Jago Kandang
Oleh: Prasetya Yudha DS
visual oleh Prasetya Yudha DS |
Sebagai salah satu
tempat pelarian terbaik, kampus kita, FSMR, memang menawarkan ruang yang absurd.
Kondisi ini tak hanya terjadi di ruang kita saja, di luar pagar pun ternyata
juga seperti itu, tetapi, perasaan memilikilah yang membuat kita setiap hari di
ruang-ruang kecil mana pun selalu menyempatkan bertukar keluh tentang masalah yang itu-itu lagi
setiap harinya. Menyampah serapah seperti biasanya.
Berada di sebuah
ruang yang sama dengan durasi tertentu membuat kita mau tak mau mesti mengalami
pertemuan dengan orang-orang yang sama selama itu. Bertemu dengan yang memiliki
rasa ingin berbeda-beda. Harap maklum jika ruang sekecil FSMR, di dalamnya
masih terbagi lagi dalam ruang-ruang kecil yang jika kita amati mereka, ada antena
di setiap kepala dengan frekuensi yang berbeda-beda. Frekuensi yang
berbeda-beda itulah yang mesti dipahami secara lapang dada karena berangkulan
(apalagi berpelukan) akan tetap menjadi mitos di ruang FSMR.
Memang ada baiknya
untuk menyembunyikan cermin, tak perlu sering berkaca untuk menengok kembali
kondisi yang lalu di mana kisah-kisah heroik, loyal, banal, spontan, chaos pernah ada. Hidup di hari ini
berarti ya hari ini, besok pun akan jadi hari ini. Alih-alih menengok kemaren,
Man Ray (salah satu tokoh Dada), sudah sejak kakeknya kemaren memberi semangat
pada kita para korban akademik seni:
“Why don’t you create a new
movement of your own, find a new title for it, that’s what you should do, no go
back to the past”.
Tak semua ingin
hidup di “industri”, tak semua ingin hidup di “seni”, tak semua ingin hidup di “jalan”,
tak semua ingin hidup di “rumah”. Memang sudah ada beberapa gerakan formal maupun
informal dari ruang-ruang kecil di FSMR ini yang memiliki tujuan mulia
akademisi, salah satunya memberi pandangan untuk memilih lubang-lubang hidup tadi,
meski dengan pengikut dan kegiatan yang pasang surut, antara ada dan tiada.
Maka sudah sepantasnya kita tetap beri tepuk tangan dan sorakan riuh. Kita yang terbiasa jadi penonton, hobi
nyinyir dan sambat di kantin, di lobi
jurusan, atau di mana saja, dimana tak
terhingga sudah kata yang keluar dari mulut yang saling bertubrukan, patah, dan
dalam sekejap diculik angin begitu saja, patut iri melihat kesibukan mereka
yang secara inisiatif, sukarela, maupun paksa aktif membuat perlawanan terhadap
ruang seabsurd FSMR, hunian sementara kita ini.
Sangat mengagetkan
tentu saat Berkaca Kata bersuara di ruang FSMR hari ini. Sebuah sekte dari jiwa-jiwa terpanggil yang
sudah tak tahan melihat kata-kata dengan seenaknya verbal, hilang, dan dilupakan
di berbagai belahan ruang FSMR. Ruang ini secara sukarela merangkul ego dan
kepala beberapa mahasiswa FSMR yang sudah kepenuhan isi, mendengarkan mereka,
lalu mendistribusikan energi mereka ke orang yang lebih banyak.
Semoga sekte ini akan tetap produktif dengan
ke-apa-saja-annya, dan menjadi virus yang menyebabkan tumbuhnya sekte-sekte baru apa pun maunya dan
tidak melupakan “bentuk” sebagai bentuk pencapaian (catatan: bagi yang mau
saja).
>< ><
><
Setelah tulisan ini
dibuat, ada yang dari dulu sering bertanya; “Kenapa harus repot-repot melakukan
sesuatu di kampus? Langsung aksi di luar pagar bukankah lebih semestinya?”
>< ><
><
Setelah tulisan ini
dibuat, ada yang tiba-tiba berdoa; “Tuhan, maafkan mulut kami yang sombong ini,
kami hanyalah seonggok akademisi seni yang sedang mencari batas.”
No comments:
Post a Comment