari. Begitulah saya pernah membaca sebuah aksioma yang berkembang di dunia perfilman ini. Ungkapan itu memiliki makna bahwa dalam durasi yang pendek segala sesuatu harus diminimalisir.
Tuntutan penceritaan yang ideal, dengan tidak banyaknya tokoh, konflik cerita juga diupayakan sederhana, artinya komplikasinya tidak melebar kemana-mana sehingga setidaknya ada benang merah  dalam cerita. Dengan lebih simpelnya dalam sebuah waktunya yang pendek penonton bisa mendapatkan kesan (impresif) dari karya tersebut.  
Menonton film Not For Sale ini bagaikan mendengar wacana yang berkembang belakangan ini di kalangan masyarakat atau justru sudah menjadi fenomena di beberapa daerah sudut kota Jogjakarta. Ya, film ini berkisah tentang usaha pengusiran warga dari sebuah kampong demi usaha pembangunan gedung yang bernilai ekonomi oleh sekelompok orang.

Seperti realita kehidupan yang dirasakan masyarakat sekarang ditengah hidup yang susah mencari uang. Kehidupan warga kampung mulai terusik dan mereka mulai resah dengan aksi oknum-oknum yang terus berusaha memaksa mereka pergi dari kampung mereka. Lalu datanglah seorang wanita bernama Marinka, seorang mahasiwa hukum yang menjadi pendatang di kampung itu. Marinka berusaha menolong warga untuk tetap mempertahankan rumah mereka, namun seperti biasa tokoh protagonis selalu dilawan oleh tokoh antagonis yakni Pak Suryo. Pak Suryo adalah warga kampung sini yang menjadi pengkhianat. Ia bekerja untuk oknum makelar tanah tersebut sekaligus tukang adu domba antara Marinka dengan warga sekitar, hingga warga sekitar membenci Marinka yang hanya seorang pendatang. Pak Suryo berhasil memunculkan rasa curiga warga untuk mengusir Marinka. Akhirnya para warga mendatangi  Marinka yang sedang mengumpulkan surat tanah warga sekitar sebagai bukti untuk banding di pengadilan. Namun saat mereka bertengkar tiba-tiba datanglah gerombolan polisi yang mencoba menggusur warga dengan paksa. Hanya  suasana rusuh dan  kisruh yang terlihat pada adegan ini, ketegangan belum menggugah adrenalin penonton mungkin bila ditambah instrument yang ekspresif dan juga close up tokoh sentral bisa memberikan kesan menegangkan pada adegan penggusuran ini. Selanjutnya Marinka yang sedang kebingungan mencoba untuk menghubungi seseorang namun handphone-nya terjatuh dan rusak. Pada adegan ini tokoh protagonis berpikir cepat untuk mencari jalan keluar yakni dengan pergi ke sebuah Wartel (warung Telkom) yang zaman sekarang jarang kita jumpai, sesampainya di Wartel yang akan tutup itu ia memaksa sang pemilik Toko, Jo begitu panggilannya. Marinka memohon Jo untuk mengizinkan dia memakai Wartel, dengan susah payah akhirnya Jo memperbolehkan. Akhirnya Marinka pun  menelepon seseorang yang tak lain adalah walikota, informasi tersebut terdengar dari suara penerima telepon di seberang sana yang mengungkapkan bahwa ia adalah ajudan wali kota. Dari situ mulai tercium bau hal-hal klise yakni tak bukan dan tak lain bahwa Marinka adalah anak seorang walikota. Semakin jelas dengan adegan flashback Marinka yang sedang bertengkar dengan ayahnya, dimana Marinka tidak mau menerima uang dari ayahnya, karena ayahnya adalah dalang dibalik semua ini. Karena logikanya saja seorang rakyat biasa tidak semudah itu menghubungi seorang walikota yang penuh dengan protokoler. Namun hal ini cukup menarik karena penonton yang awam akan mendapatkan kesan “terkejut” yang diberikan pada akhir dalam film. Untuk penutup pamungkasnya seperti biasa anak dan ayah ini melakukan perjanjian, yang bisa melindungi warga di kampung itu.   Film dengan cerita yang simpel dan menarik, namun masih ada beberapa hal yang bisa ditebak dalam segi penceritaannya. Pada tiap babak mulai dari set up, confrontation, hingga resolution tergambar dengan jelas dan tidak membutuhkan waktu lama, karena penonton sudah mendapatkan informasi dari dialog antar tokoh yang begitu lugas.  Namun semua itu adalah proses kreatif yang telah dilalui dengan baik dan pada kesempatan akan datang semoga dapat dituntaskan dengan lebih cantik lagi.  


(2)                 Resensi Film “Not for Sale”
Oleh: Sri Wahyuni


Masalah penjualan dan penggusuran tanah warga sudah tidak menjadi berita yang tidak asing lagi di telinga kita karena media-media massa telah membicarakan masalah tersebut. Hampir di setiap kota, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya pun pernah mengalaminya. Dan penjualan tanah rupanya sedang menjadi masalah yang berkembang belakangan ini di Yogyakarta. Dimana tanah dijual untuk menguntungkan sekelompok orang tetapi merugikan banyak masyarakat. 
 
