Tuesday 21 October 2014

Pikiran // Harapan Singkat Tentang Harapan




Jago Kandang
Oleh: Prasetya Yudha DS

visual oleh Prasetya Yudha DS

Sebagai salah satu tempat pelarian terbaik, kampus kita, FSMR, memang menawarkan ruang yang absurd. Kondisi ini tak hanya terjadi di ruang kita saja, di luar pagar pun ternyata juga seperti itu, tetapi, perasaan memilikilah yang membuat kita setiap hari di ruang-ruang kecil mana pun selalu menyempatkan bertukar keluh tentang masalah yang itu-itu lagi setiap harinya. Menyampah serapah seperti biasanya. 


Berada di sebuah ruang yang sama dengan durasi tertentu membuat kita mau tak mau mesti mengalami pertemuan dengan orang-orang yang sama selama itu. Bertemu dengan yang memiliki rasa ingin berbeda-beda. Harap maklum jika ruang sekecil FSMR, di dalamnya masih terbagi lagi dalam ruang-ruang kecil yang jika kita amati mereka, ada antena di setiap kepala dengan frekuensi yang berbeda-beda. Frekuensi yang berbeda-beda itulah yang mesti dipahami secara lapang dada karena berangkulan (apalagi berpelukan) akan tetap menjadi mitos di ruang FSMR.


Memang ada baiknya untuk menyembunyikan cermin, tak perlu sering berkaca untuk menengok kembali kondisi yang lalu di mana kisah-kisah heroik, loyal, banal, spontan, chaos pernah ada. Hidup di hari ini berarti ya hari ini, besok pun akan jadi hari ini. Alih-alih menengok kemaren, Man Ray (salah satu tokoh Dada), sudah sejak kakeknya kemaren memberi semangat pada kita para korban akademik seni:


“Why don’t you create a new movement of your own, find a new title for it, that’s what you should do, no go back to the past”.


Tak semua ingin hidup di “industri”, tak semua ingin hidup di “seni”, tak semua ingin hidup di “jalan”, tak semua ingin hidup di “rumah”. Memang sudah ada beberapa gerakan formal maupun informal dari ruang-ruang kecil di FSMR ini yang memiliki tujuan mulia akademisi, salah satunya memberi pandangan untuk memilih lubang-lubang hidup tadi, meski dengan pengikut dan kegiatan yang pasang surut, antara ada dan tiada. Maka sudah sepantasnya kita tetap beri tepuk tangan dan sorakan riuh. Kita yang terbiasa jadi penonton, hobi nyinyir dan sambat di kantin, di lobi jurusan,  atau di mana saja, dimana tak terhingga sudah kata yang keluar dari mulut yang saling bertubrukan, patah, dan dalam sekejap diculik angin begitu saja, patut iri melihat kesibukan mereka yang secara inisiatif, sukarela, maupun paksa aktif membuat perlawanan terhadap ruang seabsurd FSMR, hunian sementara kita ini.


Sangat mengagetkan tentu saat Berkaca Kata bersuara di ruang FSMR hari ini. Sebuah sekte dari jiwa-jiwa terpanggil yang sudah tak tahan melihat kata-kata dengan seenaknya verbal, hilang, dan dilupakan di berbagai belahan ruang FSMR. Ruang ini secara sukarela merangkul ego dan kepala beberapa mahasiswa FSMR yang sudah kepenuhan isi, mendengarkan mereka, lalu mendistribusikan energi mereka ke orang yang lebih banyak. 


Semoga sekte ini akan tetap produktif dengan ke-apa-saja-annya, dan menjadi virus yang menyebabkan tumbuhnya sekte-sekte baru apa pun maunya dan tidak melupakan “bentuk” sebagai bentuk pencapaian (catatan: bagi yang mau saja). 


 >< >< ><

Setelah tulisan ini dibuat, ada yang dari dulu sering bertanya; “Kenapa harus repot-repot melakukan sesuatu di kampus? Langsung aksi di luar pagar bukankah lebih semestinya?”

>< >< ><

Setelah tulisan ini dibuat, ada yang tiba-tiba berdoa; “Tuhan, maafkan mulut kami yang sombong ini, kami hanyalah seonggok akademisi seni yang sedang mencari batas.”

No comments:

Post a Comment