Film “Not for Sale” merupakan cerminan realitas kehidupan yang terjadi di atas. Bercerita tentang pengusaha dengan didukung oleh sekelompok orang yang akan menjual tanah danmengusir warga demi kepentingan tertentu. Namun warga menolak hal tersebut. Mereka tetap bersikukuh untuk tidak meninggalkan rumah dan tanahnya. Karena mereka telah kalah sidang dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang cukup, akhirnya jalan satu-satunya adalah meminta bantuan kepada pemimpin desa yang biasa dipanggil Pak Suryo. Mereka mendesak Pak Suryo untuk cepat melakukan tindakan supaya tanah warga tidak jadi dijual.

Yang dilakukan Pak Suryo bukannya membantu warga, tetapi dia malah membantu oknum tertentu untuk melancarkan penjualan tanah warga karena dia mendapat imbalan. Dia telah menjadi penghianat di dalam warganya sendiri. Selain penghianat, Pak Suryo juga menjadi pengadu domba antara warga dan Marinka. Marinka adalah seorang mahasiswi jurusan hukum yang tinggal di kampung tersebut. Marinka berusaha menyelamatkan warga dengan mengumpulkan surat tanah sebagai barang bukti untuk proses banding dipersidangan. Tetapi karena hasutan Pak Suryo, warga menjadi tidak percaya kepada Marinka dan menyuruhnya untuk meninggalkan kampung tersebut. Pertengkaran pun terjadi pada saat itu.  

Di tengah pertengkaran Marinka dengan warga, terjadi pula pertengkaran antara polisi dengan warga yang lain. Marinka pun langsung bergegas mendatangi pertengkaran itu. Semua warga marah dan melawan karena mereka akan diusir oleh polisi. Lalu Marinka dengan gugup mengambil handphone dari sakunya. Tetapi seseorang menyenggol dan handphonenya terjatuh hingga tidak dapat dihidupkan lagi. Dia menjadi kebingungan, namun dengan cepat dia menuju ke sebuah wartel milik warga yang bernama Jo. Tetapi Jo tidak mengizinkannya karena dia menyangka bahwa Marinka adalah salah satu orang yang mendukung penjualan tanah warga. Dengan berbagai penjelasan Marinka berhasil meyakinkan bahwa dirinya tidak seperti yang Jo kira. Akhirnya Jo memperbolehkan Marinka untuk memakai wartelnya. Tidak menunggu lama, Marinka masuk dan menelepon seseorang. Penonton dapat langsung mengerti bahwa yang ditelepon adalah wali kota yang tidak lain adalah ayah Marinka sendiri karena ditunjukkan dari percakapan Marinka dengan ajudan wali kota serta didukung dengan flashback  saat ayah marinka memberikan sejumlah uang kepadanya dengan tujuan supaya dia mau mendukung penjualan tanah warga. Tetapi Marinka menolaknya karena yang diberikan itu adalah uang haram yang tidak seharusnya dia terima. Dari flashback ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa orang yang menjadi dalang dari masalah penjualan tanah warga adalah ayah Marinka sendiri.

Dalam telepon itu Marinka meminta maaf kepada ayahnya karena tidak bisa menuruti apa yang ayahnya perintah. Dia juga memohon supaya ayahnya sadar dan bersedia datang untuk membantu warga supaya tanahnya tidak dijual. Tidak lama setelah Marinka menutup telepon. Terdengar suara polisi yang membatalkan penggusuran rumah warga yang sedang dilakukan pada saat itu.

Masalah yang diangkat dalam film ini sangat menarik karena menjadi masalah yang sering terjadi di Indonesia. Film ini cocok jika ditonton oleh orang awam karena merupakan film yang banyak dialog. Hampir di semua shot berisi percakapan. Kata-kata yang diucapkan pemainnya sangat gamblang sehingga dapat dimengerti oleh semua kalangan. Para pemain pada film ini sudah cukup menjiwai peran yang dibawakan. Film ini juga menghadirkan kejutan di akhir cerita yaitu saat kita tahu bahwa yang menjadi dalang penjualan tanah warga adalah ayah Marinka. 

Tetapi karena hampir semua shot berisi dialog yang sangat gamblang, membuat penonton dapat dengan mudah menebak inti ceritanya. Sehingga hanya dengan mendengar percakapannya saja kita sudah tau ceritanya tanpa harus melihat visualnya.
Namun secara keseluruhan film ini sudah cukup menarik. Mungkin film ini akan menjadi lebih baik lagi jika pembuat film dapat mengemas percakapan menjadi lebih sederhana dengan adegan-adegan yang menarik sehingga cerita yang dihadirkan tidak dapat ditebak oleh penonton. Semoga kedepannya para pembuat film ini dapat lebih kreatif dalam menciptakan karya-karya yang lebih bagus lagi.
 
Data Film:
Not For Sale | 2013 | 13:11 | Sutradara : Fietra Rey P. | Penulis Naskah : Aisya Ica Nur R.

No comments:

Post a Comment